semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Tentang Negeri yang Tak Ada Lagi (3)

Tentang penduduk di negeri Ribu. Negeri yang dihuni oleh manusia-manusia yang ditakdirkan berbentuk aneh. Negeri ini terdiri dari tiga jenis warga, pertama warga lokal, kedua adalah para pendatang dari negeri gurun, ketiga para pemburu-pemburu tersesat yang tak dapat pulang, dan sisanya adalah kaum campuran, lazim disebut masyarakat indo.

Penduduk lokal yang dikenal dengan kaum Libu adalah kelompok terbesar. Ia tersebar merata di tujuh koloni. Kaum ini mempunyai bentuk tubuh sedikit bongkok, kulit gelap, licin dan tubuh dirimbuni rambut. Otaknya pun tak beda jauh dengan orang-orang purba. Sedikit mengalami perkembangan karena sudah mampu membuat rumah dari ranting, telah mampu menjahit serat-serat kayu, dan sudah melakukan tukar menukar barang, dimana generasi sebelumnya belum mengenal konsep ekonomi tukar, yang hanya bergantung pada aktivitas perburuan dan relasi kerukunan dalam keluarga.

Kini, mereka sudah terspesialisasi, terbanyak adalah petani sagu, sagu merupakan makanan pokok negeri ribu. Sebagian menjadi nelayan di sungai, dan pemuda-pemuda yang baru mekar lebih senang berburu rusa dan babi hutan. Kaum perempuan yang sudah sedikit jompo, memilih untuk pergi memetik bayam di pinggir-pinggir koloni, dan beberapa diantaranya mulai melakukan aktivitas budidaya bayam. Sebagian yang lainnya saban pagi hingga tengah hari nongkrong di tempat pertukaran barang untuk menjajakan sekeranjang ikan, setumpuk bayam atau ternak-ternak anjingnya yang juga menjadi makanan favorit. Ada pula yang membantu para pedagang mengangkat barang, bahkan menjadi pengemis sekalipun.

Kaum negeri gurun adalah penduduk yang terbanyak kedua. Di tiap koloni, mereka membuat perkampungan sendiri, biasanya bermukim di tepi-tepi sungai. Mereka tidak biasa di tengah hutan, mereka adalah kaum matahari. Mereka harus terkena matahari setiap hari, kalau tak terkena sinar mentari mereka langsung jatuh sakit, muka merah padam, detak jantung melambat. Dan cuma di tepi sungai saja yang banyak cahaya matahari. Kulitnya berwarna kemerahan, seperti warna senja dimana matahari tersangkut di cakrawala. Mereka datang ke negeri Ribu, karena terdesak kebutuhan air di negerinya yang sudah tak cukup menghidupi ratusan warga negeri gurun yang berada di lapisan terluar hutan hujan ini. Mereka pun sebenarnya orang-orang pinggiran negeri gurun yang tak kebagian lahan dan air.

Saat melakukan migrasi massal lima dasawarsa lalu, jumlahnya cuma 53 orang, 20 laki-laki, 18 perempuan dan 15 anak-anak. Di bawah kepemimpinan Aduardo, pada malam hari yang dingin, orang-orang itu menyelinap di celah-celah ngarai yang kering. Menelusuri lorong-lorong sempit dengan membawa gulungan tenda dalam tas rajut yang mereka gandeng. Bersama dengan gerombolan itu, turut pula belasan lembu yang giring untuk diternakkan lagi di lokasi baru. Diujung lorong sempit itu, mereka menemukan sungai kecil yang airnya berwarna hijau. Terusan air inilah yang dimanfaatkan oleh negeri kaumnya untuk bertahan hidup di musim kering panjang ini. Mereka berjalan di pinggir sungai itu, setiap purnama bersinar terang mereka menghentikan perjalanan untuk menangkap ikan di sungai. Sinar rembulan memancing ikan naik ke permukaan, sehingga akan dengan gampang ditombak ataupun dipanah oleh gerombolan kaum matahari. Panah yang terbuat dari batu gamping yang sitarnya dari kulit domba.

Hingga sebulan kemudian, setelah melewati sepanjang pesisir sungai di gurun, mereka menemui padang sabana yang berlumpur, dimana rumput-rumputnya gatal dan berduri. Sehingga mereka mempersiapkan daun sirih untuk mengatasi gatal pada mata mereka akibat serbuk-serbuk ilalang. Untuk gatal di sekujur tubuh, Edoardo tak kehilangan akal, ia menyuruh rombongannya melumuri tubuh dengan lumpur. dimana kulit-kulit mereka menjadi cokelat sepanjang hari. Para penghuni gurun ini tak kenal lelah, mereka terus berjalan, lembu-lembu yang digiringnya pun berkurang satu persatu. Sampai pada suatu waktu saat mereka melihat rimbun hijau dikejauhan, dan angin yang berhembus dari arah sana yang sejuk, kian memberi semangat bagi mereka untuk melangkah. kemudian tibalah mereka di hutan hujan itu dan menepi pada pesisir sungai yang tenang.

Penduduk ketiga adalah sama seperti saya, yaitu orang-orang yang tersesat. Diantara penduduk ketiga negeri ini adalah para peneliti, pemburu (hunter), pengembala, penjelajah gunung (climber). Mereka tak punya rumah, tapi menumpang di pondok-pondok penduduk lokal. Mereka menggunakan akalnya, kemampuannya untuk mempertahankan hidup. Di negeri Ribu sebagian dari mereka bekerja sebagai penasehat Raja Limbu. Penasehat politik, lingkungan, atau ekonomi. Di antara mereka pun banyak yang terjerat pada pandangan pragmatis. Cendrung menjadi penjilat untuk memperoleh kehidupan yang melimpah.

Ketiga kelompok yang hidupnya berdampingan di beberapa koloni itu tampak tak rukun hidupnya. Sejak awal kedatanganku di negeri Ribu, aku sudah merasakan aroma diskriminasi yang menyengat. Sekat-sekat kaum ini dipertegas dengan kepemimpinan raja Libu yang hanya mementingkan diri sendiri, memanjakan kaum kulit merah yang gemar berdagang, berkongsi dengan para pengusaha di negeri Salju dan negeri minyak dalam bisnis kayu dunia, seraya memojokkan kaum pribumi yang mati-matian memperhatikan adat istiadatnya dan lahan adatnya.

***



0 komentar:

Tentang Negeri yang Tak Ada Lagi (3)