Ya, boleh dikata tahun ini adalah tahun kerja sungguhan, tahun penuh dedikasi pada sebuah komunitas baru. Yang asing, aneh, sekaligus diliputi misteri. Bagaimana tidak, saya sudah lulus universitas, tiga bulan sebelum awal tahun 2011 ini. Tak mungkinlah saya hanya menghabiskan waktu lagi di depan laptop dari jam ke jam, di selingi buku aneka macam, mencerna kisi-kisi kehidupan lewat riwayat masa lampau, hakikat, fenomena atau semacamnyalah.. atau tak merasakan waktu melempem dihantam program yang bernama facebook, sembari minum teh dan berbaringan. Iseng membunuh waktu dengan membuat komentar-komentar geblek di dinding status, melirik-lirik akun teman, mencari informasi tentang orang-orang yang ada hati di dalamnya.
Tak mau lah saya terus-terusan seperti itu, berbulan-bulan begitu, entah di ruang tengah identitas (mumpung gratis ol), atau kah di warkop Mammiri yang sampai berhari-hari nginap di situ, hanya dengan memesan kopi segelas, saya bisa begadang sampai pagi, dan tidur pagi di situ pula. Hemm. Rasa-rasanya saya merindukan masa-masa malas seperti itu, yang menurutku hanya mengejar angin, membajak info apa saja di dunia maya. Menggadang-gadang apa saja, lalu mencoba hubung-hubungkan, apakah betul terjadi dialektika, apakah info-info itu dapat berdialog..? huh... ini mi dibilang kerja iseng, kerjanya orang pengangguran.. hehehe..
Dan pada petang hari, di hari-hari yang tanpa tekanan, tanpa ada tanggungjawab sedikit pun pada oknum lain. Raga pun menjelajah lagi ke sentral kota untuk memberi makan otak yang tak mau kenyang ini, tepatnya Toko Buku Indah Jaya di jalan Laiya dekat Mesjid Raya Makassar. Saya melahap beragam jenis buku loak, saban pergi saban tema, minggu ini segepok buku sastra, besok seri filsafat, pekan depan buku sejarah, tiga hari berikutnya buku sosial. So, rugi rasanya kalau buku berharga seperti itu menganggur begitu saja, atau malah ditimbang sama penerima buku bekas. Lebih baik saya koleksi saja, mumpung harganya murah. Uang sepuluh ribu sudah dapat dua buku. Bukunya pun bagusnya minta ampun. Karya yang temui itu tak lagi di dapat di toko buku lainnya, seperti karya Onghokham, Putu Wijaya, Shindunata, Sharir, Soekarno, Hamka, Sartono, Hb Jassin, Ajip Rosidi, Kuntowijoyo, Dawam Rahardjo, Mukhtar Lubis, Rosihan Anwar, hingga Danarto. Penerbitnya pun beragam, seri buku filsafat dominan gramedia, sebagian Mizan, Pustaka Pelajar, beberapa UI Press, dan Grafiti. Jangan kira berapa duit yang habis, sudah 500 ribu mungkin,, hehe.. tapi, buku yang kuperoleh pun sekitar tiga dus. Jumlahnya hitung sendiri..
Begitulah kerja laki-laki pengangguran sebelum ke Kota Sumpek ini. Bersama dua ekor kawan yang masih mahasiswa, ya, mapala, soalna satu sudah semester 13, satunya lagi masih angkatan 2010 yang asli sebenarnya angkatan 2005. Hehe.. yang angkatan 2005 itu Rahmat namanya, ia lebih gila lagi. Buku dari toko loak itu mungkin sudah 800 buah atau lebih lah. Bagaimana tidak, hampir tiap hari ia berkunjung ke sana, tiap hari pula ia membawa pulang sekitar sepuluh buku. Hemm.. maklum, anak tunggal, mau minta doku tinggal sms, duit langsung ada di rekening.. beda halnya dengan saya dan Sasli, uang itu di dapat dari hasil pinjam-pinjam, atau hasil tagih utang teman.. hehehe..
Kembali lagi ke pokok tulisan, ya, kini berbeda jalan ceritanya. Sejak 12 januari itu saya bermukim di sini, di Kapuk Kemal Raya, Cengkareng Timur, Jakarta Barat. Hasil ajakan seorang kenalan baru keturunan Cina. Ke sini bukan untuk jalan-jalan lagi, tapi lebih pada urus peras otak, bagaimana supaya diri ini tidak memalukan gelar Spi, perikanan. Soalnya, medan kerja saya berada pada zona itu, bagaimana supaya kepiting dari daerah-daerah itu tidak mati saat hendak dikirim ke luar negeri.. pusing juga pada awalnya, tapi, bekal ilmu-ilmu dasar akhirnya berguna juga, yang dulu begitu saya remehkan. Ternyata, sekarang ilmu itulah yang memberi saya makan, membuat saya bisa terbang gratis lagi. Upaya awal pun ditempuh, gimana supaya gudang ini menerapkan standar dasar penanganan kepiting yang layak. Agar mereka tidak ditimpa stress, gitu aja.
Mengenai persoalan lain, akan muncul belakangan, toh sekarang dari hari ke hari muncul persoalan baru, serta pikiran baru untuk segera membenahinya. Seperti persoalan banyaknya stok dan kewalahan penanganannya, persoalan kepiting yang sering jatuh dari fiber, persoalan kualitas air, hingga yang paling berat, gimana caranya supaya mereka ini nanti lahap makan? Yah.. asyik juga pikirku, tantangan baru ada di sini, tak ada jalan keluar selain pecahkan masalah, atau timbulkan masalah baru untuk dikalaborasi bersama dengan bos saya itu, hingga melahirkan perbaikan-perbaikan, atau optimisme baru.. itulah mungkin gambaran awalnya, selanjutnya tetap seperti itu, walau tetap diliputi problem, seperti rutinitas kerja yang sedikit menimbulkan jemu (ini pun kerja pegawai lain, saya sekadar membantu mereka). Maklum, kerja saya kan job description-nya sebagai peneliti.. tapi tak enak lah peneliti gadungan seperti saya ini ongkang-ongkang kaki begitu saja di hadapan manusia-manusia hebat itu. Tiduran di dalam kamar begitu saja sambil melahap “burung-burung Manyar-nya, YB. Mangunwijaya”..
Ya, saya harus terlibat, membenamkan diri di sepotong hari untuk menggeluti dunia kerja sebagai pegawai biasa. Ikut menyortir kepiting, mengangkat-angkat keranjang, memasukkan kepiting ke fiber, dan sesekali ikut packing. Rasa nikmat hadir di situ, tekanan lepas lewat energi yang dibebaskan dengan menggoyang-goyangkan lengan menjemput sekelompok kepiting. Jiwa bahagia ikut merasakan keceriaan mereka yang bercanda dengan bahasa Jawa, walau saya tak mengerti sama sekali.. Ceria mereka di tengah ganasnya iklim kerja di Jakarta. Jiwa dan raganya betul-betul telah diserahkan pada perusahaan kepiting, detik-detik hidupnya selalu dihantui dengan kerja.
Tenaga mereka pun tampak tak ada habisnya, keluh kesah terhapus angin kering penuh debu dan asap kendaraan jalanan. Hormat ku pada pemuda-pemuda kolong ini, yang tak semujur nasibku, lantaran mereka tak sempat mencicipi pendidikan tinggi. Namun, sekolah tak berarti apa-apa jika berhadapan dengan kehidupan dan kemanusiaan. Barangkali mereka lebih menghargai hidup dibanding kita yang sibuk menghabiskan waktu di dinding-dinding sekolah. Dengan begitu, hidup mereka lebih bermakna, lebih nikmat, senikmat nasi tegal yang diperoleh dari keringat sendiri. Sungguh.. hormatku yang tak sanggup seikhlas mereka, sedamai kerja mereka yang dipenuhi syukur pada ilahi karena masih bisa bernafas, masih bisa berbakti. Sementara, dalam benak saya, justru selalu hadir ketengikan nafsu. Keinginan yang terlalu tinggi dan tak sebanding dengan kenyataan.
Dassolen tak sesuai dengan Dassein.. kata bijak yang kuperoleh di sini, turunkan nafsumu (keinginanmu), nikmatilah apa yang telah diberi pada kuasa pada mu.. kalau menurut Kang Jalal, itulah obat stress yang paling ampuh, dimana keinginan diturunkan hingga apa yang didapat sebanding.. tapi, saya tidak memaknai bulat-bulat begitu saja. Yah.. itu obat stress, tapi planning tetap jalan sebagaimana mestinya, kini yang harus saya benahi adalah rel-relnya, belajar sebanyak-banyaknya, tentang apa saja, utamanya tentang gimana bisa bertahan hidup di Ibukota? Bagaimana itu dunia kerja? Dan selanjutnya membangun relasi/pertemanan, dan tentu siap-siap terjun bebas kelak. Bulan-bulan ini akan ditandai dengan keterasingan, kesendirian, dan jangan kira, terdapat kenikmatan dalam hidup baru ini.. kini saya memiliki kebebasan buat apa saja, membaca dimana dan apa saja, waktu luang cukup banyak untuk mengasah diri, semangat pun berlipat-lipat.. bulan februari ini pula kamar atau laboratorium perusahaan jadi terbangun. Artinya saya sudah punya saluran untuk mendedikasikan ilmu sepenuh-penuhnya. Membenamkan diri pada dunia riset sederhana (tak seperti yang anda bayangkan gimana dunia riset itu). Nah.. inilah kebahagiaan yang betul-betul, apresiasi penuh dari pihak atas, kerjasama yang baik untuk menemukan sesuatu yang baru, demi perkembangan perusahaan. Entah hasilnya baik atau buruk.. saya tetap yakin, pasti tuhan selalu mendukung kalau kita optimis dan berikhtiyar.
Tentang laboratorium ini kelak, saya tiba-tiba teringat dengan cerpen saya yang berjudul, “Lelaki Sunyi di Laboratorium”, cerpen yang sempat terbit di identitas, tahun lalu. Ceritanya tentang lelaki yang menghabiskan waktunya, hari demi hari, bulan hingga tahun untuk menghidupkan hewan planktonik dalam bak fiber, yang tentu ditemani rasa sunyi, sunyi yang lahir dari garis-garis peristiwa-peristiwa getir masa lalu, yang tak bisa lenyap diingatannya, dan mungkin hanya bisa terlupa dengan menceburkan diri bersama hewan budidayanya.. yah.. mungkin ada sedikit kesamaan dengan cerita, tapi, minimal saya sudah bisa mengantisipasi peristiwa ke depannya, jangan sampai seperti ending cerita dalam cerpen itu.. jongos hilang nafas, asap belerang merubungi tubuh ringkih dengan baju berbau lumut itu..
Cengkareng Timur
2 Februari 2011
1 minggu yang lalu
2 komentar:
perjalanan waktu terkadang membuat kita merasa tak berdaya,,tak melakukan sesuatu yg berarti..tp sesungguhnya dia mengajarkan kita banyak hal...
salam k' idam
selalu semangt ya ka'
terima kasih dek.. tetap semangat juga dek..
Posting Komentar