semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Pemandu di Dunia Sastra, Karya Dick Hartoko dan B. Rahmanto (3)

Sebelumnya telah ditampilkan edisi A sampai C, kini kita beranjak ke huruf D. Istilah-istilah ini semoga saja bermanfaat bagi pengembangan dunia sastra dan juga ilmu pengetahuan.

D.
Dada-isme: Berasal dari omongan seorang bayi yang belum terartikulasi, yang harus mulai dari nol. Aliran ini dianut sejumlah seniman di Eropa Barat antara tahun 1916 – 1925. Sikap negatif dan nihilistis, melawan masyarakat borjuis (Zurich, Berlin, Hannover, New York, dan Paris). Kontradiksi dan paradoks dijunjung tinggi. Apa yang ditulis atau diucapkan tak ada koherensi apa pun. Seni lebih menyerupai suatu peristiwa daripada menghasilkan sebuah karya. Dadaisme sama sekali tidak mau menghasilkan apa pun.

Dekonstruksi: Cara membaca sebuah teks, baik dari dunia sastra maupun dari dunia filsafat, berdasarkan filsafat J. Derrida (Prancis) yang diilhami oleh fenomenologi (Heidegger) dan Skeptisisme (Nietzsche). Aliran dekonstruksi meliputi sejumlah ahli ilmu sastra dan kritisi sastra yang mempergunakan metode ini. Juga disebut “post-strukturalisme” karena mengandung beberapa koreksi terhadap strukturalisme klasik, artinya beberapa konsep strukturalisme dilacak sampai akar-akarnya. Misalnya konsep “arti” yang berasal dari Saussure oleh para penganut dekonstruksi ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga pengertian mengenai teks dibongkar dan digeser-geserkan. Kaum strukturalis klasik menganggap teks sebagai sesuatu yang sudah bulat dan statis. Menurut paham dekonstruksi bahasa bukan lagi semacam jendela transparan terhadap kenyataan asli yang belum dibahasakan seperti ditafsirkan tradisi barat yang intelektualis. Menurut Derrida kenyataan obyektif yang dapat dibahasakan tidak ada. Bahasa tidak mencerminkan kenyataan, melainkan menciptakan. Arti sebuah teks selalu bergeser. Secara linguistis, literer dan kultural sebuah teks selalu berkaitan dan diteruskan. Yang dilacak ialah aporia, paradoks dalam teks-teks yang rupanya artinya sama, unsur yang menggugurkan setiap usaha untuk menafsirkan sebuah teks secara menyeluruh.

Deux ex Machina : Secara harfiah berarti tuhan turun dari mesin. Istilah ini dari dunia teater. Para penulis drama Yunani (khusus Euripides) menjelang terjadinya malapetaka, memecahkan persoalan yang rupanya tak dapat ditembus, dengan menampilkan seorang dewa di atas panggung. Dewa itu sering diturunkan dengan sebuah derek.
Kemudian hari istilah ini diperuntukkan bagi setiap penyelesaian yang terjadi dengan mendadak dan kurang didukung oleh perkembangan alur.

Dialog : 1) Wawancara antara dua tokoh di atas panggung atau di dalam sebuah cerita. 2) Jenis sastra yang menampilkan dua tokoh yang dengan panjang lebar membicarakan sesuatu, biasanya dari bidang filsafat, sastra atau sesuatu yang sedang hangat dibicarakan. Plato antara lain menulis Dialog-dialog Sokrates. Juga Erasmus, Percakapan.
3) Perinsip dialogis seperti dirumuskan oleh Mikhail Bakhtin menyangkal prinsip monologis yang melatarbelakangi setiap kata. Filsuf bahasa dari Rusia ini berpendapat, bahwa setiap kata merupakan reaksi atau antisipasi terhadap kata-kata dari pihak lain. Ia melawan anggapan monologis. Setiap kata menginteriorisasikan tuntutan resepsi dan komunikasi. Suara-suara lain dan konteks-konteks lain turut bergema dan berbagi pendapat ideologis berbenturan dalam kata. Dalam sebuah roman seorang tokoh ditentukan wataknya dalam fungsi kata-kata orang lain mengenai dirinya. Kata-kata itu diberi nuansa, disanggah atau disangkal.

Digresi: Dari istilah “Digressio” atau “excursus”. Kadang-kadang juga dipakai istilah Indonesia lanturan. Penyimpangan dari tema pokok sekadar untuk mempercantik cerita dengan unsur-unsur yang tidak langsung berkaitan dengan tema. Dalam ilmu berpidato dipakai untuk menyegarkan perhatian para pendengar andaikata bahan yang dibicarakan kering. Kadang-kadang justru untuk meningkatkan rasa tegang (selesaian ditunda, retardasi) atau untuk memberikan keterangan tambahan.

Dongeng: Dalam bahasa Jerman: Marchen; Inggris: fairy tale; Belanda: sprookje.
1. Dongeng rakyat yang secara lisan turun-temurun disampaikan kepada kita. Pengarangnya tidak dikenal. Dunia khayalan. Berlainan dengan saga kenyataan dan alam gaib menjadi satu, saling lebur. Tidak ada catatan mengenai tempat dan waktu. Biasanya bertamat dengan ‘Happy ending’. Susunan kalimat, struktur dan penokohan sederhana. Sering terjadi ulangan. Prolog dn epilog bersifat stereotype.
Mengenai asal usul dongeng rakyat pernah diajukan berbagai teori; antara lain mitologis, alegoris dan psiko-analitis. Di Jerman kedua saudara Grimm mencatat puluhan dongeng rakyat. Di dunia Arab terkenal seribu satu malam, walaupun kumpulan dongeng ini lebih tepat dimasukkan ke dalam dongeng jenis kebudayaan.
2. Dongeng kebudayaan, artinya ditulis seorang pengarang yang berbudaya untuk kalangan berbudaya pula. Ch. Perrault (Dongeng Ibu Angsa, 1967) dianggap sebagai pencipta jenis ini. Digemari pada zaman Romantik. H.C. Andersen dari Denmark tersohor karena dongeng-dongengnya. Sifatnya sering satiris atau mengandung pelajaran moral.

Drama: bersama dengan epik dan lirik salah satu dari ketiga jenis sastra utama. Bentuk sastra berupa dialog yang diperagakan di atas panggung oleh satu atau beberapa dramatis personae. Lain dengan drama bacaan, yang mempertahankan bentuk dialog tetapi tidak dipentaskan, hanya dibaca saja.

Berasal dari kata Yunani “draomai” yang berarti berbuat. Sikap-sikap yang berlawanan (ungkapan nilai moral, watak, kepentingan dan sebagainya) menyebabkan ketegangan. Jalurnya tunggal (kesatuan perbuatan, tempat dan waktu) dan bersifat kasual. Dialog-dialog bersifat pendek. Drama meliputi beberapa jenis cabang, seperti tragedi, komedi dan banyolan. Kata “drama” biasanya diperuntukkan bagi karya pentas yang serius, sehingga hampir sinonim dengan tragedi.

E.
Eksistensialisme: Sejumlah aliran filsafat yang bertitik temu dala pendapat, bahwa sebetulnya hanya manusialah yang bereksistensi. Mereka menolak pendapat esensialisme yang mau menyentuh kenyataan hanya dengan memperhatikan esensi (hakikat kodrat) sesuatu. Menurut eksistensialisme, esensi justru dibina dan tersusun lewat eksistensi.

Eksperimental: Sastra eksperimental. Dalam arti luas setiap karya sastra yang melawan arus dan konvensi dalam dunia sastra dengan maksud membuka cakrawala baru. Secara khusus diadakan eksperimen dengan fungsi arti, bahan bahasa ditata kembali untuk menggali sumber-sumber arti yang baru.

Ekspresionisme : aliran dalam dunia seni, khususnya seni lukis dan sastra yang berkembang di Eropa Barat, khususnya Jerman, antara lain tahun 1910-1925, ingin meluapkan secara dahsyat gejolak hati seorang seniman atau pandangan hidupnya. Melawan naturalisme yang bersemu ilmiah dan objektif serta impresionisme yang menekankan rasa nikmat. Menolak untuk meniru atau mereproduksi sesuatu yang telah ada. Emosi dimuntahkan secara irasional dan visioner. Ekspresi diutamakan dan ini menentukan bentuk. Irama lebih penting daripada harmoni. Sintaksis terputus-putus, kata-kata ditempatkan sendiri-sendiri, kiasan meledak. Beberapa sajak Chairil Anwar dapat disebut ekspresionistis, demikian juga lukisan-lukisan Affandi.

Elegi: Bentuk sanjak pada zaman klasik Yunani dan Latin. Biasanya keluhan dan ratapan yang ditujukan kepada seorang kekasih. Dalam sastra Eropa Barat pada umumnya kata elegi dipergunakan bagi setiap syair lirik yang merenungkan mengenai aspek-aspek tragis dalam hidup manuia, bertetapan dengan meninggalnya seorang kekasih atau peristiwa menyedihkan. Hiburan lalu diperoleh dari agama, keyakinan pada alam baka.


Emfasis: sebuah kata atau sekelompok kata ditekankan, misalnya dengan menyusunnya secara mencolok. Dalam sastra emfasis juga diartikan sebagai penyorotan terhadap sebuah gagasan atau tokoh, misalnya dengan jalan perbandingan, kontras atau ulangan.

Empathie: Dalam bahasa Jerman disebut “Einfuhlung”. Bandingkan juga dengan syimpathie, antipathie (patein berarti menderita, merasakan dalam bahasa Yunani). Pengertian ini berasal dari psikologi seni dan sastra serta estetika. Dikembangkan oleh Lotze, 1858. Dalam tindak membaca kita demikian terserap oleh seorang tokoh, sehingga seolah-olah turut merasakan gejolak-gejolak hatinya dari dalam dan bahkan merasakan kejutan-kejutan fisik seperti dilukiskan mengenai tokoh yang bersangkutan. Bila pembaca sampai pada menyetujui perasaan dan watak seorang tokoh, maka ini lebih tepat dinamakan identifikasi emosional atau simpati. Dalam empati maupun simpati ini pembaca tenggelam dalam teks, ia tidak sadar bahwa ia membaca. Ini berlawanan dengan kontemplasi yang berarti refleksi dan mengandaikan distansi, jarak. Cerita yang menampilkan tokoh sebagai ‘aku’ lebih mudah menimbulkan empati. Dalam kritik sastra kemampuan sebuah teks untuk menimbulkan empati atau simpati dinilai positif.

Engagement : dalam bahasa Inggris dan Prancis berarti terlibat. Jenis sastra yang ingin menunjang sebuah visi terhadap manusia dan masyarakat. Biasanya melawan tata masyarakat yang sedang berlaku dan mendukung golongan tertindas. Keterlibatan itu dapat berkaitan dengan tema atau bahan, tetapi juga dengan bentuk kepengarangan sebagai ungkapan keterasingan manusia. Tokoh-tokoh yang terlibat misalnya Bernard Shaw, Sartre, dan Brecht.

Enjambement: berarti melompat. Larik terputus pada suatu tempat di mana sebetulnya tak ada istirahat. Susunan grafis berlawanan dengan susunan sintaksis. Kata terakhir pada larik “a” harus dibaca dalam sehela nafas dengan kata pertama pada larik “b”.
Pulang dari sebuah dongeng tentang jin yang memperkosa putri yang semalam mungkin kubayangkan untukmu. (Goenawan Mohammad).

Epifora: Juga disebut epistrofe. Mengulangi sebuah kata atau beberapa kata pada akhir dua kalimat yang berturut-turut, sehingga kata-kata itu lalu terasa sangat berbobot.

Epigon: Dari kata Yunani “epigonos” yang berarti dilahirkan sesudahnya, ari-ari. Sastra epigon ialah sastra yang ditulis oleh beberapa pengarang sesudah suatu masa jaya yang meniru gaya pengarang-pengarang agung, tanpa menghayati visi mereka.

Epigram: Semula inskripsi pada batu tulisan, altar dan sebagainya. Di kemudian hari sajak singkat biasanya hanya terdiri atas dua larik, tetapi yang sangat padat isinya, yang mengatakan sesuatu dengan jitu dan tajam.


Epik: Bersama dengan lirik dan drama salah satu dari tiga jenis pokok dalam dunia sastra. Dengan istilah ini dimaksudkan segala karya yang mengandung sebuah cerita. Dibagi menjadi epos, roman, novel, legenda, saga, dan dongeng.
Bila kata epik dipakai sebagai adjektif dimaksudkan cerita dalam bentuk syair yang memuliakan perbuatan gagah seorang pahlawan atau leluhur yang sering ada arti nasional. Sesudah abad ke-18 epos dalam bentuk syair menjadi langka. Beberapa karya prosa disebut “epis” karena gayanya yang anggun dan visinya yang luhur dan luas, misalnya Tolstoi, perang dan damai; Boris Pasternak, Dr. Zhivago.

Epilog: 1) Bagian penutup pada sebuah karya sastra atau drama, sebagai kesimpulan atau renungan. 2) pidato singkat pada akhir sebuah drama sebagai keterangan mengenai maksudnya, ucapan terima kasih kepada para penonton dan harapan supaya lain kali kembali.

Episode: Dalam seni drama Yunani klasik sebagian dari sebuah tragedi, praktik sama dengan babak.

Epitheton: 1) epitheton ornans, kata sifat yang secara tradisional dikaitkan dengan sebuah kata benda, misalnya “tanah yang indah permai” Arjuna Sasrabahu dan sebagainya. 2) epitheton langka, kata sifat yang dengan tepat melukiskan watak seseorang, misalnya “dengan suaranya yang mengembik”.

Epos: Bentuk pokok dalam jenis syair epik. Semula dibawakan oleh seorang gembala rapsode yang menghafalkan ribuan larik (dapat dibandingkan dengan seorang dalang). Digubahnya dengan gaya yang anggun, menceritakan tentang tindak kepahlawanan seorang dewa atau heros. Dibedakan antara epos rakyat dengan epos buatan. Epos rakyat kita jumpai dalam berbagai lingkungan kebudayaan semenjak zaman purba sampai abad ke-17. Di Mesopotamia epos Gilgamesy, di India ada Epos Ramayana dan Mahabarata, di Islandia Edda, di Inggris Beowulf, di Finlandia ada Kaleva yang baru pada abad yang lalu ditulis. Ini juga terjadi dengan Ilias dan Odysea hampir tiga ribu tahun lalu. Versi ini konon kabarnya berasal dari Homerus.
Kakawin Ramayana dan Mahabarata dapat disebut epos buatan, karena ditulis oleh seoang pujangga (kawi) di kalangan kraton berdasar epos rakyat yang sudah ada. Pada awal kekaisaran Romawi Vergilius menulis Aeneis. Di Portugal epos nasionalnya yakni Os Lusiadas ditulis pada 1572 oleh Camoes.

Esai : dari bahasa prancis ‘essay’. Tinjauan dalam bentuk prosa yang dipergunakan pengarang untuk menampilkan pendapat pribadinya mengenai suatu masalah aktual atau manusiawi umum. Bentuknya tidak terlalu panjang. Biasanya pengarang menempatkan masalahnya dalam konteks lebih luas dan tidak hanya didekati dengan intelek belaka, sekalipun argumentasinya kuat dan runtun, gayanya terpelihara.

Estetika : dalam bahasa Yunani « aesthesis » yang berarti perasaan. Cabang filsafat yang mempelajari objek yang indah entah dalam alam atau dalam karya seni dan pengalaman yang disebabkan dalam diri pengamat. Bilamana kita menanamkan sesuatu indah? Untuk cabang filsafat ini istilah estetika untuk pertama kali dipakai oleh Baumgarten (1758) tetapi jauh sebelumnya banyak filsuf sudah menekuni bidang ini, antara lain Plato, Aristoteles, Augustinus dan Vico. Harap dibedakan dari ilmu atau teori seni yang lebih mempelajari segi-segi teknis dan psikologis, misalnya efek mana disebabkan karena warna merah, biru atau hijau.

Distansi estetis: Pengamat mengambil jarak terhadap objek seni. Jarak itu perlu supaya objek dapat dicerap secara estetis, dengan « sepi ing pamrih », lepas dari unsur kegunaan. Misalnya pencerapan dan persepsi kita terhadap sebuah lukisan mengenai buah jambu lain dapada cara kita mencerap buah jambu di atas piring. Pengertian distansi estetis diperkenalkan oleh Kant, 1790.

Estetika identitas : Menurut Yuri Lotman suatu masyarakat statis berpegang pada estetika identitas, mencari keselarasan dengan dunia sekitarnya. Produksi seni mengulangi pola-pola yang dianggap klasik. Pada zaman Romantik peran individu dan orisinalitas dijunjung tinggi, seniman justru ingin menyimpang dari pola-pola klasik (estetika oposisi).

Estetisisme : Sikap atau pandangan hidup yang menempatkan nilai-nilai keindahan di atas segalanya. Melawan realisme dan naturalisme dan menekankan otonomi karya seni. Condong ke arah pendapat ‘I’art pour I’art ». bukan seni meniru kehidupan, kehidupan meniru seni (Oscar Wilde).

Evaluasi : Bersama dengan analisis dan interpretasi (penafsiran) komponen ketiga dalam kritik sastra. Analisis dan interpretasi berhadapan dengan fakta, sedangkan evaluasi dengan norma-norma dan nilai-nilai. Sebuah karya sastra disebut berbobot atau bernilai bila memenuhi beberapa norma atau tolok ukur yang berbeda-beda untuk berbagai zaman.
Mengenai nilai literer ada tiga pendapat :
- Relativistis : segalanya tergantung pada selera pribadi dan subjektifitas pembaca
- Intrinsik atau imanen : pembaca hanya menemukan nilai yang sudah terkandung di dalam karya sendiri.
- Relasional : nilai ditentukan oleh struktur teks maupun oleh sistem norma pembaca (Mukarovsky, Jauss, Lotman).
Kriteria yang dipergunakan dapat diperinci sbb :
1. Hubungan antara karya dengan kenyataan; dengan tepat mencerminkan kenyataan (mimesis) atau dengan tepat mengubah atau meringkasnya. Keterlibatan dan moral juga ditempatkan di sini.
2. Pengarang dipentingkan, sejauh mana watak pengarang diungkapkan (argumentasi ekspresif), sejauh mana pengarang berhasil melaksanakan maksudnya atau sejauh mana karya menerapkan pandangan pengarang mengenai seni.
3. Karya dianggap otonom dan dinilai baik kalau strukturnya baik atau ditulis dengan gaya yang baik (stilistik). Argumen ini ambigu, karena visi kritikus berperan. Struktur mana yang dianggap baik, yang harmonis atau yang kacau?
4. Hubungan dengan pembaca; efek apa disebabkan dalam diri pembaca (emosional), bila pembaca dapat mengadakan identifikasi atau merasa diperkaya (edukatif).
5. Hubungan dengan karya-karya sastra lainnya. Orisinal, membaharui, atau meneruskan tradisi atau dianggap sebagai eksponen yang khas mengenai salah satu aliran.

Demikianlah salinan ini dibuat, sekali lagi, semoga bermanfaat bagimu dan bagiku juga..
Amin



1 komentar - Skip ke Kotak Komentar

arman rachim mengatakan...

luar biasa kak idam,
meski sibuk masih meluangkan waktu untuk menulis....
mantap

Pemandu di Dunia Sastra, Karya Dick Hartoko dan B. Rahmanto (3)