Aku datang ke negeri itu lima tahun lalu, saat aku tersesat sendiri di tengah hutan. Sebelumnya, aku menjelajahi hutan hujan itu bersama lima orang peneliti, namun karena kelamaan mengamati sejenis caplak yang berukuran kuku jempol tanganku, membuatku terpisah cukup jauh dari kelompok. Aku lupa peringatan pemandu, bahwa kita tak boleh saling jauh-menjauh. Jarak antar anggota kelompok hanya sampai tiga semeter saja. Kalau agak jauh, kita bisa tersesat, hilang dan terselip di antara beragam spesies tetumbuhan.
Caplak yang sayapnya memendarkan sinar dari bulat-bulat kuning di punggungnya itu aku masukkan dalam tabung kaca, warna keemasannya kian bersinar dalam rimbun pohon raksasa itu. Aku begitu terpesona melihatnya, menambah daftar kekagumanku pada hutan misterius ini. Sebelumnya, aku pernah belajar ilmu biologi selama setahun di Universitas Negeri Pasir. Beberapa kali aku mengunjungi laboratorium biologinya yang terkenal dengan koleksi serangganya itu, termasuk caplak yang tercakup dalam kelas acarina, berordo Arachinoidea (sejenis laba-laba kecil). Di negeriku yang dulu, caplak dikenal sebagai parasit penghisap darah, bahkan ia masuk dalam aliran darah mamalia, kemudian merusakkannya dari dalam dengan menjadi vektor penyakit menular lewat rambut-rambut halus pada kaki-kakinya, dengan cepat virus tipes pun tersebar dalam tubuh melalui sistem peredaran darah.
Pada sebuah ruangan khusus, tampak kumbang terpampang kaku dalam lemari-lemari kaca, kalau tak salah ada sekitar 200 ribu jenis kumbang yang telah diidentifikasi. Aku pun menatapnya lekat-lekat dan menelusurinya keindahannya satu-satu, sepercik iba muncul melihatnya terpaku tak bernyawa. Kumbang-kumbang itu menjadi objek kepuasan intelektual manusia, untuk dikuasai dan dimanfaatkan. Dalam benak para ilmuan, terpatok doktrin bahwa alam dan segala isinya ini ada di bawah kendali manusia. Alam bebas dieksploitasi demi kemajuan manusia. Yah.. tentu logika laten itu tersembunyi dalam bingkai ilmiah dan kemajuan ilmu.
Tabung kaca itu aku simpan dalam tas, bersama setumpuk daun bayam merah jenis Amaranta. Bayam tersebut hanya terdapat di dalam hutan ini. Jenis bayam yang mengandung hormon tiroid khusus, yakni ekdison yang jauh lebih berkasiat di banding bayam yang ditemukan dosen di negeri pasir itu. Rencananya, bayam ini aku akan teliti untuk bahan pakan kepiting untuk ekspor ke negeri kuning. Negeri dengan warga bermata sipit yang rela menukar berasnya sekarung demi mendapat 20 ekor kepiting. Namun, apa lacur dengan bayam dan kumbang ini. Aku sudah terhimpit dengan rimbun batang pohon, dengan nafas memburu, dengan kuping yang berupaya menangkap jika ada suara yang berasal dari kawan-kawan penelitiku.
”halo....!!! dimana Kalian...!!! teriakku, namun yang terdengar hanya dengungan panjang suara ku, tanpa ada suara balasan. Hingga tenggorokanku kering melepas suara, dan tersungkur lesu. ”kalian sudah pergi jauh....hemmm..”. aku bangkit, menghimpun tenaga dan mencoba menenangkan pikiran. Ranting-ranting aku kumpulkan, mencoba menerapkan cara membuat api dari gesekan batu gamping. Berkali-kali aku menggesek untuk memantik percikan api, cukup lama juga hingga melahirkan api, lantaran tangan ini tidak terlatih untuk keahlian jenis itu. Kilatan api itu aku sentuhkan dengan dedauanan kering untuk menimbulkan asap. Asap pun membumbung tinggi, menembus cela-cela ranting dan dedaunan. Membuat lumut-lumut pada pohon-pohon di sekitar mengeluarkan banyak keringat dengan aroma menyengat.
Burung-burung pun minggat dari ranting yang dilewati asap. Suara kelompok aves itu cukup ribut, serta mengusik sekawanan kera di pohon-pohon sebelah yang justru lebih berisik. Saat itu, aku melihat sekelompok burung berwarna pelangi melintas di atas kepalaku. Burung jenis beo ini sekilas menakjubkanku, paruhnya melengkung berwarna jingga, matanya bulat merah dengan bintik hitam, sementara tubuhnya berbalut bulu aneka warna, biru para lingkaran wajah dan dadanya, hijau para sayap-sayapnya, kuning pada punggung dan ujung kepalanya, dan corak-corak merah pada pahanya.
Tapi sayang, lima jam berlalu, tak ada tanda-tanda pertolongan. Aku mulai berpikir, jangan-jangan kawan penelitiku pun tersesat juga. Atau bahkan tertangkap oleh sekawanan penghuni suku dalam dan menjadi santapan malam yang sangat istimewa. Bagaimana tidak, daging manusia kata orang-orang suku sini yang menjadi buruh di negeri Pasir adalah daging yang paling enak rasanya, lantaran seratnya yang lembut, darahnya yang panas, dan aromanya yang menyengat. Apalagi jika dicampur dengan daun melati serta bebauan lada dan kayu merah. Emm.. katanya, sedikit lebih tinggi rasa hangatnya dibanding daging anjing.. ludah-ludah mereka pun terjulur keluar selayaknya anjing kepanasan.
Takut juga kalau itu betul-betul terjadi, hingga aku memutuskan untuk pulang sendiri. Dengan mencoba meniti jalan-jalan sebelumnya yang sudah mulai kabur diingatan.
Dalam penelusuran ulang ku, kuamati lekat-lekat butir-butir air yang mengembun di dedaunan palem. Aku pun mulai memahami bahwa hutan ini selalu saja basah, embun tak pernah hilang, dan sepanjang hari terasa pagi. Aku mendongak ke atas, sinar mentari memendarkan koloid, menjurus di depan langkahku. Hanya titik-titik cahaya saja yang masuk. Suasana jadi adem lantaran matahari hanya berhasil menginvasi hutan ini sekitar sepuluh persen saja.
Pikiranku kacau, begitu banyak yang berkelabat, semangat yang sengaja dibesar-besarkan untuk tetap bertahan dari segala kemungkinan terburuk. Aku memikirkan jika saja ada mata jeli yang mengintai. Aku paling takut pada mata biru milik harimau belang. Kalau aku tak beruntung dan kemudian bertemu dengannya, aku akan pasrah saja. Aku tak dapat berbuat apa-apa, aku paling tidak tahu cara bertahan hidup di alam liar, pengalamanku pada dunia seperti sekarang itu sangat minim. Umurku yang sudah sepertiga abad ini seperduanya habis di ruang laboratorium. Tempat istimewaku untuk mencipta ramuan-ramuan mujarab, racikan obat-obat bermutu yang bahan suplemen penelitianku itu aku cari di hutan ini. Dan aku tak menyangka akan bakal tersesat, kemungkinan untuk bertemu kawanku lagi adalah 0,00000.... persen. Saat ini aku hanya berjuang untuk menemukan jalan tengah, atau pemukiman orang-orang suku dalam yang kata orang kota sangat terisolasi. Mereka menurut kawan-kawanku berkulit merah, dan pemakan daging. Makanya kulit orang-orang itu sedikit berlendir.
Cahaya meredup, daun-daun hijau nampak kuning keemasan. Kupandangi sumber cahaya 45 derajat di depan mataku, titik-titik sinar yang menyembul dari rimbun dedaunan ternyata sudah memerah. Aku tahu bahwa senja sebentar lagi beranjak. Aku tak menguras tenaga lagi untuk terus berjalan. Langkahku pelan dan mataku liar. Berusaha untuk menemukan tempat teraman cukup untuk malam ini. Di antara pohon-pohon yang semrawutan, mataku tertuju pada sebuah pohon tinggi dengan lumut yang banyak di pojok kanan badanku. Pada pohon itu terdapat cekungan seukuran badan manusia. ”Mungkin saja relung itu milik si Iguana, si Musang, si tupai, atau.. si belang,” ungkapku dalam hati.
Mestinya untuk saat ini, aku harus memperhatikan kemungkinan-kemungkinan seperti itu. Tapi, sepertinya tak ada lagi tempat bersembunyi yang dapat memberikan rasa aman selain pohon itu. Aku mendekat, nafasku pelan, aku tak mau jika saja ada yang mengagetkan dengan sekejap. Lalu menerkam atau melukaiku. Jantung tak pernah mau melemah, benda vital ini terus berdendang, tak ingin berhenti dan semakin kencang. Mataku sigap, telingaku terjaga terhadap segala bunyi-bunyi kesunyian. Seluruh indra memancarkan sinyalnya begitu pula otak yang terus berpikir keras dan berusaha mendamaikan hati dengan kata-kata pendek. ”aku tak boleh takut pada apa pun, aku harus hidup”.
Saat itu, malam terasa sangat panjang, di dalam lubang akar pohon yang lebarnya tak dapat aku peluk itu, aku tetap terjaga dari segala gerik dan suara. Aku mempertaruhkan nyawaku dengan akar pohon yang kujadikan tameng. Disertai sebatang dahan yang aku runcingkan. Sesekali ada tupai yang mengintip, matanya menyala terang, geriknya lincah. Cemas mengintai, dahan di sampingku aku pukul-pukul untuk menakuti hewan pengerat itu. Dunia malam di dalam hutan hujan sangat suram. Berbagai nada bersiliweran, seakan membentuk sebuah alur untuk sebuah lantunan orkestra. Bunyi jangkrik, katak, tupai, desir angin, gerik dedaunan, suara kresek hewan-hewan lincah, gemerisik dahan yang dibuyarkan oleh tangan-tangan monyet yang bergelantungan. Dan di dalam lubang akar ini aku mendengar bunyi kesunyian.
Setelah melewati pergulatan panjang dan melelahkan, akhirnya aku mendengar kokok panjang ayam hutan. Beruntung tak ada si belang yang mengintip di rumah sementaraku, atau ular yang menyelinap di sela-sela kakiku. Hatiku tak tidur dari doa, mendoakan hidupku yang sudah di ujung tanduk. Dan akhirnya, subuh sudah menyambut, cahaya kehidupan mulai menerangi dan aku kembali bersemangat lagi. ”Syukur pada Hyang Dewa..”.
Aku tak makan apapun seharian kemarin. Aku hanya menelan ludahku dari pangkal lidah yang sudah krontang. Dan pagi itu, aku merasakan rasa lapar yang sangat dahsyat. Perutku kembung, isinya mungkin hanya angin. Badanku lelah, energiku menipis. Sisa-sisa energi yang tersimpan di otot-otot terdalam terpaksa kugunakan. Membuat asam laktat meningkat, rasa nyeri pun melanda. Terutama pada bagian dengkul, tulang belakang, pangkal lengan.
Ada satu hal yang tak dapat kubayangkan, Kenapa tubuhku begitu kuat, seakan kekuatannya berlipat ganda, aku seperti mengisap opium saja sehingga tak merasa capek sedikit pun? kenapa rasa sakit itu baru terasa di pagi hari, saat beban pikiran itu sudah melempem? Mungkin ini adalah kekuatan alami yang dimiliki setiap insan saat menghadapi suasana genting. Jika tubuh kita mendapat ancaman serius, menyangkut hidup mati kita, pikiran akan bekerja keras untuk mencari jalan keluar, saat itulah tubuh akan bekerja sama dengan pikiran. Ia akan memberikan sumbangsinya berupa pasokan energi yang tetap hadir, memompa adrenalin kita untuk terus memberi semangat untuk hidup.
Pada pagi itulah aku belajar bangkit dari sumur gelapku. Penglihatanku buram, pohon-pohon nampak sumir. Aku melangkah gontai, berusaha mencari air dari lekukan dedaunan talas. Tetes-tetes awal yang mengalir ditenggorakanku terasa begitu nikmat. ”aku tak akan pernah melupakan kejadian ini...,” aku membatin.
Kulanjutkan perjalanan seorang diri dengan bantuan tongkat dari ranting pohon mangga. Saat mematahkan ranting pohon tersebut aku terheran-heran. Ternyata pohon mangga terdapat pula di tengah hutan. Pohon tersebut cukup kerdil dibandingkan pohon-pohon tetangganya. Buahnya panjang-panjang dengan bengkak pada bagian sisi-sisinya. Aku mencicipinya dengan lahap. Membuka kulit mangga tersebut dengan gigi taringku. Tak biasanya aku sarapan dengan mangga. Aku pun berharap semoga perutku tak mulas dibuatnya.
Aku kemudian mengingat-ingat tentang Cicho Mendes. Pahlawan suku dalam, hutan Amazon, hutan hujan terluas berada di Negeri Samba, Brazil. Ia dengan tanpa lelah terus melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan perusahaan ternak dan perkebuanan internasional yang hendak memperluas lahannya dengan menebang hutan, hutan tempat ia dewasa. Ia tak rela hutan dimana terdapat sekitar 70 persen spesies yang ada di dunia itu diberangus begitu saja. Dijual dengan begitu murah. Mungkinkah, juga hutan hujan ini terdapat Cicho Mendes yang lain, yang akan menyelematkan aku beserta hutannya.
**
1 minggu yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar