Alhamdulillah, kita masih diberi kesehatan lahir batin.. mari kita lanjutkan catatan sebelumnya, tentang pengertian-pengertian istilah sastra. Semoga saja dengan tambahan referensi ini sedikit membuka tabir pengetahuan kita untuk lebih menghayati sebuah karya sastra. Sekarang kita melangkah ke alfabet (F):
F.
Fabel: 1) cerita singkat, sering dalam bentuk sajak, yang bersifat didaktis bertepatan dengan contoh yang konkrit. Tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan ditampilkan sebagai mahluk-makhluk yang dapat berfikir, bereaksi dan berbicara sebagaimana manusia. Diakhiri dengan sebuah kesimpulan yang mengandung ajaran moral. Di dunia Yunani klasik dikarang oleh Aesopus, di Prancis abad ke-17 oleh La Fontaine (diterjemahkan dengan sangat bagus sekali oleh Trisno Sumardjo).
2) Dalam naratologi seperti dilakukan oleh Formalisme Rusia istilah ini dipergunakan untuk menunjukkan rangkaian motif dalam sebuah cerita menurut urutan kronologis dan logis, tanpa menghiraukan cara konkrit motif-motif itu tampil dalam ceritanya. Di sini fabel dapat disamakan dengan isi singkat seperti dirumuskan oleh pembaca setelah selesai membaca cerita yang bersangkutan.
Fajar Budi: dalam bahasa inggris: “enlightenment”, Jerman: “Aufklarung”. Aliran di Eropa Barat pada pertengahan abad ke-18 yang mengkritik dan menguji praktek-praktek dan pendapat-pendapat, khusus mengenai negara dan agama, dengan hanya berpedoman pada akal budi yang otonom. Sifatnya emansipatoris, ingin mendidik dan membebaskan rakyat dari prasangka-prasangka kolot yang berbau tradisi dan dongeng. Usaha ini antara lain dilaksanakan dengan menerbitkan ensiklopedi dalam berbagai jilid kecil yang dengan tajam menyoroti dogma agama dan lembaga-lembaga masyarakat (raja yang berkuasa mutlak). Eksponennya antara lain Voltaire, Montesquieu, d’Alembert, Diderot. DI Jerman ada Wolff dan Lessing.
Feministis : sastra dan studi sastra yang mengarahkan fokus pada wanita. Berkembang sejak tahun 60-an. Protes terhadap dominasi pria, mencari identitas khusus seorang wanita. Di Indonesia boleh disebut Marianne Katoppo, Nh Dini, dan Tuti Heraty.
Fenomenologis: Pengkajian sastra secara fenomenologis. Teori sastra dan kritik sastra ditulis dengan diilhami oleh filsafat fenomenologi seperti dirintis oleh Husserl, Heidegger, Sartre dan Marleau-Ponty. Fenomenon (bahasa Yunani) berarti gejala. Melalui deskripsi fenomenologis kita mencari hakikat barang-barang. Dalam fantasi kita membayangkan gejala dalam macam-macam keadaan yang berbeda, sehingga akhirnya nampak unsur yang tak berubah-ubah, yaitu hakikat barang itu.
Yang diutamakan ialah cara baru dalam pendekatan terhadap sastra. Karya seni menurut Heidegger mengungkapkan hakikat kenyataan. Lewat kesadaran dan persepsi estetik kita dapat menyentuh hakikat gejala-gejala. Ide-ide Husserl diteruskan oleh Roman Ingarden dalam dua buku, Karya Seni Sastra (1931) dan Bagaimana Mengenal Karya Seni Sastra (1968). Dalam buku pertama ia membahas hakikat karya sastra yang terdiri atas berbagai lapisan yang heterogen, tetapi yang diselaraskan. Dalam buku kedua ia membahas masukan pembaca yang mempengaruhi teori resepsi. Di Prancis fenomenologi mengilhami nouvelle critique.
Feuilleton: Roman (atau cerita) bersambung, dimuat dalam surat kabar (harian) secara berturut-turut. Untuk pertama kalinya di Prancis, awal abad ke-19. Yang murni ditulis khusus untuk dimuat setia hari dan biasanya justru terputus dengan adegan yang tegang. Psikologiny sederhana, gayanya ringan, banyak aksi dan ketegangan. Banyak roman semula diterbitkan sebagai feuilleton atau cerber, baru kemudian dibukukan, seperti karya Dumas, Dickens, Thackeray. Dewasa ini sebuah roman yang sudah terbit dipotong-potong dan dimuat berturut-turut.
Fiksionalitas: sifat rekaan atau khayalan yang terdapat terutama dalam teks-teks prosa. Baru semenjak abad ke-19 fiksionalitas dianggap sebagai ciri khas tulisan sastra. Unsur kebenaran seolah-olah ditempatkan di antara kurung. Kenyataan di luar teks dialihkan menjadi kenyataan tekstual (fiksionalisasi). Defiksionalisasi terjadi kalau kenyataan di dalam teks dikaitkan dengan kenyataan di luar teks (misalnya outobiografi).
Filologi: Dalam kata Yunani “filos” dan “logos” yang berarti cinta terhadap kata. Membanding-bandingkan naskah-naskah kuno untuk melacak versi yang asli, lalu menerbitkannya dengan catatan kritis. Tahap ini mendahului interpretasi, walaupun dalam merekonstruksi teks-teks kuno seorang ahli dibimbing oleh suatu interpretasi tertentu.
Fin de siecle : istilah ini dipakai untuk menunjukkan sekelompok seniman Prancis pada akhir abad yang lalu yang dihinggapi oleh semangat jenu, lesu, sangsi, lalu mencari ungkapan-ungkapan baru. Semangat ini juga dilukiskan dengan istilah « blaise » dan bersifat dekaden, tidak sehat. Sifat ini juga nampak dalam karya Oscar Wilde, seorang pengarang Inggris.
Flash back: sama dengan retroversi. Istilah yang berasal dari dunia film. Dalam dunia sastra, khususnya cerita, bila cerita disela oleh suatu cerita lain yang melukiskan peristiwa pada masa lalu. Teknik ini membuka kemungkinan menerapkan apa yang sekarang terjadi dengan melihat apa yang dulu terjadi. Demikian dapat juga diterangkan watak seseorang. Suatu rahasia yang dari zaman dahulu diungkapkan sedikit demi sedikit, sehingga pembaca merasa tegang.
Flash forward: Sama dengan antisipasi. Kebalikan dari flash back. Ini mendaikan adanya suatu instansi yang tahu apa yang akan terjadi. Antisipasi dapat bersifat eksplisit atau samar-samar. Dapat terjadi dalam impian seperti misalnya dialami oleh Ariadne dalam drama Hella Haasse yang juga diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. “Jangan tinggalkan aku sendiri”. Ucapan ini berantisipasi pada peristiwa yang nanti sungguh terjadi, yaitu ketika Ariadme ditinggalkan di pulau Naxos.
Fokus, Fokalisasi: 1) seperti dalam seni foto dan film fokus merupakan kancah pembidikan si juru potret, demikian juga dalam sebuah karya sastra dapat ditunjukkan satu unsur atau pandangan yang mencakup semua unsur lain secara organisatoris atau struktural. 2) dalam naratologi isitilah fokalisasi menunjukkan hubungan antara unsur-unsur cerita dengan visi yang meliputi unsur-unsur tersebut. Fokus memberi jawaban terhadap pertanyaan “siapa melihat”, sedangkan pengertian point of view menjawab pertanyaan “siapa menceritakan”. Si juru cerita tidak selalu memaparkan pandangannya sendiri.
Dapat dibedakan fokalisasi zero yang menampilkan peristiwa-peristiwa tanpa menonjolkan sudut-bidik tertentu; fokalisasi intern yang berpangkal pada seorang atau beberapa orang tokoh di dalam cerita sendiri dan fokalisasi ekstern yang menampilkan peristiwa-peristiwa seperti dilihat oleh lensa kamera.
Formalisme: dari kata latin “forma” yang berarti bentuk, wujud. 1) pada umumnya cara pendekatan dalam ilmu dan kritik sastra yang mengesampingkan data biografis, psikologis, ideologis dan sosiologis dan mengarahkan perhatian pada bentuk karya sastra itu sendiri. Kadang-kadang istilah ini juga dipakai berkaitan dengan seluruh karya yang secara dangkal memperindah bentuk tanpa memikirkan isinya.
Formalisme rusia, aliran dalam bentuk kritik sastra di Rusia (1915-1930) dengan Roman Jakobson sebagai eksponen utamanya. Fokus kepada linguistik. Sesudah 1930, karena tekanan politik, pindah ke Praha (strukturalisme). Sesudah kematian Stalin, formalisme diteruskan dan ditampung dalam aliran semiotik dengan Lotman sebagai eksponennya.
Menurut formalisme Rusia ilmu sastra hendaknya mencari unsur yang khas dalam teks-teks yang dianggap termasuk kesusastraan. Adapun unsur khas itu ialah bentuk baru yang menyimpang dari bentuk bahasa yang biasa. Otomatisme didobrak, pembaca mulai merasa heran dan asing terhadap bentuk yang menyimpang itu dengan demikian terbuka jalan untuk melihat kenyataan dengan cara baru. Bahasa sehari-hari diakali, dimanipulasi dengan berbagai akal dalam metrum, irama, sintaksis, bentuk gramatikal dan sebagainya.
Fungsi: 1) dalam ilmu bahasa secara umum art yang diperoleh sejumlah kata, kalimat atau bagian dari teks karena pengelompokannya di dalam sebuah kalimat, di dalam sebagian teks atau di dalam teks seluruhnya.
2) dalam penelitian strukturalistis terhadap cerita, perbuatan seorang tokoh yang dipandang dari sudut apa aritinya perbuatan tersebut bagi perkembangan peristiwa-peristiwa dalam keseluruhannya. Dalam strukturalisme Prancis lalu dibedakan juga antara fungsi pokok, yang merupkan kerangka cerita, dan fungsi katalisator yang mengisi ruang di tengah-tengah inti-inti itu.
3) dalam teori sistem, pengaruh dan ketergantungan timbal balik antara unsur-unsur dallam suatu keseluruhan yang lebih luas. Terdapat sinfungsi bila ada hubungan dengan unsur-unsur dalam sistem yang sama. Terdapat autofungsi bila ada hubungan dengan unsur-unsur analog di dalam keseluruhan sistem sastra, tetapi diluar karya itu sendiri. Dalam keseluruhan sistem sastra misalnya arkaisme mempunyai autofungsi yang sama, tetapi dalam karya dua pengarang yang berbeda-beda sinfungsinya lain. Dalam karya pengarang yang satu arkaisme dipakai sebagai ungkapan ironis, sedangkan dalam karya pengarang lain untuk memberi warna historis.
Futurisme: dari kata latin “futurum” yang berarti masa depan. Gerakan avant garde di Italia dan Rusia antara tahun 1910-1915. Secara nihilistis menolak tradisi dan kebudayaan (Musea dan perpustakaan harus dihancurkan), memuja zaman modern dengan adanya mesin-mesin yang bergerak cepat. Hipervitalismenya bahkan mendorong ke arah kekerasan dan perang. Di Rusia ada kontak dengan revolusi bolsyefik, di Italia dengan fasisme.
Menurut kaum futuris sastra hendaknya menyesuaikan diri dengan zaman modern yang bergerak cepat dan tidak mengenal ketenangan, baik dalam tematik (teknik, mesin) maupun dalam bentuknya. Bentuk kata kerja misalnya harap diseragamkan, sintaksis yang logis, kata-kata sifat, perumpamaan dsb harap dibuang. Supaya diadakan eksperimen dengan kata, bunyi dan tipografi. Imaginasi yang berdasarkan intuisi jangan direm. Drama supaya merupakan deretan adegan saja tanpa hubungan logis, lebih bersifat visual daripada verbal, singkat dan cepat, simultan serta mencerminkan dunia modern yang khaotis.
Para futuris Rusia (Mayakovski dan Paternak misalnya) tidak memuja teknik karena dirinya sendiri atau karena estetikanya, melainkan karena peranannya yang dapat membebaskan rakyat yang tertindas. Lebih memperhatikan otonomi bahasa dan seni.
Wassalam.. 9 Februari 2011, Jakarta Barat
1 minggu yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar