1 minggu yang lalu
Sepotong Gelisah Hidup di Jakarta
Kipas berputar menghembuskan angin di kamar sendiri, segar terasa di hari yang terik begini. Pakaian yang di jemur di dinding gedung sudah mengering, palu-palu masih ditumbukkan untuk melubangi aluminium, bersama kepulan asap rokok pekerja yang membumbung ke atas. Barang dari daerah (bibit kepiting) sengaja tak datang, kepiting-kepiting pun sedikit bebas bermain di alamnya sendiri, tanpa ada nelayan yang menangkapnya untuk dijadikan santapan mewah para warga Taiwan. Yah.. hari ini rehat dulu, seperti diamnya air di bak filter, istirahat dari percik dan arus yang memecah ikatan kimiawi amoniak, zat kimia yang datang dari kotoran mahluk berjalan miring itu.
Tak terasa, sudah hampir sebulan saya di ‘kampung besar’ ini. Saya menyebutnya kampung besar, karena kota ini layaknya kumpulan kampung yang dibuat oleh orang-orang dari beragam daerah di Indonesia. Pemukiman yang dibangun warga di samping gedung-gedung tinggi, di pinggir-pinggir kali, tentu dengan tetap membawa adat dan kebiasaan kampung. Seperti bahasa daerah, struktur rumah, selera musik (dangdut), dan makanan (seperti warung tegal). Bedanya, di sini orang tak lagi malas-malasan seperti di kampung, setiap orang dengan profesi masing-masing bekerja dengan teguh, walau pekerjaan itu begitu menguras tenaga yang hingga ke ubun-ubun. Pengemis di kereta pun saya anggap bekerja keras di kota ini. Barangkali mereka pada awalnya menganggap Jakarta ini sebagai gudang duit, yang gampang diperoleh tanpa sulit-sulit mengolah sawah dan ladang lagi,apa lacur, Jakarta ternyata lebih kejam. Tak ada rasa kasihan di sini, semua orang memikirkan dirinya sendiri. Jika kamu tak dapat menjual kreativitasmu, kamu akan tergerus ke arus pengurasan tenaga. Jika tak sanggup, dengan terpaksa harus mengemis untuk mengisi perut. Yah.. begitulah realitas hidup yang saya tangkap di kota ini.
Bagiku, dalam sebulan ini Jakarta mulai lempang di hati, meski ada sedikit kerinduan pada kampung halaman. Sudah begitu banyak liku yang dipijak demi mengatasi yang namanya kesunyian. Yah.. saban akhir pekan saya memanfaatkan waktu luang untuk bertemu saudara sekampung di ibukota ini. Kali ini saya sekadar ingin berbagi sepotong kegelisahan bercampur semangat saat menjajaki sudut-sudut kota ironis sekaligus pujaan ini pada pekan pertama kali tiba.
Hari Jumat (15/1), bersama Jimmy, saya mengunjungi pusat perbelanjaan di Glodok, markas ekonomi rakyat Cina. Kami mengendarai sepedamotor, bergerak ke arah Jakarta Utara menuju Glodok, melewati beberapa muara dan kali, seperti muara angke dan muara baru, muara ini tidak terkesan muara lagi, karena sisi-sisi yang menghadap ke kota sudah tak ada bakau, pepohonan khas muara. Yang ada adalah tanah lapang yang ditumbuhi rumput ilalang, serta tanah merah hasil penimbunan rawa. Tanah yang telah dikapling-kapling, dipagari dengan congkak, sambil berteriak memukau pada spanduk beragam iklan pada pagar itu, “akan dibangun rumah eksklusive, harga terjangkau”.. dan seterusnya. Selain itu, tanah lain bekas nipah ini telah banyak ditumbuhi beton-beton yang diselipi kaca-kaca, masih segar warna cat-nya, masih seragam bentuknya, sepertinya bergaya mediteranian dan terkesan minimalis. Bangunan itu masih dalam proses renovasi, sebelum laku dihuni oleh orang-orang perlente di negeri ini.
Perjalanan ke glodok kala itu untuk survei alat laboratorium itu diselingi kegelisahan Jimmi sebagai pemuda yang lahir di Jakarta. Kekhawatirannya pun seketika mengalir kepadaku seraya menyaksikan pembangunan Jakarta Utara yang sudah tak keruan. Kedamaian alam yang ia peroleh pada masa kanak-kanaknya tak tampak lagi sekarang, dimana ia bisa dengan bebas memancing, menangkap ikan gabus, di rawa-rawa yang berubah jadi beton itu.
Jalanan hitam keabu-abuan, menyusuri lekuk yang sisi-sisinya berjubel gedung-gedung pertokoan elit. Di sampingnya mengalir pelan air sungai yang tampak suram dan berbau sampah. Bagaimana tidak, beragam sisa kerakusan manusia ikut mengalir dan menumpuk di sudut-sudut. Pada tepi lain, tanggul-tanggul serta rumah pengendali air didirikan untuk mengantisipasi merembesnya air sungai ke pemukiman. Saat mengendara motor, saya menyaksikan bagaimana air sungai lebih tinggi dibanding tanah halaman rumah-rumah di balik tanggul. Sementara jalanan ditinggikan, dan hunian yang belum lama dibangun telah meninggikan pondasinya. Jadi rumah-rumah itu seperti jongkok di atas jalanan. Beda halnya dengan hunian-hunian yang lama, pondasi bangunannya seperti terperosok masuk ke dalam tanah. Karena jauh lebih rendah (sekitar semeter) dari badan jalanan.
Saya tak dapat membayangkan jika saja, tanggul itu jebol, barangkali warga jakarta yang pongah ini akan binasa dan tak menyangka bahwa buah kerakusan itu adalah bencana. Bagaimana tidak, selain drainase yang tak mumpuni, mahkluk hidup penyerap air itu telah tumbang, daerah resapan kian menipis di ujung kota yang beracun ini. Pertanyaan yang tiba-tiba muncul, seberapa hebatkah manusia mengatasi alamnya, menghindarkannya dari bencana menghadapkan teknologi terhadap alam itu sendiri..? seberapa kuatkah teknologi itu..?
Saya hanya dapat membayangkan, belum mampu memprediksi kelanjutannya. Tapi, ada kekhawatiran bahwa masa depan kota ini sesuram air sungai itu. Bergerak sejurus dengan kuatnya arus pusara ekonomi yang menuntut korban. Tak tahu berapa trilliun duit yang mengalir di kota ini saban harinya. Ada yang mengatakan bahwa uang yang berputar sekitar 50 persen dari seluruh uang yang beredar di negeri ini. Bagaimana tidak, kota ini selain menjadi pusat pemerintahan, juga menjadi pusat perekonomian. Dimana berjubel-jubel manusia membelanjakan uangnya di sini, indikatornya dapat diamati dari jumlah Mall-nya, kalau di Makassar cuma ada tiga buah, di sini lebih mungkin ada duapuluh buah, ya, lebih mewah dan kuat. Masing-masing pertokoan dan mall tadi menyedot duit bergumpal-gumpal tiap hari, sementara pembeli kian meningkatkan gaya hidupnya, dengan mobil baru, handphone baru, busana baru, hingga hunian baru. Sementara rakyat kecil, cukup bersyukur (dengan sangat) menyewa kamar ukuran 3x4, dengan ongkos 400 – 500 ribu perbulannya. Bertahan menjadi tukang dan segala tukang, menjual waktunya hingga lebih dari 12 jam, untuk bisa bayar sewa kamar perbulannya, biaya kehidupan makan seadanya, dan biaya anak ke sekolah.
Dulu, politik adalah panglima, di zaman edan ini ekonomi-lah yang jadi panglima. Segala bisa menjadi halal untuk memperoleh segepok uang, atau berdigit-digit angka melalui rekening bank. Semuanya menumpuk, menimbun kekayaan, tentu dengan cara memeras, dan yang bisa sekehendak hati diperas adalah alam ini, alam tak punya kuasa karena ia hanya bergerak sesuai hukumnya sendiri. Para penguasa di antara manusia lah yang dengan dingin menggilasnya. Jangan dikira, kuasa tak mampu memakan korban manusia. Yah.. Rakyat kecil yang berjubel di kota inilah yang pertama kali merasakan gilasan rakus itu. Mereka diperas, dikuras tenaganya untuk memenuhi nafsu kekuasaan akan ekonomi. Namun, sebagian besar diantara mereka tetap tak sadar bahwa mereka diperalat, dikuasai lantaran merasa rendah diri. Mereka pun menjual tenaganya dengan murah untuk sekadar dapat menghidupi keluarga sehari-hari. Saya pikir, ini gejala sosial ini menjadi fenomena abadi seakan tak mampu keluar dari laknat waktu. Sudah ada sejak jaman permulaan masa hingga detik-detik terakhir bumi kelak. Hemm...
Rakyat kecil ini pun hidup serba minim, mereka berdesakan di lorong-lorong, mengais rezeki rupiah demi rupiah, sebagai buruh, penjaja makanan, pengumpul sampah, penjual keliling, tukang parkir, pengamen-pengamin di bis-bis dan kereta. Hidup mereka berdampingan dengan serakan sampah, air got baunya minta ampun, serta berkecimpung dengan udara panas dan tak sedap gas-gas beracun dari motor-motor kendaraan. Tak sedikit yang membangun gubuk di pinggir sungai, mandi dan minum dari air yang sudah kotor itu. Dan.. hebatnya, mereka tetap merasa bahagia dalam keterbatasan, walau mungkin kebahagiaannya itu semu, dan terdapat gumpalan kesedihan akan nasib derita yang dideranya.
Dalam benak, saya pun berpikir bahwa warga jakarta juga merasakan keprihatinan itu. Menyadari dampak yang akan timbul jika terus-terusan begini, jika terus-terusan mengeksploitasi bumi yang sudah tua ini. Namun, keprihatinan itu timbul tenggelam, atau mungkin terhapus oleh kesibukan kerja mengejar rente ekonomi. Ini tampak saat memperhatikan mimik mereka saat seorang pengemis meminta rezekinya di kereta-kereta atau di atas bus angkutan. Ada ketegangan yang dalam, bukan ketegangan tak memberi, tapi saya membacanya sebagai kegetiran hati yang kaku karena menahan dorongan untuk memberi.
Apalagi kalau manusia itu telah dihinggapi kuasa di pundaknya, segala cara pun dilakukan untuk mempertahankan kuasa. Jalan itu pun ditempuh dengan membuat kongsi-kongsi yang dapat mendukung kekuasaannya. Menyenangkan sebagian kaum yang katanya bertugas meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kelompok ekonomi ini tentu juga akan menyenangkan penguasa, setidaknya mereka membalas budi dengan membagi sebagian keuntungannya kepada birokrat yang bertugas.. mereka berkomplot untuk sama-sama senang, sama-sama bahagia di dunia ini... yah... begitulah logika sederhana saya, sebuah proses keruntuhan kota yang dibangun atas dasar keserakahan.. lagi-lagi, saya mengutip perkataan bijak Mahatma Ghandi, “Bumi ini mampu memenuhi kebutuhan hidup seluruh manusia, namun tak mampu mengatasi keserakahan manusia”.
Kini, berhadapan dengan itu semua, saya hanya berharap tidak ikut terbawa arus keserakahan. Kalau perlu menguliti keserakahan yang menjadi sumber penghancur alam itu. Semoga kedatanganku berbuah hikmah, semata-mata untuk berjuang hidup dan menyerap ilmu pengetahuannya. Berbahagia dengan ilmu itu, bukan dengan jubel uang yang membakar hati. Sekarang pun, saya mulai belajar hidup sederhana di lingkungan mereka. Semoga niat saya di kota ini tidak luntur dimakan waktu.. amin...
Cengkareng Timur, 8 Februari 2011
0 komentar:
Posting Komentar