semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Pondok Naga, Mengecap Ulang Masa Kanak-Kanak


Malam ini, Selasa (24/3), saya baru saja tiba di Pondok Naga, setelah bersama kawan melanglang ke warung untuk isi lambung jatah malam. Pondok Naga terletak di jajaran jalan Poltek, bersebelahan dengan danau Unhas bagian depan samping pintu I, atau tepatnya tak jauh dari pintu nol dan kafe baca Filosofia. Apa hubungannya dengan kafe baca?

Pondok Naga menempati lokasi yang strategis jika ditinjau dari sudut mana saja. Pondok Naga berdekatan dengan danau yang kita tahu kalau malam hari banyak kaum hawa dan adam sementara kesemsem, kesetrum atau geli akibat jongkok berduaan, meski ditemani angin malam yang menusuk-nusuk. Danau ini pun dapat dijadikan tempat melepas penat, mengumbar nafsu, serta berhayal sekadar membuang energi negatif yang mengepung pikiran. Selain itu, ia dekat dengan warung-warung makan, mulai dari samping kiri dan kanan, hingga puluhan meter sepanjang jalan Poltek.

Yang lebih asyik lagi, dalam pondok naga ini berkumpul beberapa teman sejawat di perikanan, ada Meno Rahadian, pemilik pondok yang jago utak-atik komputer, ada Gunawan Yona yang mahir mengoperasi ikan dan lebih dikenal sebagai ketua partai PENIS (Partai Naga Bengis), Soeparjo, cowok perlente yang rela tinggal di pondokan yang sangar nyamuknya, yang kalau menghisap tak tanggung-tanggung. Parjo pun jago komputer, meski masih kalah kelas dengan Meno, tapi jangan salah, ia lebih hebat dalam bermain game bola playstation. Anggota pondok naga yang lain adalah Herlan (Teknik Geologi 05), adik Meno yang kadung misterius, Asrim (Teknik) yang tampak sok tahu, walau terkadang terlihat polos.

Hal asyik di pondok naga adalah kebiasaan berkelakar, sembari saling mencari cela masing-masing untuk diumbar dan di tertawakan. Banyak pula istilah yang lahir di pondok ini, yang tentunya akan mengundang tawa dan nada heran jika baru mendengarnya. Tak pantaslah disebutkan di sini. Lebih seru jika didengar sendiri.. hehe.

Saat dalam perjalanan ke Pondok Naga, tampak beberapa orang kongkow-kongkow di tepi-tepi tembok pembatas jalanan. Ada yang duduk di motor, membakar api rokok sambil memetik gitar, ada yang terdengar tawa cengengesannya, ada pula yang jongkok-jongkok sambil membakar dedaunan dan sampah. Tak tahulah apa maksudnya, kalau dibilang mengurangi sampah yang memang sudah berserakan dan tak keruan itu jauh dari kemungkinan. Karena total sampah yang dibakar tak seberapa, sekadar untuk penerangan dan merubah suasana.

Mengamati itu, semangat kongkow-kongkow itu pernah saya rasakan waktu masih kanak-kanak dulu. Waktu itu saya sering berkumpul bersama teman-teman sebaya dan sepermainan. Entah di halaman rumah, di pinggir lapangan bulu tangkis, di dalam lapangan tenis, lapangan sepak bola, atau di rumah teman. Kadang ditemani ubi bakar, dengan main kuartet atau joker. Pembicaraan pun melempem jauh, mulai dari diskusi bola, teman baru, hingga film horor yang membuat bulu kuduk merinding. Ah, itu masa lalu yang mengharukan sekaligus membanggakan.

Hal lain lagi yang membuktikan bahwa jiwa kanak-kanak masih terbenam dalam jiwa saya yang dewasa adalah ketika saya berkecimpung dalam tim kepiting. Sembari menggiling ikan yang telah diperas cairan tubuhnya, kami dalam tim senantiasa berkelakar, bercanda ria. Atau pada saat membuat bulatan-bulatan adonan pakan yang telah dikukus, oh saya terbuai oleh kenangan masa silam saat gundukan pasir bak gunung di halaman rumah. Saat itu, saya selalu saja bermain pasir, membuat bulatan-bulatan dari pasir yang sedikit mengandung air, biasa kami sebut pareppe. Pareppe ini biasa kami tandingkan dengan pareppe yang lain, dimana pareppe yang duluan retak dinyatakan kalah. Hahaha.. sekarang saya mengerti bahwa jiwa kanak-kanak itu tak bisa dinafikan. Ia senantiasa hadir saat jiwa kita bebas, hendak melaju seperti kecepatan cahaya. Itulah mungkin yang disebut manusia merdeka. Manusia yang dapat memilih apa yang dikehendakinya, tanpa ada paksaan dan tekanan dari pihak manapun, meskipun itu negara. So..? kenapa larinya kepemikiran liberal yang sebelum-sebelumnya sering saya jorokkan!.

Ah pondok naga, tempat kumpulnya naga-naga. Dalam pengertian teman-teman, naga dimaksudkan sebagai orang yang doyan makan yang menyebabkan perut jadi buncit. Barangkali perut itulah yang jadi indikator, karena warga pondok naga rata-rata berberut buncit dan tak memerlukan ikat pinggang lagi. Hehe..

Saban malam, pondok naga selalu ramai. Ada saja yang datang, entah untuk main game straike fighter, ambil data di komputer, instal laptop, atau lagi cari teman. Tapi belakangan ini, pondok sesak oleh para praktikan fisiologi hewan air. Praktikan yang boleh dibilang nurut sekaligus kadang nyebelin. Jangan salah, lantaran terlalu seriusnya, jatah tidur saya tergerus, mereka berkunjung ke pondok naga tidak mengenal waktu dan momen istirahat atau bobo. Mereka datang bergantian, entah jam 8 malam, 10, 11, 12, 1 atau jam 3 malam. Siapa yang tidak sebel. Tapi, yah.. mau buat apa lagi, lagian kami penghuni pondok naga juga cinta sama mereka, meski bentuk kecintaan kami salurkan dalam bentuk lain. ya lewat asistensi laporan hingga berkali-kali, sampai jongos.. hahaha.. (bukan bermaksud menhina ya).

Tentunya hal itu dilakukan warga pondok naga yang rata-rata asisten fisiologi itu bukan bermasud buruk. Ada hal lain yang kami ingin capai, dan kami yakin akan sangat berguna bagi mereka kelak. Ce i leii..

Sudah dulu ya.. sebentar malam saya menulis lagi dengan topik yang berbeda. Mungkin yang berkaitan dengan alam, hati, dan pikiran, yang jika digabungkan akan menghasilkan sesuatu yang dahsyat.. kembali ke diri sendiri. Ok. Ngomong-ngomong saya telat buat pakan hari ini, teman-teman di PKP sudah menunggu tuh. Sampai jumpa ya..

5 April 2009

Maros, di rumah orang tua





0 komentar:

Pondok Naga, Mengecap Ulang Masa Kanak-Kanak