semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Melirik Fakta dan Makna dalam Jurnalistik


Jurnalisme masa kini telah merubah cara pandangnya terhadap sebuah fakta. Landasan pemikiran yang melatari pencarian dan penemuan berita pun bergeser jauh. Dari sesuatu yang bersifat bebas nilai, ada realitas eksternal yang mesti ditemukan wartawan, ke suatu interpretasi dan pemaknaan berita. Kaum post-strukturalis menyadarkan kita akan hal itu, bahwa apa yang disebut obyektivitas berangkat dari sesuatu yang rapuh. Jauh sebelum post-strukturalis, Karl Popper sudah pernah mengatakan bahwa daripada berkhayal tentang obyektivitas, lebih realistis bila kita berusaha mengawasi dan mengeliminasikan subyektivitas kita masing-masing.
Pemilihan aspek yang dijadikan bahan berita ternyata banyak dipengaruhi oleh paham wartawan sendiri tentang apa yang dinggap penting dan kurang penting, apa yang dianggap layak diketahui oleh orang lain. Fakta adalah apa yang dianggap fakta oleh wartawan. Yang banyak dipengaruhi oleh preferensi pribadi yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya yang terintegrasi dalam keperibadian seseorang, teori sosial yang dianutnya, atau pun keyakinan moral dan keagamaan yang menjadi landasan hidupnya. Fakta adalah hasil dari social construction of reality, fakta harus dilihat dalam hubungan genealoginya.
Fakta bukan kejadian sebagaimana sudah terjadi, tapi kejadian sebagaimana dikonstruksikan. Untuk itu, wartawan diharuskan untuk terus-menerus menguji kembali fakta yang diberitakannya, sifat dan bentuk dari konstruksi social yang membentuk persepsi tentang apa itu fakta. Dengan demikian, yang sering berlangsung dalam persepsi ialah bahwa kita hanya menanggapi apa yang kebetulan kita anggap benar, dan tidak menggubris apa yang tidak dianggap benar menurut keyakinan kita sendiri.
Refeleksi adalah kata kuncinya, dalam kalangan ilmu-ilmu sosial positivis, istilah refleksi tidak dikenal. Ini pula yang menjadi penyebab kenapa ilmu-ilmu social mengambil-alih metode-metode ilmu alam untuk diterapkan dalam bidang sosial kemanusiaan. Sehingga ilmu-ilmu sosial hanya bisa mengamati, menguraikan, dan mengkritik segala sesuatu yang menjadi obyek studinya. Tetapi tidak sanggup mengamati, menguraikan dan mengkritik dirinya sendiri, asumsi-asumsinya, maupun kecendrungan ideologis yang secara diam-diam mempengaruhi pembentukan teori-teorinya.
Pekerjaan wartawan tidak saja berhubungan dengan perusahaan atau kantor tempat dia bekerja, tetapi juga dengan berhubungan dengan suatu publik pembaca. Wartawan tidak saja bertanggung jawab terhadap redaktur pelaksananya, tetapi juga bertanggung jawab terhadap khalayak pembacanya. Penilaian kerja wartawan itu mendapat teguran dan masukan dari pembaca yang terlanjur mempercayai media tempat ia bekerja. Dengan pemahaman seperti ini, akan menggedor kembali kesadaran reflektif seorang wartawan.

Jurnalisme Makna
Hal yang dipertanyakan adalah apakah jurnalisme hanya berurusan dengan fakta-fakta atau informasi tentang peristiwa saja? Bagaimana dengan makna yang dihasilkan berita tersebut? Dikatakan secara metodologis, fakta barulah berbicara banyak kepada seseorang, kalau kepada fakta itu diajukan pertanyaan-pertanyaan yang cerdas dan menarik. Berita adalah fakta-fakta yang dikumpulkan kemudian diorganisasikan sehingga menjadi medium untuk suatu pesan.
Dalil Marshall McLuhan the medium is the message dapat diterjemahkan menjadi: berita adalah kisah, informasi adalah naratif, dan fakta adalah makna. Sebagaimana dalam ilmu sosial data-data dikumpulkan tidak akan berguna kalau tidak diolah menjadi variable atau indicator. Begitu pula dalam jurnalisme, fakta-fakta yang dikumpulkan tidak bermanfaat jika tidak dijadikan bahan untuk mendeskripsikan suatu pesan atau makna. Data dan fakta ibarat batu bata, semen, balok, pasir dan papan yang masih menunggu sentuhan seorang wartawan agar menjadi rumah sederhana, sebuah garasi atau vaviliun kecil. Wartawan tinggal memilih, apakah ia menjadi kuli bangunan yang kerjanya Cuma mengangkat batu, menjadi tukang batu yang memahami ukuran campuran semen dan pasir untuk membangun pondasi atau seorang arsitek yang telah mereka-reka dan kemudian memastikan bentuk bangunan dalam kepalanya.
Menurut Ignas Kleden, wartawan Indonesia yang berhasil ternyata selalu melakukan dua hal sekaligus. Pertama, mencatat dengan teliti apa yang terjadi. Kedua, memberikan suatu kerangka makna yang kemudian dideskripsikan oleh apa yang dilaporkan mengenai fakta-fakta. Wartawan tersebut melakukan pemaknaan sesuai dengan pembawaan, pendidikan, dan latar belakang pribadinya.
Contoh wartawan yang berhasil adalah PK Ojong, dalam tulisannya, ia mampu melihat sebuah peristiwa kecil dalam proses sejarah yang besar. Dalam pikirannya, peristiwa sekecil apapun selalu menjadi bagian dari proyek usaha yang besar. Sebaliknya, suatu kelalaian kecil tidak pernah berdiri sendiri, tetapi selalu dilihat sebagai bagian dari depresiasi yang luas atau tragedi yang lebih besar. Dalam etos PK Ojong, menamam sebatang pohon di halaman rumah adalah bagian dari rencana nasional untuk penghijauan, sedangkan menebang sebatang pohon di pinggir jalan adalah awal dari hancurnya lingkungan hidup. Holisme sejarah inilah yang menjadi kerangka pemikiran PK Ojong.
Kalau PK Ojong dengan holisme sejarahnya, Rosihan Anwar menarik perhatian pembacanya karena background information-nya yang luas. Rosihan adalah seorang wartawan dengan pengetahuan yang mengesankan tentang fakta-fakta. Landasannya adalah fakta-fakta yang dicatatnya dengan teliti. Fakta yang dilaporkannya menjadi hidup karena segala yang diberitakannya secara rinci, hampir selalu memakai perbandingan dengan pantun melayu. Semacam “sampiran” untuk “isi” yang lahir begitu saja dari konfigurasi fakta-fakta yang disajikannya. Intinya sebuah tulisan yang baik adalah suatu karangan yang merangsang pembaca untuk berfikir sendiri tentang soal yang diminatinya. Sebuah tulisan sebaiknya memberikan kebebasan kepada pembaca untuk mengembangkan renungannya dan menemukan menemukan maknanya sendiri.
Tulisan Goenawan Muhammad dalam Catatan Pinggir-nya pun memberikan warna yang berbeda. Tulisan GM lebih banyak menyiapkan suasana, menciptakan peluang, memberikan sentuhan dan menawarkan saran sehingga pembaca sendirilah yang harus menemukan jalan dan mendapatkan gagasannya sendiri untuk dikembangkan. Kolom pada dasarnya bukanlah suatu karangan analitis, tetapi suatu tulisan yang sugestif dan reflektif.
Wartawan yang disebutkan di atas adalah mereka yang menguasai fakta-faktanya dan dapat memberikan pemakanaan kuat terhadapnya, tapi ada pula wartawan yang justru dikuasai oleh fakta-faktanya dan terseret kian kemari oleh jalannya peristiwa tanpa dapat memberikan suatu kerangka yang melahirkan makna.

di salin dari buku Jakob Oetama.
sekadar memperluas pengetahuan tentang jurnalistik




0 komentar:

Melirik Fakta dan Makna dalam Jurnalistik