semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Indonesia di Titik Nadir, Resensi Buku Prof Amien Rais


“Those who fail to learn the lessons of history are doomed to repeat them” George Santayana, Filosof Spanyol.

Meski telah merdeka 62 tahun lalu, Indonesia nampaknya sejoli dengan kutukan sejarah George Santayana di atas. Indonesia mengidap I’histoire se repete (sejarah berulang kembali). Begitulah kiranya Amien Rais ingin tekankan pada awal bukunya. Imperealisme tempo doloe seperti hadir kembali, walau dengan bentuk yang sedikit berbeda. Kalau dulu Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan pemerintah Hindia Belanda yang menjajah Indonesia selama 3,5 abad, kini kedaulatan Indonesia tergadaikan dan dipermalukan oleh berbagai korporatokrasi asing.

Hal menarik dari buku ini adalah penjelasan tentang racun globalisasi. Globalisasi merujuk sebagai liberalisasi, yaitu proses pemusnahan berbagai restriksi politik sehingga ekonomi dunia lebih terbuka dan tanpa batas. IMF sebagai antek korporatokrasi dan Neokonservatif “Pax Americana” beranggapan bahwa ekonomi pasar bebas yang terangkum dalam globalisasi dapat menjamin efisiensi lewat kompetisi dan pembagian kerja. Namun sejatinya, globalisasi hanya sebagai alat untuk menghisap kekayaan alam negara berkembang.

Semenjak periode rezim orde baru, tiga pilar globalisasi, yaitu IMF (international Monetary Fund), World Bank dan WTO (World Trade Organization) menancapkan kukunya di Indonesia. Ketiga lembaga bersaudara itu menyatukan ideologi pada tahun 80-an dalam Washington Consensus. Dalam konsensus itu terangkum sepuluh rekomendasi yang menjadi resep pertumbuhan ekonomi negara berkembang. Diantaranya, perdangangan bebas, liberalisasi pasar modal, nilai tukar mengambang, angka bunga ditentukan pasar, deregulasi pasar, privatisasi aset negara, anggaran berimbang, reformasi pajak dan perlindungan atas hak milik dan hak cipta. Sepuluh resep inilah yang menurut Amien telah memerangkap Indonesia dalam jaring kemiskinan.

Menurut Joseph Stiglitz, peraih hadiah nobel ekonomi 2001, mengatakan bahwa ekonomi pasar bebas tidak pernah menghasilkan efisiensi karena adanya informasi asimetris dari pelaku pasar. Adagium tangan yang tidak kelihatan (invisible hands) yang “mengatur” pasar sejatinya tidak pernah ada. Yang ada adalah pelaku pasar yang menguasai informasi akan meneguk keuntungan atas mereka yang miskin informasi. Negara yang membuka lebar dirinya terhadap perdagangan bebas, melakukan deregulasi pasar uang, dan mendadak menswastakan berbagai perusahaan negara justru mengalami kemunduran sosial ekonomi.

Globalisasi yang dicitrakan ketiga lembaga bersahabat di atas telah bersekongkol dengan para korporatokrasi. Badan usaha inilah yang punya ambisi untuk menguras kekayaan bumi dan membangun mesin untuk menciptakan imperium global. Dalam mengejar rente ekonomi, korporasi melakukan skandal dalam berbagai bentuk. Seperti yang dilakukan perusahaan energi bernama enron. Korporasi ini mengelabui pemerintah dengan mangkir membayar pajak sebanyak ratusan juta dollar serta membuat pemalsuan data keuangan, money laundering, dan menyogok anggota kongres Amerika. Penyelewengan Enron tak menutup kemungkinan dilakoni pula korporasi besar di Indonesia, macam Exxon Mobil dan Freeport, tak terkecuali Lapindo Brantas yang menyebabkan semburan Lumpur di Sidoarjo.

Pemerintah pun tak lepas dari jerat korporatokrasi. Cara yang paling mudah untuk menaklukkan kedaulatan politik suatu negara yaitu dengan memberikan biaya kampanye tatkala calon presiden ingin maju dalam pemilihan umum. Presiden yang terpilih pastinya akan membalas budi bagi korporasi yang telah menggelontorkan uangnya. Media massa juga turut berperan dalam membantu korporasi dalam merekonstruksi wacana publik. Karena sebagian besar pembiayaan media massa dipegang oleh korporasi besar.

Kondisi Indonesia

Menyimak ulasan Amien, kita seakan-akan telah dibodoh-bodohi oleh pemerintah. Banyak kejanggalan yang tak diiringi penjelasan rasional. BUMN yang mestinya Indonesia kelola dengan baik hingga menghasilkan profit, malah diprivatisasi. Tentunya ini akan mengenyangkan perut pengusaha asing. Pertimbangan itu diambil dengan alasan menutup defisit APBN. Lagi-lagi pemerintah menempuh langkah payah. Kenapa bukannya kita mengambil alih pengelolaan SDM yang kini masih di tangan asing, macam Freeport dan Blok Cepu? Jika halnya demikian, rakyat Indonesia tak lama lagi akan sejahtera, pendapatan negara bertambah dan wibawa Indonesia akan semakin diperhitungkan di tingkat dunia. Namun, Pemerintah kita belum punya nyali untuk itu. Amien Rais menyebutnya bermental Inlander.

Pemerintah telah dicuci otaknya untuk melegalkan liberalisasi dagang dan keuangan. Perbankan nasional kita setengahnya telah dikuasai asing, satelit palapa beserta Indosatnya dipegang oleh Temasek Singapura, Pertamina yang hanya 10 persen jatahnya dibanding korporat asing yang menguasai 90 persen dari 1,4 juta barel produksi Indonesia. Kita hanya mencicipi pajaknya, pun dengan kesepakatan yang tidak adil, yaitu dengan adanya pembayaran Cost Recovery. Malaysia saja, sudah berani mencaplok pulau Ambalat, beserta angklung dan beberapa nyanyian nusantara.

Hutan tropis kita sudah seperduanya ludes, macam 300 kali lapangan bola dalam sehari. Hutan kita dibabat oleh perusahaan yang telah memiliki HPH (Hak Pengusahaan Hutan), tentunya dengan seizin Pemerintah. Orang-orang besar itu sepertinya hanya tahu untung rugi sementara saja, tanpa pernah memikirkan masa depan bangsa. Laut kita pun begitu, 70 persen kapal yang beroperasi adalah kapal berbendera asing, laut kita dijarah beramai-ramai. Celakanya upaya mereka mengeruk kekayaan Indonesia medapatkan payung hukum oleh pemerintah.

Pengurasan dan penjarahan aset nasional di darat, laut dan udara ini telah merugikan negara dalam jumlah ribuan triliun rupiah. Inilah sebab musabab mengapa kita terus mengalami kemelaratan “terprogram“, sistematik dan berjangka panjang. Inilah jenis korupsi tebesar dimana pemerintah menjadi pelaku utama.

Dalam buku Pak Amin bab terakhir ditekankan bahwa pemerintah sekarang tak dapat dipercaya lagi. Pemerintah tak punya keberanian untuk menyatakan tidak pada setiap keinginan asing. Pada masanya, sebanyak 44 BUMN akan diprivatisasi. Bodohnya, pemerintah sebelumnya, yaitu periode Megawati Soekarno Putri yang diprioritaskan untuk diprivatisasi adalah perusahaan yang menghasilkan profit seperti Indosat. Sebentar lagi Garuda Indonesia akan dijual juga kepada Lion Air, padahal keuntungan Garuda Indonesia cukup besar.

Menanggulangi kekacauan ini, secepat mungkin dibutuhkan kepemimpinan nasional alternatif. Pemimpin yang memiliki mental bebas, merdeka dan mandiri bukan inlander lagi. Kepemimpinan itu sebanyak mungkin diisi oleh tokoh-tokoh usia muda yang berwawasan luas.

Idham Malik





0 komentar:

Indonesia di Titik Nadir, Resensi Buku Prof Amien Rais