Sejak rabu, 12 Januari 2011 sepekan lalu, saya memantapkan niat sekaligus hasrat untuk membuang diri di Ibukota, Jakarta. Dalam benak yang telah dilumuri gelora itu, saya mengiyakan ajakan seorang pengusaha kepiting di Jakarta, untuk membantunya menemukan solusi yang tepat buat penggemukan kepiting bakau. Yah.. pesawat melaju cepat meninggalkan Makassar, yang hari-hari sebelum keberangkatan begitu getir dan mengundang rindu. Perpisahan dengan keluarga, sahabat dan teman-teman dekat. Berpisah dengan jalan-jalan raya yang sudah ditulari macet, terpaan sinar mataharinya yang terik, udara hangat, terlepas pandang dengan kelokan-kelokan berbau asap, serta keriuhan canda tawa di rumah kecil pk identitas, aroma kopi di warkop Mammiri serta nuansa ilmu dan kegetiran di toko buku Papirus.
Jakarta, aku datang yang kelima kalinya, namun juga terasa asing. Kali ini bukan utuk jalan-jalan atau transit lagi, tapi untuk menetap, entah beberapa lama. Saya tak tahu, diriku kuserahkan sepenuhnya pada takdirku di kota yang katanya sudah borok ini. Mungkin Jalan-jalan tak banyak berubah, tapi hatilah yang mengendus kelainan itu. Ya, debur alir darah tak lagi begitu terasa, keluar dari bandara seperti mendatangi rumah baru yang sudah siap huni dengan segala konsekuensinya. Di pintu gerbang, Gin datang dengan Mescy-nya yang berjalan pelan, kami bertemu pandang dan bertukar senyum.. “Selamat datang di Jakarta Mas Idam”..
Mercy milik pak Gin tak terkena macet, berkelok ke arah Pluit, Jakarta Utara. Pak Gin dengan senangnya mengundang perbincangan, menularkan semangat dan visi perusahaan. “Gimana, siap maju?”, “tentu pak, siap dong!!”.. begitulah kira-kira sedikit pernyataan yang terlontar.. hehehe.. gimanapun, harus siap.. sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai..
Kami singgah santap siang di rumah makan khas Cina, kalau tak salah mencicipi udang yang dililiti rumput laut. Sembari makan, cakap-cakap berlanjut, temanya mengalir kesana-kemari. Bermula dari kisah perusahaan selama tiga tahun lebih ini untuk maju pantang mundur, pengalaman menangani kepiting, bagaimana menghadapi karyawan, hingga tentang keluarga pak Gin yang meninggal sepekan lalu. Asyik juga, meski terpaut hampir 20 tahun, kami seperti teman lama yang baru ketemu kembali.. hehehe.. begitulah mungkin cara-cara diplomasi tingkat tinggi, dimana kunci sukses terletak pada interaksi yang disulur oleh komunikasi.
Tiba di Gudang, beberapa pekerja sedang sibuk membuat alat penangkap busa yang mengandung amoniak. Busa ini terakumulasi di permukaan air penampungan (tandon) lantaran terangkat akibat stimulasi scimmer.. ‘saya belum tahu betul prinsip kerja alat ini’. Seharian alat berbentuk segi tiga tumpul yang terbuat dari plastik bening itu dibuat, kemudian diterapkan langsung di tandon, namun tampak tidak membuahkan hasil optimal. Busa tidak banyak yang berhasil masuk dalam prangkap plastik itu. Esok harinya dibuat lubang pada sisi atas belakang dinding tandon, untuk memancing keluarnya busa, namun juga tak berhasil. Sehingga, kembali lagi yanto mengangkat busa-busa itu menggunakan penyaring.
Sore hari, saat itu kepiting datang dari daerah kalimantan, sekitar 3 koli atau lebih, para pekerja mulai melakukan tugasnya. Mereka menyortir kepiting satu persatu, yang lembek perutnya atau perut kosong, yang lemas, dan yang ukurannya di bawah standar diletakkan di keranjang khusus. Begitu pula kepiting yang jantan atau sekalian betina yang tak masuk kategori, karena kepiting yang diekspor ke Taiwan ini hanya kepiting banci saja. Katanya, kepiting banci sangat disenangi rasanya oleh orang Taiwan, barangkali rasa lemak kuning (mungkin gonad) yang belum sempurna menjadi gonad kepiting betina dewasa itu. Namun sayang, sejak pertama saya khawatir dengan kualitas kepiting, lantaran penanganannya yang kurang tepat. Bagaimana tidak, kepiting yang disortir itu seperti dibanting-banting begitu saja, seperti bola dalam permaianan kaki anak-anak kampung di musim hujan.. hehee...
Yah.. melihat itu saya senyum saja, sembari mempelajari aspek lain yang menyebabkan kepiting dapat stress.. setelah sortir, kepiting didiamkan barang setengah jam, lalu kepiting yang sudah terkumpul dalam keranjang-keranjang itu diceburkan dalam kolam aklimatisasi. Kolam ini pun seperti kubangan kerbau yang sementara membersihkan dirinya, menghangatkannya dari panas dengan bermain lumpur. Ya, lumpur-lumpur kepiting yang datang dari daerah dicuci di kolam ini. barangkali, sebelumnya kolam ini dimaksudkan sebagai kolam pencuci kepiting, sehingga air yang kotor dan mengandung amoniak itu bukan menjadi sebuah persoalan. Nah, paradigma awal ini kemudian diputar, bahwa kolam ini bukan sekadar kamar mandi kepiting, tapi juga sebagai media awal penanganan atau pengenalan dengan lokasi baru atau air di dalam gudang. Atau dalam istilah ilmiahnya dikenal dengan nama aklimatisasi. Di kolam ini kepiting berupaya melakukan adaptasi secara perlahan agar tidak diterpa stress. Dalam adaptasi juga punya cara, yaitu dengan menyiramkan air media ke keranjang kepiting terlebih dahulu, dua sampai tiga kali, lalu mencelup-celupkan tubuh kepiiting ke dalam kolam baru setelah itu ditenggelamkan. Kalau tidak demikian, kepiting pada bingung menghadapi air, malah ditakutkan kepiting-kepiting ini mengalami kesulitan bernafas jika tidak melalui proses aklimatisasi.
Sejak itu, saya menyadari bahwa ilmu yang ditempa di bangku kuliah dengan segala macam prakteknya itu ternyata berfungsi juga di gudang ini. padahal, saat kuliah kebanyakan saya ogah-ogahan karena menganggap ilmu ini tak akan terpakai di masa depan, dalam benak saya waktu itu, masa depan bukan dalam lingkaran perikanan.. eh.. sekarang justru terjebak dan reski malah mengalir lancar di dunia perkepitingan. Yah.. begitulah hidup, begitu sulit diterka, kadang sesuatu yang tidak pernah diduga datang menghampiri, dan itu menuntut kita untuk selalu siap pada apa saja yang hadir.. mungkin di balik itu ada sesuatu yang bernilai.. entahlah..
Kepiting-kepiting yang malang ini ditampung dalam bak-bak fiber, tentu setelah mentiriskannya di samping kolam aklimatisasi. Airnya berasal dari air tandon yang diputar dalam sistem tertutup. Sehingga air yang masuk ke media fiber mengalir terus, walau tidak seberapa deras. Dalam setiap persegi fiber diisi dengan kepiting-kepiting dengan kapasitas tertentu, tampaknya cukup padat sehingga tampak kepiting bertumpuk pada sisi air masuk dan air keluar, sementara pada sisi tengah lengang begitu saja. Kasihan juga melihat perlakuan pada kepiting ini, stress bertubi-tubi mungkin dihadapinya dengan sabar. Lantaran ketegangan berlarut-larut itu, ada beberapa diantaranya yang kehabisan energi, melepaskan kaki-kakinya, meluruskan antena hingga tak menghirup oksigen lagi. Ia pun bebas pergi dari dunia yang sumpek ini, sementara kita, manusia yang dihinggapi rasa haus ini justru merasa kehilangan. Seperti duit dibakar begitu saja. Hehe..
Kendala lain pada kandungan amoniak, maklumlah, kepiting ini banyak mengeluarkan urin dan kotoran yang menyumbang amoniak tinggi. Saya pikir sistem air mengalir telah sedikit memecah amoniak. Ditambah kalau ada bakteri pengurai seperti nitrosomonas dan nitrosobacter, bakteri ini akan melepas ikatan NH3 menjadi nitrit kemudian nitrat. Penggunaan batu karang di tandon dan di bak-bak filter ada baiknya sebagai media penampung bakteri jenis itu. Atau penggunaan cascing atau kotoran cacing untuk mengurai amoniak, seperti yang pernah saya dengar dari penjelasan seorang dosen saat di kampus dulu.
Itu sekelumit yang tampak dari seharian itu, dan setelah dua pekan di gudang ini tentu sudah lebih banyak. Yah.. ternyata ilmu itu dapat berkembang setelah berhadapan dengan persoalan di lapangan atau realitas. Ia menjadi sampah pikiran saja jika tidak dibenturkan dengan yang tampak. Kalau dalam istilah Karl R Popper ini disebut pengetahuan berbasis masalah. Sayang juga melihat atau mengenang kondisi pembelajaran di kampus yang kebanyakan tidak berbasis masalah. Teori 20 jam, sementara praktek di lapangan cuma 5 jam, itupun dilakukan dibelakangan hari dengan ogah-ogahan lagi. Jadi, mahasiswa-mahasiswa itu hanya menghayal saja, tak tahu mereka bagaimana persoalan aslinya. Mereka disuapkan metode dan solusi tanpa jelas akar-akar masalahnya. Belum lagi perkembangan ilmu pengetahuan dan metode yang diterapkan oleh swasta yang kadang mendahului para ilmuan di kampus. Hemm.. mestinya teori dan praktek sejalan. Kalau perlu peraktek dulu, pengalaman dulu, baru setelah itu pengenalan masalah dan setelahnya perumusan teori..
Cengkareng Timur, Jakarta
27 Januari 2011
1 minggu yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar