Baik kiranya jika saya menceritakan sepotong kisah tentang ujung muara eksotis itu. Subuh hari, saya terjaga oleh ikamat sahabat, tegak membersihkan gusi dan membenamkan wajah dalam percikan air tawar, yang sangat kami hemat penggunaannya. Setelah shalat subuh yang menyejukkan raga pun jiwa, jendela rumah kayu yang baru saja di cat kuning muda pada bagian dalam dan hijau tua pada luar badannya, pun dibuka, membiarkan serbuk-serbuk partikel cahaya berhamburan masuk mengisi kegelapan. Mata mendapatkan energi untuk memantulkan obyek, yang terhampar indah di hadapan, deretan bakau Rhizopora Sp dan Avicennia sp berkilauan oleh cahaya surya, menawarkan gradasi hijau yang cantik menuju warna sumbu cahaya.
Oh, semesta tampak begitu perkasa. Bumi dan langit bertasbih, berdenyut harmonis dalam sistematika alam yang rumit dengan konsepsi sederhana. Langit biru yang di dihiasi gumpalan-gumpalan awan putih, kadang bulan masih terlihat samar, meski mulai terkalahkan oleh matahari. Aneka mahluk bersayap bermain-main di ruang lenggang, langit yang masih perawan. Warnanya beragam, ada yang hitam, putih, abu-abu atau gabungan warna ketiganya. Ada yang terbangnya barengan, ada yang senangnya berendam di tambak, nongkrong di atas pematang, beristirahat di sela-sela bakau, ada pula yang hidup soliter macam burung elang, yang pelan-pelan mengincar mangsa. Mahluk angin itu mencoba menggaris ruang hampa, tapi yang tersisa hanya jejak kepakan sayapnya, gelombangnya mungkin terpantul masuk ke tepi lautan, kemudian terhisap oleh kerang dara. Anadara sp, jenis kerang yang saya kejelingur cinta, lantaran asam manisnya. Hehe..
Berjalan di pematang, pada garis coklat yang tepiannya penuh rumput merunduk. Berkali-kali bolak-balik, entah ke dermaga cilik melirik burung bangau melebarkan sayapnya, berpetualang menelusuri sepanjang pinggir tambak bandeng yang panjang lebarnya sekitar lima hektar, ataupun dari mengangkat jergen air tawar, dari e’e, dan yang paling sering dari menengok kepiting bakau, mahluk yang beberapa kali mencapit saya..
Ya, kepiting bakau lah yang mengundang saya ke surga para satwa angkasa itu. Kepiting, mahluk bercapit yang mendorongku masuk dalam dunianya. Suatu tarik menarik dua kutub berlawanan, menciptakan medan energi yang jika ditakar dapat menyalakan listrik. Oh, kepiting yang saya tunggu melepaskan busananya. Bukannya untuk menggerayangi, tapi untuk diamati saja laju peningkatan waktu pelepasan cangkangnya, yang tentunya akan mendukung penelitian sarjana saya. Jika kepiting melepas bajunya, hadir perasaan bahagia, entah berasal dari mana.
Mungkin itu yang disebut penantian, sebuah pengharapan dari hasil tujuan. Manusia memang butuh penantian, kalau hal itu tak ada apalah gunanya hidup ini. Saya jadi teringat perdebatan seru berabad-abad silam, antara kaum yang mendukung kebebasan dengan kaum yang mendukung ketundukkan mutlak atau predestinasi. Ini adalah diskursus klasik tapi cukup asyik disimak. Bolehlah disebut di golongan yang berdebat itu, yakni golongan Mu’tazilah dan golongan Asyariah. Kalau Mu’tazilah pro kebebasan dan keadilan ilahi, sementara Asyiariah menyaratkan ketundukan mutlak pada sunnah.
Melirik hal di atas, saya jujur punya kecendrungan pada kebebasan, atau bahasa lainnya menjadi liberal. Liberal bukan bermaksud liar, tapi lebih menjadi manusia merdeka, yang melakukan sesuatu tanpa ada intimidasi dari pihak lain. dengan begitu, segala aktivitas yang kita lakukan akan menjadi lebih bermakna, dan tentunya konsekuensi dari perlakuan kita itu akan mendapatkan sangsi dari keadilan Ilahi. Di samping, potensi akal, hati dan indra yang saya miliki menjadi tidak sia-sia. Tinggal bagaimana sebisanya potensi itu mencapai hakikat syukur.
Saya mencintai kebebasan, orang lain tak boleh semena-mena mengintervensi saya, sehingga pilihan-pilihan hidup saya pun direngguk begitu gampangnya. Yang jelasnya, kebebasan itu tak mengganggu kebebasan orang lain, itu saja batasannya saya kira.hehe..
Sayangnya, di tambak tak ada listrik, jadi tak ada kehidupan malam. Cuma lampu minyak yang sedikit memberi cahaya. Tapi di situ pula serunya, karena kita betul-betul kembali ke alam, bumi gaia. Meski, tak dapat lagi menyentuh komputer serta untuk membaca deret-deret kata di buku menjadi lebih sulit. Mata lebih perih dan lekas bobo.. tapi jika kita keluar ke tambak, kita akan menyaksikan gugusan bintang yang berkedap-kedip, melontarkan cahaya yang tentunya sampai ke mata kita setelah menempuh perjalanan bertahun-tahun.
Satu lagi, di lokasi tersebut, kita dibiasakan untuk hidup mandiri. Maksudnya untuk keperluan pokok, seperti makan harus menyediakan sendiri dengan menjaring ikan mujair, jika beruntung dapat bandeng, udang, memungut tude di pinggir muara, memotong sayur kangkung, meracik pedesan, serta menanak nasi dan memasak air. Hidup terasa lebih bermakna, karena waktu yang bergerak bersama ruang yang selalu berubah kita isi dengan begitu dinamis. Jadi kenikmatan makanan tadi pun menjadi bertambah… ma’nyos..
Oke deh.. sepertinya sudah dulu ya, soalnya sekarang saya ada di kota Banjar Baru Banjarmasin.. semoga dapat bertemu lagi, dua bulan ke depan.. by by
Banjar Baru, 29 Mei 2009
Idham Malik
Idham Malik
0 komentar:
Posting Komentar