semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Akhir Pekan Pertama di Ibukota

Ada hal baru yang saya perbuat di kota ini, yaitu berkeliling kota setiap hari Sabtu dan Minggu. Bermula dari pekan kedua sejak kedatanganku 12 Januari lalu. Bermula pada hari Sabtu (15/1), yang sore sebelumnya saya minta izin dulu sama bos gudang kepiting untuk dapat bertemu saudara di Pondok Gede, alhamdulillah diizinkan. Ternyata, tanpa menunda waktu, bos saya ini mengajak jalan pada malam harinya, katanya ngobrol sambil minum kopi di sekitaran pusat ibukota. Maka berangkatlah kami pada tengah malam itu, menikmati malam jakarta yang masih sibuk, lampu-lampu berpendaran, jalanan masih dijejali kendaraan roda empat dan dua.

Kami tak jadi minum kopi, tapi singgah menikmati nasi goreng kebon siri’ Jakarta Pusat, yang cukup terkenal enak. Letaknya di pinggir jalan lebar, di ujung pertigaan jalan masuk kebon siri, pelayan yang mengenakan kain batik tengah malam itu menghampiri kami yang berbincang di depan pagar sebuah perkantoran, “Nasi goreng dua mas, tambah es jeruk dua,” Kata Pak Gin. Kami melanjutkan pembicaraan yang berputar pada tema gudang kepiting. “Begitu banyak yang mesti dibenahi, mulai dari penanganannya, bibitnya dan juga pakannya. Saya pikir metode Mas ada benarnya juga. Yah.. Kita harus tetap semangat dan optimis bahwa kedepannya lebih baik lagi,” katanya. Saya sambung dengan ujar “iya Pak”. Tema tiba-tiba bergeser pada aktivitas istri Pak Gin yang juga tampak sibuk itu. “Istri saya punya kesibukan sendiri bersama kelompok bakti sosialnya. Iya sering membagi-bagikan bantuan ke orang tak mampu pada hari-hari kebesaran keagamaan,” katanya bangga dan terkulum senyum.

Hidangan tiba, nasi gorengnya lumayan renyah di lidah. Kata Pak Gin, nasi goreng ini gurih karena bercampur dengan keringat tukang gorengnya. Sebab, nasinya digoreng di atas panci besar, dan lantaran panasnya api penggorengan, jadi tukang gorengnya mandi kringat lalu keringat itu sedikit menetes di butiran-butiran nasi. Hehehe.. Kami pun menyantapnya perlahan. Diselingi perbincangan tentang bisnis kepiting di negeri-negeri tetangga. “Saya berharap dapat masuk lima besar pengekspor kepiting ke luar negeri,” harap Pak Gin. Mendengar itu saya tercenung, kalau semangatnya seperti ini ditambah rasa haus akan inovasi dan kreatifitas, saya pikir harapan itu pasti terwujud. Waktu pun akan membuka pelan-pelan tabir rahasia masa depan itu, dengan bersandar pada niat, persiapan dan rencana yang matang, maka mobil akan tiba di tujuan. Kata orang, semangat dan perencanaan yang baik adalah 50 persen keberhasilan.

Hampir sejam kami nongkrong di pinggir jalanan utama yang lebar itu, ditemani angin malam serta sekelompok anak muda yang memainkan musik/ngamen. Setelah perut kenyang dan angin makin dingin, kami meninggalkan jajanan itu menuju pondok Gede di Jakarta Timur. Mobil melewati jalan Jaksa, tampak beberapa turis nongkrong di atas-atas terotoar, meneguk segelas bir sambil menghisap rokok. Yah, jalan Jaksa terkenal sebagai tempat nginap para turis-turis kere, yang punya duit seadanya atau istilah kerennya para Backpeker dari beragam manca negara. Asyik juga nongkrong di sini, kemudian berkenalan dengan turis yang siapa tahu merupakan agen khusus, wartawan atau ilmuan yang sengaja berperawakan petualang. Atau sesekali mencoba masuk di dalam club malamnya, melihat aktivitas ‘tarian-tarian’ aneh di dalamnya. Selain turis, tengah malam di jalan jaksa juga diramaikan oleh penduduk lokal, yang kebanyakan adalah anak muda dengan busana gaul, macam distro-lah. Hehe..

Mencari jalan masuk ke Pondok Gede, kami berpusing-pusing dulu. Soalnya Pak Gin tidak terlalu paham seluk-beluk jalanan di sekitaran Pondok Gede, jadi harus putar balik hingga menemukan belokan yang tepat. Akhirnya pukul 01.00 dini hari saya tiba di Klinik UFA, tempat kakak saya bekerja.

Sabtu Pagi
Saya tidur nyenyak semalam. Pagi hari bangun dan mempersiapkan diri ke Cikini, Jaktim. Pukul 08.00 kami berangkat menggunakan angkot jurusan Kampung Melayu. Senang rasanya menikmati perjalanan pagi itu, pagi serasa selalu baru dan diliputi nuansa petualangan. Sepanjang jalan saya menyerap aneka warna dan bentuk geografis kota, bangunan yang berdempetan, pengendara yang saling berebut jalan, para karyawan-karyawati dengan dandanan molek menunggu angkutan di pinggir jalan, serta para ibu-ibu yang hendak berbelanja di pasar-pasar swalayan. Angkot penuh muatan. Membuat saya dengan terpaksa berhadap-hadapan dengan seorang ibu yang masih muda. Pandangan pun saya lemparkan pada sungai yang alirannya lambat, pohon-pohon yang berdiri sunyi di pinggir jalan.

Hari itu saya berencana untuk berjumpa dengan seorang kawan lama, teman sekelas waktu SMA dulu, namanya Dewi Kartika Sari yang telah dua tahun tinggal di kota ini. Setamat dari Politeknik Makassar, ia berhijrah ke Jakarta untuk bekerja sebagai operator sebuah perusahaan telkomsel. Saat masih di Makassar kemarin, saya sempat berbincang lama dengannya via chatting facebook. Katanya ia juga seorang yang suka jalan-jalan atau berpetualang. Oke-lah jawabku, saya pun senang
berpetualang. Hingga kami bersepakat bertemu di sekitaran PGC, Jakarta Selatan.

Tiba di Cikini, ternyata kakak saya yang merupakan seorang dokter lulusan kedokteran Unhas ini mengajak berenang di kolam renang hotel Cikini. Wah.. saya tak menyiapkan apa-apa. Tapi saya masuk saja, ditraktir kok, pikiran awalku hanya ingin melihat-lihat suasana kolam renang di dalamnya. Setiba di pinggir kolam, saya pun tertarik melepaskan baju untuk terjun renang. Soalnya, sudah lama tangan ini tidak dilenturkan dan nafas tidak dikendalikan untuk bertahan di atas air. sebelum menyelonsor turun, saya berlari-lari kecil dulu untuk pemanasan lalu ikut bermain-main dengan air bersama senior-senior kampus yang berprofesi sebagai dokter itu. Asyik juga, selain berenang saya pun dapat berkenalan dengan mereka. Minimal mereka orang Sulawesi dan tentunya akan akrab jika bertemu lagi untuk kedua kalinya.

Capai berenang, hujan deras turun tiba-tiba. Kami meninggalkan kolam setelah hujan reda. Tujuan kami berikutnya adalah rumah makan samping bioskop di sekitar Salemba, Jaktim. Saya cuma memesan siomay, lantaran perut sudah kenyal setelah makan nasi Padang sebelum masuk kolam tadi. Sms dari Dewi masuk, katanya rencana bertemunya jadi di Gramedia Matraman dekat Salemba. Yah.. setelah makan saya pun langsung meluncur ke Matraman. Cukup lama saya menunggu di toko buku terbesar di Indonesia itu. Gramedia Matraman adalah pusat gramedia di seluruh Indonesia.

Banyak buku-buku baru yang saya temukan, namun kali itu saya baca-baca saja sekilasnya. Seperti buku Orientalisme karya Edward Said, Teori Sosial karya Antony Giddens, beberapa buku terbaru LP3S, serta novel-novel dahsyat yang baru sempat saya lihat bukunya, seperti Snow karya Orhan Pamuk, ‘anak bajang menggiring angin’ karya Shindunata, Dunia tanpa Peta, Burung-burung Manyar, Putri Cina, serta novel terbaru Seno Gumira Ajidarma ‘Naga Bumi II’. Sejam di gramedia, akhirnya Dewi datang, kami bertemu di pinggir eskalator. Ia tersenyum ramah.. “halo idam, senang kamu datang di Jakarta”. Kami bergerak ke luar gedung, dan nongkrong di jajanan di pinggir jalan sambil menyantap es tong tong.

“Belum ada teman kita yang bertemu dengan saya di Jakarta ini Dam, jadi kamu yang pertama ke sini. Lagian kamu kan ketua kelas saya dulu. Jadi ini merupakan kehormatan.. hehe..” celotehnya sambil menikmati es mirip conelo di beranda gedung. “Emang belum ada, hemm.. jadi kamu mi orang pertama anak smansa yang bekerja di Jakarta, dan saya orang kedua.. hehehe..” balas ku. Saya bilang, tadi dari berenang di Cikini, ongkos masuknya Rp. 30 ribu. Ia pun menimpali, « Eh.. idam, mahal na itu, moko tahu di tempat berenang ku Cuma 2000 rupiah ji.. tadi pagi saya berenang lagi di sana ».. wah.. setahun di Jakarta, Dewi tampaknya sudah mengenal seluk beluk kota ini, ia pun bercerita tentang lokasi-lokasi hiburan murah di Jakarta. Selanjutnya, kami berbincang akrab tentang pengalaman masa sekolah dulu. Maklum, saya sekelas dengannya waktu kelas II-1, dan saat kelas 3 baru dia pindah ke sekolah BPG Makassar.

Lama berbincang, saya menemaninya makan di pinggir jalan di bawah jembatan penyebrangan. Suara orang naik turun tangga jembatan sangat berisik, tong-tong-tong.. saya cukup terganggu, tapi Dewi santai-santai saja. “eh.. Idam, kamu harus terbiasa hidup di Jakarta..” hahaha.. pukul 15.30 saat itu, ia makan mie goreng dengan sangat lahap, katanya ia belum makan siang. Hemm.. kasihan...

Setelah makan, kami mampir di bibir trotoar bagian dalam, melanjutkan perbincangan. Iya bercerita tentang pengalaman kerjanya di Jakarta, di sebuah perusahaan telkomsel. “Kerjaku cuma kacung, bawahan yang mengurus beberapa saluran dan permintaan pelanggan. Sekarang saya melanjutkan sekolah untuk S1 ku di universitas swasta, kuliahnya sabtu minggu ji.. dan hebatnya bisaji bolos.. hehehe.” Kami pun tertawa. Dan katanya teman-teman sekuliahnya rata-rata dongkol dan tak mengerti perhitungan, dan Dewi pun menjadi ratu di kelas karena kehebatannya di dunia hitung menghitung. Sejak SMA, saya juga mengakui kemampuannya di bidang itu. Bagaimana tidak, saya sempat menanyakan buku kesukaannya, jawabnya buku tentang fisika dan kimia, waduh... pikirannya rumus melulu.. hahaha.. lalu berlanjut soal menikah, Dewi ingin segera menikah dan menjadi Ibu, “Dam, tunggu nah, tahun depan saya pasti sudah menikah, jadi tunggu mi undanganku”, calon bapak ada di Makassar katanya. Alhamdulillah.. iya ingin anaknya tak berbeda jauh dengan umurnya kelak, sehingga bisa diajak ngobrol.. bagus juga..

Petang hari, sebentar lagi langit gelap. Kami memutuskan untuk pulang dengan menumpangi busway. Jalur yang dipilih adalah menuju PGC Cililitan, dekat dengan kosan Dewi juga terdapat jalur ke Pluit Jakarta Utara. Kami berbincang panjang lagi di dalam Busway, hingga akhirnya tiba di PCG dan memaksa kami berpisah. Ia mengarah ke pasar minggu dan saya melanjutkan busway arah Grogol dengan transit dulu di Cawang UKI. Dan perjalanan pulang itu cukup panjang, melintasi jakarta Selatan, menembus Jakarta Timur, melewati Jakarta Pusat hingga tiba di Grogol Jakarta Utara. Badan pegal-pegal lantaran kecapaian bergelantungan dan berdesak-desakan. Maklum, jadwal pulang kerja sehingga angkutan dipenuhi penumpang.

Perjalanan panjang itu memakan waktu 2 jam lebih, dimana harus sambung angkot lagi ke jembatan 3, lalu mobil 06 ke Kapuk Kemal Raya. Meski begitu, setiba di gudang saya puas luar biasa, bisa pulang sendiri hanya dengan mengandalkan keberanian bertanya. Sejak itu, ketakutan akan kegenasan jakarta hilang seketika. Takut akan tersesat adalah kesesatan itu sendiri. Tak ada kata tersesat kalau kita mampu bersikap tenang dimana pun tempat kita berada. Pengalaman pekan pertama itu memberikan pelajaran berarti bahwa dalam berpetualang kita harus berani berjuang sendiri dan mutlak kita akan menemukan jalan keluar. Dalam hati, seakan berteriak.. “saya mampu menaklukkan Jakarta”..

Kapuk, Cengkareng Timur, Jakarta Barat



0 komentar:

Akhir Pekan Pertama di Ibukota