semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Cahaya bintang, Bulan Temaram


duapertiga Mei, tampak purnama di kelilingi awan kelam, langit terang dengan jutaan bintang, kedap-kedip laksana lampu diskotik, memabukkan para pemangsa perawan. Bulan bercahaya di ufuk timur, 45 derajat dari ruang lebar sisi kanan bangunan pasanggrahan, yang dinding-dindingnya cerah oleh lukisan tokoh-tokoh negeri lain, seperti Mahatma Gandi, Imam Khomeini dan Bunda Theresa. Membentuk sudut lancip tajam dengan tegakan pohon asam sebagai tonggak, ya hendak membelah jiwaku yang risau. Atau menggembosi lubang hati yang sementara bergetar oleh gravitasi malam. Malam yang penuh dengan koloid-koloid cahaya berkonsentrasi rendah. Menembus alam pikiran, alam lentur ruang dan waktu.

Bulir-bulir air melekat di dedauan pepaya, sesekali menetes pada ujung daun anggrek putih. Semut-semut dengan giat mengumpulkan serabut-serabut buah pada lapisan dalam kutikula pohon mangga, lapisan yang sengaja di belah oleh parang ayah untuk memudahkannya memanjat, saat aroma mangga mulai merekah, ketika bunga-bunganya mulai mengotori pekarangan rumah. Para unggas terlelap dalam sunyi malam. Mengatup kelopak mata, membiarkan semut-semut menggerogoti bulu-bulunya.

Tanah pada pertengahan pancaroba ini, dimana hujan hanya sekali-kali mengguyur, kini dalam kondisi basah. Pada rimbun rumput gajah, katak pun dengan bebas menyusuri rerumputan basah. Bersama cacing-cacing dalam tanah yang dengan mudah membuat lorong-lorong bawah tanah. Serangga pun bersembunyi di antara dua batang anturium.

Bulan yang cahayanya mekar itu membuat pikiran terbius ke alam lain, alam tanpa bentuk. Seperti kisah Nagabumi, pendekar abad ke-9 pada masa dinasti Syailendra, di Jawadwipa. Kesatria yang telah berumur 100 tahun itu punya kemampuan tak tertandingi, setiap pendekar di jagad jawa berambisi untuk mendaki langit dengan cara menundukkan lelaki tua namun masih tegar itu. Tapi sayang, upaya mereka sia-sia dan justru hanya mempercepat putusnya nyawa mereka dari raganya. Mereka melawan jurus tanpa bentuk dengan hanya mengandalkan satu formasi jurus tertentu, sehingga dapat dengan mudah dilumpuhkan oleh Nagabumi. Nagabumi melawan bentuk dengan tanpa bentuk, melalu keteraturan dengan ketidakteraturan, memanfaatkan energi tubuh lawan untuk menghancurkan diri mereka sendiri, membiarkan senjata-senjata berat mereka mencabit, mensobek dan meracuni raga-raga mereka sendiri.

Jurus tanpa bentuk Nagabumi lahir dari formasi dari beragam bentuk, sehingga ia dapat menyesuaikan dengan jurus-jurus yang dilakoni oleh lawan. Jurus ini tak didapatkan dengan format-format tertentu, tapi merupakan terjemahan olah pikiran terhadap ajaran cakradarma pada filosofi Buddha. Nalar digubahnya menjadi olah raga, diakumulasi oleh lurus hati, sehingga melahirkan jurus yang multigerak, semacam bayangan yang tak mampu dibaca oleh mata-mata teliti pendekar-pendekar sakti.
Ah.. alam tanpa bentuk tadi saya interpretasi menjadi jurus tanpa bentuk ya?

Hehehe.. mungkin karena saya cukup terkesima dengan novel terbaru Seno Gumira Ajidarma itu. Seorang novelis ternama berambut gondrong, yang juga berprofesi sebagai dosen seni dan sastra di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Membacanya, kita dapat banyak tahu fenomena sosial politik Dinasti Syalendra dengan kacamata subyek pendekar Nagabumi. Pendekar yang dipenghujung umurnya menulis beberapa kitab jurus dan sastra untuk mengatasi titik kulminasi pikirannya.

Cahaya Bulan, saya teringat kisah pendekar yang dapat membelah bayangan bulan pada air kolam yang tenang. Saya tak tahu jurus apa yang pendekar itu gunakan, mungkinkah menggunakan ilmu mistis atau semacam sulap untuk menipu mata orang biasa? Atau kisah seorang nabi yang berasal dari negeri Arab pada abad ke-7 yang betul-betul telah membelah bulan. Tapi mungkinkah manusia suci itu benar-benar membelah bulan dalam tinjauan saintifik? Atau sekadar simbolisasi saja? Ya.. tak tahulah pastinya, tapi menurut kebanyakan kepercayaan orang, kejadian itu merupakan mukjizat tersendiri pada diri Nabi Muhammad SAW. Yang jika ditinjau berkaitan dengan turunnya ayat pertama surah Al-Qamar, “Sungguh telah dekat hari kiamat, dan bulan pun terbelah”.

Bagaimana pula dengan sejarah kalender islam yang sangat identik dengan penanggalan bulan? Atau diistilahkan sebagai kalender hijriah. Penanggalan itu dimulai ketika Rasulullah melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah, tepatnya pada Hari Kamis, 15 Juli 622 M. Peristiwa hijrah ini merupakan awal kebangkitan islam sebagai agama rahmatan ril alamin, agama yang berpihak pada kaum mustadafin dan duafa. Bagaimana tidak, sahabat-sahabat yang nabi saat itu adalah sahabat yang berasal dari golongan kelas menengah ke bawah, sahabat yang rela meninggalkan rumah dan tanahnya untuk dikuasai para perampok tanah di Mekkah dan hanya membawa bekal seadanya untuk hijrah ke Madinah. Sementara kaum yang menerima mereka yang biasa disapa sebagai kaum anshar, pun rela membagi hartanya untuk keperluan para muhajirin dan juga untuk perkembangan agama islam di Madinah. Orang-orang inilah yang dalam alquran sebagai orang yang diberkati oleh Allah SWT, para mustadafin yang dengan sungguh-sungguh membela agama.

Berbicara masalah agama, saya masih merupakan manusia yang terombang-ambing dalam derasnya pertarungan wacana dan ideologi. Meski demikian, sepanjang perjalanan belajar saya, belum ada satu pun hal yang saya temukan dapat mengikis keyakinan saya pada agama islam, baik itu yang dikemukakan para nabi atheis, seperti Nitzhe, Freud, Marx, ataupun Feurbach. Islam tetap sebagai agama pencerahan bagi diri pribadi saya maupun untuk masyarakat banyak. Tentu keyakinan itu muncul, jika saja kita benar-benar membuka mata terhadap ajaran-ajaran inti agama Islam ini.

Dan saya memutuskan memilih islam sebagai agama sosial, dimana ajaran-ajaran sarat akan kepedulian terhadap anak yatim, kaum miskin, orang terlantar, serta kepedulian terhadap lingkungan. Saya pun sangat risih jika bertemu dengan orang yang di mulutnya penuh dengan ayat alquran dan hadist nabi, tapi dengan enteng mengkafirkan golongan lain, dengan sikap angkuh dan sombongnya. Tentu, orang-orang seperti ini adalah tipikal manusia yang bukan menyembah tuhan, tapi sekadar menyembah mashab, atau lebih parahnya lagi mungkin hanya menyembah orang. Dimana apa yang dikatakan oleh ustadnya sudah dianggap sebagai kebenaran mutlak dan tidak perlu lagi diganggu gugat. Dan satu-satunya cara untuk menyelesaikan pemikiran seperti ini hanya dengan mengajarkan kepada generasi muda kita mengenai cara berpikir yang benar, lewat proses dialektika dan kritik. Tentu, filsafat adalah langkah untuk mengajarkan kita selalu mempertanyakan apa saja, baik itu lingkungan social kita, teman-teman kita, para pemimpin kita, bahkan mempertanyakan kejanggalan-kejanggalan dalam agama kita. Dan satu hal yang perlu ditekankan bahwa, derajat seseorang di mata tuhan itu dinilai dari kapasitas ilmu dan akhlaknya, bukan berdasarkan jumlah material duniawi yang laknat itu. Sehingga, untuk menuju derajat yang dibanggakan itu, tentunya kita harus selalu mempertanyakan kebenaran agama itu sendiri.. hehehe..

Hahaha.. perbincangan lari ke persoalan agama, tak biasa tuh.. emm.. malam udah betul-betul larut dan bulan masih menggantung, melebarkan ronanya. Badan yang tipis ini pun mulai digrogoti udarah dingin, sementara perut juga sedikit keroncongan. Maklum begadang, aktivitas yang sudah saya lakoni sepekan terakhir ini. Menemani seorang kawan untuk menjaga café-nya, jadi selain kondisi pikiran yang jarang berkeinginan untuk off, lingkungan juga sangat mendukung untuk begadang. Jadi, waktu pun terpakai untuk melanjutkan baca novel nagabumi, sesekali main facebook, atau membuka situs-situs berita seperti metro dan tempo interaktif.

Pada bangunan beratap daun kelapa kering ini, dengan duduk lesehan di atas karpet biru, para pelanggan café dengan serius memerhatikan layar laptop mereka. Satu permainan yang paling digemari, yaitu ‘poker’, virus poker betul-betul menjamur di café ini. Para pelanggan rela menghabiskan malam istirahatnya dengan berfantasi lewat koin-koin maya, senantiasa berdebar-debar saat koin dipertaruhkan, mungkin pada titik inilah puncak kulminasinya. Mengamati hal itu, saya justru berdebar-debar pula. Apakah kenikmatan berfantasi telah dapat mengalahkan waktu dan rasionalitas itu sendiri??...

Dini Hari, 20 Mei 2010, di NTI Makassar
202 tahun dari kelahiran Budi Utomo di Batavia



0 komentar:

Cahaya bintang, Bulan Temaram