Pukul 07.00 wita, saya sudah tiba di Bandara Sultan Hasanuddin, bandara yang baru pertamakali saya kunjungi, meski sudah sering kali bolak-balik di jalan masuknya. Sepertinya, memang betul kata orang-orang, bahwa bandara yang letaknya di perbatasan Maros dan Makassar ini sudah bisa dikatakan sebagai bandara internasional, yang sekelas dengan Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Dari rancangan, konstruksi, bahan yang digunakan dan manajemennya sudah tampak ok, jadi bangga juga jadi orang Bugis, tempat bermukim para saudagar ulet dan orang-orang yang pantang putar haluan.
Pukul 09.00 wita, Prof Yushinta, Dr Aslamiah, beserta anak-anaknya, yaitu kak Alam dan saudara Yasir tiba dengan bawaan yang bejibun. Pakan kepiting dengan beragam formulasi, koper yang berisi pakaian, alat-alat lab, serta kue-kue untuk mengisi lambung ketika pesawat sudah take of. Senyum dan tawa berhamburan, beserta air muka yang menyejukkan. Misi ke Banjarmasin sebentar lagi tercapai, lorong atau pintu ajaibnya tinggal dibuka kemudian melangkahkan sebelah kaki dengan hati-hati, kemudian melompati waktu dengan cepat.. tentunya dengan menggunakan pesawat terbang, heehe..
Pesawat akhirnya berlari demikian kencang pada pukul 09.30 wita, membuat jantung beberapa penumpang mungkin berdebar. Apalagi saat take off, jiwa terasa diangkat, telinga seperti disumbat, meski belum terngiang-ngiang. Kata orang, kita mesti ngunyah gula-gula saat lepas landas, supaya telinga terbuka dan perbedaan tekanan di atmosfer dapat ditanggulangi. Kak Alam, yang duduk di samping jendela mengeluhkan tak adanya jatah makanan barang kue sebiji dua biji buat para penumpang. “kok, tak ada makanannya,” keluhnya.
Untung saja, saat kondisi kritis itu menghadang, datang instruksi dari Ibu-ibu yang ada tepat di kursi belakang kami untuk mengunyah beberapa jajanan kue khas Sulawesi, berupa kue Pawa’ dan Gogoso. Sontak saja, kue-kue itu dapat mengisi lambung kami yang sementara ngambek. Hehe..
Saat menengok beberapa penumpang yang berdekatan dengan lokasi kursi saya, terlihat banyak yang sementara tertidur, sangat nyenyak, ada pula yang lagi baca koran, memandang awan-awan yang bertebaran di samping-samping pesawat, yang paling seru adalah dialog dua dosen saya yang tak putus-putus. Seperti biasa, mereka membicarakan apa saja, mulai dari cerita keluarga, teman, dosen, mahasiswa, kampus, hingga pengalaman-pengalaman yang telah lampau. Tanpa sadar, bahwa mengamati semua itu sama halnya dengan menatap waktu, yang tak terasa telah berlalu, hingga mesin pesawat melemah, dan berupaya memiringkan sayapnya agar dapat terbang landai ke landasan.
Aba-aba kembali didengungkan oleh suara seksi yang terdengar samar, agar tetap mengencangkan tali pengaman. Pramugari-pramugari yang kulitnya seperti sehalus linen dan berwarna susu yang dicampur madu, kuning langsat yang dibubuhi serbuk putih itu turut memberi isyarat. Ya, Paras ayu memesona yang jika ditatap itu membuat kita lupa bahwa ada hati yang tinggal di Makassar, atau bisa saja membuat kita menjadi lebih awet muda. Mybe..
Pukul 10.30 wib atau 11.30 Wita, kami tiba di Bandara Juanda untuk transit barang 30 menit. Sekadar untuk buang air kecil atau kentut saja, setelah itu kembali ke pesawat semula, walau dengan nomor kursi yang sudah berbeda. Ya, kami bersiap lagi untuk melewati prosedur semula, duduk manis, bercakap-cakap sebentar, mesin menyala, ban berputar dengan kecepatan tinggi, lalu take of, mengarahkan moncong pesawat ke arah kalimantan Selatan dengan tujuan Bandara Syamsuddin Noor. Setelah berada di atas awan sekitar 50 menit pesawat pun singgah di bandara, banjar Baru.
Ketika menginjakkan kaki di tanah Banjar ini, hati terasa lapang, begitu menggembirakan, seperti mendapatkan durian runtuh (cheilee).. Sejak melihat tanah hujau berupa rawa yang banyak genangan dan garis-garis kuningnya dari ketinggian sekitar 100 kaki, sudah menggetarkan hati. Rasanya seperti rindu pada kampung halangan, padahal rindu untuk berpetualang, untuk menjadi si bolang.
Menarik nafas sebentar di bandara, kami pun dijemput ke Cempaka, masuk dalam kota Banjar Baru, tepatnya di kediaman rumah Dr Aslamiyah, dosen ahli nutrisi yang memang berasal dari kota santri ini. Jam Hp menunjukkan pukul 14.00 Wita, melepas lelah dengan duduk-duduk santai di karpet berbulu tebal merah, sembari menyeruput teh, dan menyantap makanan khas Banjar.
Mau tahu makanan khas Banjar? Boleh, kita mulai dari jenis nasi yang begitu lain di lidah. Nasi di kota seribu sungai ini adalah nasi yang jika diangkat, kemudian dijatuhkan pasti akan berhamburan biji-bijinya. Beda halnya dengan nasi yang di Makassar yang kebanyakan melengket, dan itu sudah dianggap paling cocok di lidah. Tiap daerah memang punya selera yang berlainan, dan masing-masing mengklaim yang terbaik. Saya kira itu tak perlu diperdebatkan. Setiap orang kok bebas memilih yang mana yang paling dia senangi, itu kan perinsip dasar kemanusiaan.
Menu lainnya adalah ikan sepat kering, yang menurut Mas Darmawan, direktur Pt Royal Handy Indonesia, bahwa ikan tersebut tak cocok di lidah orang Jawa, mereka merasa kasihan terhadap ikan itu, karena di Jawa ikan sepat terkenal sebagai ikan hias yang digemari. Jadi rasanya tak tega. Tak ketinggalan adalah sopnya, yang khas Banjar, kita bisa dapatkanlah di daerah-daerah besar lainnya, yang pasti terdapat satu dua warung soto Banjar. Meski saat itu, bukan berupa soto, tapi sop ayam. Tapi, tetap Ma’nyus kok.
Pengalaman di Banjar belum seberapa, soalnya baru sehari kok. Saya baru menyambangi jalan-jalan di sepanjang jalan antara Cempaka dan Martapura, baru pada keesokan harinya dimulai ekspedisi yang sebenarnya, yaitu ke Takesun, lokasi penanaman kepiting bakau untuk dilunakkan.
Perjalanan ke Takesun
Pagi-pagi benar kami mandi dan siap-siap, sesuai dengan kesepakatan dengan pihak pengelola tambak, yaitu berangkat paling lambat pukul 08.00 wita. Tapi, ceritanya lain, kami ternyata menunggu hingga pukul 09.30 wita, biasalah, jeda waktu dihabiskan untuk bergosip macam-macam, dengar musik, atau menghayal-hayal kondisi di lapangan.
Saat jemputan datang, kami pun berangkat, mobil dikendalikan oleh sang direktur sendiri, yang sepertinya cukup cakap mengendarai Daihatsu Senia, sembari berkomentar apa saja, berceloteh tentang kerajaan setan, ratu buaya, atau tentang pengalamannya memanajemen para krunya di Takesun. Pria asal kota Arek-Arek Suroboyo ini tampak menyakinkan. Dalam berucap, ia bisa dibilang tegas dan punya prinsip. Alih-alih cukup rasional dan selalu menggunakan logika. Cocoklah jadi seorang pengusaha, punya mental baja disertai kecerdasan. Tapi, itu baru kenal sehari, belum tahu dalamannya. Meski begitu, bolehlah.. hehehe
Perjalanan ke Takesun mesti menempuh sekitar 60 kilometer, dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam, bisa menghabiskan waktu duduk setengah hidup di atas Senia sekitar dua jam. Di pertengahan jalan, kami singgah di Bati-Bati, lokasi kantor kontrol PT Handy Royal Indonesia Kalimantan Selatan. Setelah melihat-lihat tanaman tomat, kol, mentimun, yang buahnya segar-segar, juga menyaksikan hasil rancangan tempat pemeliharaan kepiting lunak yang terbuat dari bambu yang dirakit, kami naik kembali ke dalam mobil untuk lanjutkan perjalanan.
Akhirnya, tiba di lokasi setelah melewati hamparan alang-alang, rumah-rumah kayu berkaki pendek, yang dindingnya dari papan yang disusun berdiri, serta melewati hamparan sawah yang padinya baru di panen setelah tujuh bulan penanaman. Saat tiba, kami dikejutkan dengan lokasi yang berbeda dari bayangan saya yang memang awam. Tapi sebentar saja saya bisa merasionalkan dan beradaptasi dengan pemandangan baru saya itu, kemudian mencoba mengamati aktivitas, tanda-tanda yang tersembunyi dan menyingkapnya. Menuju ke situ, butuh latihan dulu sepertinya, karena toh saya baru mempelajari jenis-jenis tanda.. bagaimana cakap menyingkapnya?
Sedikit demi sedikit mulai memahami persoalan, kebenaran pelan-pelan membuka tabirnya. Asalkan hati kita tetap lapang, pikiran tidak lari-lari, tapi harus diluruskan dulu. untuk hal ini nanti sajalah saya jelaskan. Deskripsi singkatnya saja ya..
Kawasan ini terdiri atas beberapa petakan, dimana dalam petakan itu terdapat kotak-kotak plastik hitam yang telah dilubangi sesuai sisi-sisinya, jumlah kotak bisa ditaksir sebanyak 50 ribu buah, sesuai dengan jumlah kepiting yang dipelihara. Terlihat para pekerja, baik gadis dan pemuda remaja, menarik-narik kotak-kotak itu ke atas jembatan. Tentulah yang ditarik itu adalah kepiting spesial, yaitu yang telah melepas busananya (molting). Pengaturan airnya terlihat normal, terdapat tandon yang terus dialiri air sungai yang masih segar, mesti suhunya cukup menegangkan urat syaraf, yaitu rata-rata 30-320C. Parameter yang lainnya tidak sempat saya tanyakan, tapi dari pengelolanya sendiri terdengar baik, tak tahulah di lapangan. Mungkin hari-hari berikutnya lah kami akan meriset kejadian yang sebenarnya.
Pukul 14.00 wita, kami telah melihat-lihat, mendengar keluhan-keluhan, sekaligus mencuri ilmu sedikit-sedikit dari Profesor dan Dokter yang datang bersama kami, dalam memecahkan persoalan di lapangan.
Jadi, demikianlah cerita saya dalam dua hari ini di kampung orang, kampung Banjar, kota seribu sungai, kota santri. Oke deh.
Sabtu, 30 Mei 2009
Banjar Baru, Kalimantan Selatan
Banjar Baru, Kalimantan Selatan
0 komentar:
Posting Komentar