semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Pemandu di Dunia Sastra, Dick Hartoko dan B. Rahmanto (M)

Makrostruktur : istilah-istilah dari ilmu bahasa mutakhir. Makrostruktur bersangkutan dengan struktur sebuah teks seluruhnya atau bagian-bagian besar yang sering menentukan jenis teksnya, misalnya pembagian menurut bab-bab, struktur ruang dan waktu, point of view dalam sebuah narasi. Dalam puisi struktur menurut bait-bait, pola bunyi, skema rima, struktur tematis, dan sebagainya.
Mikrostruktur berkaitan dengan bagian-bagian teks yang lebih kecil dan terbatas, misalnya bagian-bagian kata, bagian kalimat atau kalimat-kalimat, fragmen-fragmen sejauh diteliti lepas dari struktur dan menyeluruh. Di sini dipelajari gaya bahasa, aliterasi, metafora, inversi dan sebagainya. Unsur-unsur mikrostruktur, bila sering terjadi, dapat mempengaruhi makrostruktur, misalnya kalau mikrostruktur diulangi, diganti, dikontraskan, dan sebagainya.

Manggala : bait-bait pembukaan dalam sebuah kakawin yang mengandung pujian dan permohonan terhadap seorang dewa atau raja (yang sering dianggap sebagai penjelmaan seorang dewa), supaya penyair (kawi) dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik sehingga sang dewa berkenan bersemayam di dalam syair itu bagaikan dalam sebuah candi.

Manierisme : sebuah istilah yang seperti Barok, semula menunjukkan sebuah gaya dalam seni bangun dan kemudian dipakai juga dalam sastra. Dalam bidang sastra terdapat tiga arti. Semula manierisme merupakan periode krisis yang memadai peralihan dari Renaissance ke Barok. Secara khusus merupakan suatu aliran tertentu di dalam sastra Barok di Italia, Spanyol, Prancis, Inggris dan Jerman. Sifat-sifatnya ialah penyusunan kata-kata yang dibuat-buat, sering dipinjam dari bahasa Latin, tidak jelas, sok ilmiah, acuan pada mitologi klasik, berbau retorika (penggunaan antithesis, anafora, metafora, hiperbola, pleonasme, dan sebagainya). Menurut E.R. Curtius setiap periode sastra diakhiri dengan manierisme. Istilah manierisme ada konotasi negatif.

Manifes Kebudayaan : Pernyataan sikap sejumlah seniman dan budayawan yang ingin mempertahankan otonomi seni dalam kehidupan, lantaran pada masa itu dunia kehidupan seniman dipaksa untuk menerima slogan ”Politik sebagai Panglima” yang dipelopori oleh Lekra dengan realisme sosialismenya. Pertama kali dimuat dalam lembaran budaya ‘Berita Republik’, 19 Oktober 1963, kemudian dimuat kembali secara lengkap dengan penjelasannya di majalah ‘sastra’, September/Oktober 1963, nomor 9/10. Teks lengkapnya sbb :


Manifes Kebudayaan
- Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik kebudayaan nasional kami.
- Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
- Dalam melaksanakan kebudayaan nasional, kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
- Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963

Para penandatangannya antara lain: HB. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Sukito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S. Moeljanto, Taufiq A.G. Ismail, Gerson Poyk, Boen S. Oemarjati, dan lain-lain.

Masnawi : Jenis puisi Melayu lama yang berasal dari sastra Arab-Parsi. Jumlah larik dalam setiap baitnya agak bebas, dengan skema rima berpasangan dua-dua (a-a-b-b-c-c ... dan seterusnya), dan berisi puji-pujian untuk pahlawan.


Materialisme : studi sastra materialis mendekati sastra dari sudut materialisme dialektis (teori sejarah materialisme). Menurut teori ini sastra didominasi oleh faktor-faktor materialistis. Determinasi ini dapat terjadi pada berbagai macam taraf.
- Di luar karya sastra, yakni dalam sektor sosio-ekonomis yang lewat ideologi mempengaruhi karya ybs. Pengarang termasuk kelas tertentu, dipengaruhi oleh masyarakat sekitarnya, seluruh tata ekonomi dsb.
- Di luar karya sastra, tetapi langsung berkaitan dengan produksi materialnya (sikap penerbit, percetakan), pemasaran, iklan dsb.
- Di dalam karya sastra, yakni karya sebagai karya bahasa. Yang penting yaitu sejauh mana bahasa yang dominan diolah atau tidak.
Ideologi materialisme dialektis menghubungkan sastra dengan sejarah serta sastra dengan sektor sosio-ekonomis.
Di dalam studi sastra materialistis terdapat dua aliran.
- Sastra dianggap sebagai realisasi dan materialisasi ideologi, mencerminkan ideologi yang sedang berkuasa.
- Sastra membuka kedok ideologi itu dan merupakan suatu kritik terhadap ideologi yang berkuasa.
Kedua aliran ini tidak saling berlawanan tetapi saling melengkapi.

Melodrama: dari kata “melos” yang berarti nyanyian.
1. Sejak zaman renaissance sampai abad ke-18 suatu perpaduan antara nyanyian dan drama, semacam opera.
2. Kemudian berkembang menjadi suatu jenis drama tersendiri. Isinya berkisar pada konflik antara si jahat dan si baik. Yang baik selalu menang, yang jahat pasti kena hukuman. Tak ada bobot psikologis ; ini ditutupi dengan gaya patetis, sentimental, efek yang dibuat-buat (munculnya sebuah kerangka, roh, guntur dan petir). Dalam dunia pentas melodrama mendampingi ”Gothic novel”. M. Lewis, yang terkenal sebagai pengarang The Monk (Gothic Novel), juga menulis The Castle Spectre (melodrama), 1797.
3. Dewasa ini kata sifat “melodramatis” menunjukkan sebuah cerita pentas atau film yang cengeng, sentimental, tidak sungguh-sungguh. Banyak lakon “srimulat” dan ludruk bersifat melodramatis.
Metabahasa: kata “meta” berarti di bawah, di belakang, bersama dengan. Bentuk bahasa yang mengatakan sesuatu mengenai sesuatu bahasa lain (bahasa objek, misalnya komunikasi literer). Metabahasa tidak mengatakan sesuatu mengenai kenyataan, melainkan hanya mengenai gejala-gejala dari bahasa objek. Pembahasan mengenai sebuah karya sastra termasuk metabahasa.

Metafora: kata Yunani yang berarti melimpahkan arti. Bersama dengan metonimi bentuk kiasan (tropos) yang paling sering dipakai. Menurut pandangan tradisional metafora terjadi bila kata yang satu dipakai sebagai pengganti yang lain, berdasarkan kemiripan arti ataupun kontras. Atau bila kata tertentu dipakai menurut suatu arti yang mirip, tetapi sekaligus berbeda dari artinya yang biasa. Dengan demikian metafora dipandang sebagai perumpamaan, tetapi tanpa menyebut dasar perbandingan dan partikel perbandingan. Misalnya, “Jago-jago kita pasti akan menang” (pemain-pemain Indonesia berani seperti jago-jago sabung). Atau, “akhirnya datang juga Arjuna impiannya”. “Dengan suara beludru” (suara lembut seperti beludru).
Menurut peristilahan strukturalis sebuah metafora menggantikan sebuah semeem (kata) dengan sebuah semeem lain, karena kedua kata itu memiliki satu atau lebih banyak semen (komponen arti yang paling kecil) bersama (teori subtitusi). Antara semen-semen yang dimiliki bersama dan semen-semen yang tidak dimiliki bersama terjadi ketegangan, tetapi persamaan parsial, (hanya sebagian) dianggap cukup untuk mengusulkan persamaan total. Misalnya, “tanganku adalah lembu yang mengabdi kepadamu” (Lucebert). Salah satu fungsi tangan ialah kerja, tetapi masih ada banyak fungsi lain. Salah satu fungsi lembu ialah bekerja untuk petani yang memilikinya. Fungsi-fungsi lain dikesampingkan dan hanya persamaan ditonjolkan.
Sebuah pendekatan lain mendefinisikan metafora berdasarkan lingkungan tempat ia berfungsi. Proses metaforis dapat dilukiskan sebagai interaksi antara berbagai isotopi, misalnya antara dunia yang hidup dan yang tidak hidup, antara dunia insani dan hewani, antara erotik dan bahasa dan seterusnya.
Dalam pemakaian metafora terdapat berbagai bentuk atau tipe pemlimpahan, misalnya pelimpahan warna (hari-hari gelap), pelimpahan bunyi (Ampera bergema di mana-mana), sinestesi (warna hangat), personifikasi atau animalisasi (amanat penderitaan rakyat, anjing menggonggong-kafilah berlalu), pembendaan atau refleksi (dari abstraksi ke sesuatu yang konkret, misalnya “hari depan merupakan beban”), alegori, yaitu pelimpahan dari sesuatu yang abstrak ke sesuatu yang manusiawi (dalam sebuah pawai alegoris kejahatan, misalnya digambarkan seperti seorang raksasa buas).


Metamorfose: dari kata Yunani “metamorfosis” yang berarti perubahan bentuk. 1. Manusia dapat berubah menjadi hewan, pohon dan sebaliknya . sering diceritakan dalam mitologi, khusus di dunia timur (misalnya anjing yang mengikuti para Pandawa sampai ke pintu surga ternyata seorang dewa). 2. Judul sebuah karya sastra yang membahas perubahan-perubahan serupa itu, misalnya Metamorphoses karangan Ovidus (penyair latin) atau Die Verwandlung karangan Kafka (1915).


Metateks: 1. Setiap teks yang membahas sebuah teks lain (misalnya sebuah resensi). 2. Terjemahan, saduran dan parodi juga dapat dianggap sebagai metateks. Disebut teks sekunder sejauh mengacu kepada teks-teks lain dengan cara yang dapat diketahui. 3. Sebetulnya setiap teks mengandung sebuah unsur metatekstualitas karena setiap teks mengacu kepada teks-teks lain (lihat intertekstualitas) dan mengandung suatu refleksi terhadap dirinya. Jarak antara teks dan metateks menjadi makin kecil bahkan dihapus, seperti misalnya dalam dekonstruksionisme.

Metonimi: bentuk gaya atau ungkapan (tropos) yang menggantikan kata yang satu dengan kata yang lain, karena adanya suatu kaitan (kecuali kemiripan atau kontras, lihat metafora). Kaitan tersebut dapat bersifat
- Pars pro toto (bagian mewakili keseluruhan), “sebuah armada sebanyak 20 layar)”
- Totum pro parte (keseluruhan mewakili bagian), “Indonesia mengalahkan Malaysia” (kesebelasan indonesia).
- Pembuat mewakili hasil buatannya, misalnya “menteri tiba dengan menumpang sebuah (pesawat) Fokker”.
- Akibat mewakili sebab, misalnya “rupanya anak itu kehilangan lidahnya” dari pengucapannya.
- Bentuk tunggal dari bentuk jamak (emansipasi wanita), wadah dari isi (berilah satu cangkir saja), tempat dari para penghuni (Yogyakarta memberontak).

Metrum: susunan suku kata silih berganti dalam sebuah bait. Metrum berbeda dari bahasa sehari-hari karena urutan suku kata yang tidak menonjol memperlihatkan suatu pola tertentu. Sifat penonjolan itu berbeda-beda dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Dalam bahasa Latin, Yunani, Arab dan Jawa Kuno ada suku kata yang panjang dan yang pendek, sedangkan dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda dan Jerman misalnya ada suku kata yang ditekankan dan tidak ditekankan.
Fungsi metrum ialah mendukung eufoni (enak didengar), tetapi ada juga nilai semantis. Pola metrum yang tepat mendukung isi dan makna sebuah sajak. Dalam teknik persajakan Barat klasik dibedakan misalnya antara yambe (u-), trochea (-u), spondea (--), daktilus (-uu), anapest (uu-) dan amfibrachys (u-u).

Mimesis: kata Yunani yang berarti meniru. Istilah dari filsafat seni dan ilmu sastra. Maksudnya, seni meniru, mencerminkan atau mewujudkan kembali “alam” atau kenyataan. Arti asli istilah ini ialah mengungkapkan, mewujudkan, maka dari itu meniru.
Konsep ini untuk pertama kali dipakai oleh Plato yang melihat dunia seni (khusus seni lukis dan pahat) sebagai peniruan ide-ide abadi lewat benda-benda yang nampak di dunia ini. Padahal alam dunia yang nampak hanya suatu bayangan mengenai dunia nyata, alam idea. Jadi, meniru bayangan merupakan suatu usaha yang tidak bermutu. Dalam tulisannya yang berjudul “Prihal Negara”, Plato hanya menyediakan tempat kelas 3 bagi para seniman.
Aristoteles mengubah pandangan ini secara radikal, yaitu dalam poietika. Seniman memilih unsur-unsur dari kenyataan lalu mewujudkannya menurut suatu konsep tertentu yang menampakkan kebenaran universal. Seniman tidak menjiplak kenyataan, melainkan menampilkan apa yang mungkin juga terjadi (probability).
Pada zaman renaissance pengertian mimesis dikaitkan dengan “imitatio”, mengikuti contoh para seniman klasik, meniru mereka dengan terutama memperhatikan kaidah-kaidah keteraturan, keharmonisan dan logika. Bukan kenyataan yang ditiru sang seniman, melainkan “kenyataan yang indah”, yang diseleksi.
Aliran romantik memberontak terhadap pengertian neoklasisisme ini dengan menekankan meluapnya emosi-emosi secara spontan, tanpa perhitungan apa pun. Seni bukanlah suatu “imitatio” melainkan “creatio”. Sedangkan realisme dan naturalisme juga ingin menampilkan kenyataan, tetapi kenyataan yang juga menampilkan hal-hal yang kasar, yang hina dan kotor.
Para teoritisi modern lebih terbuka bagi pandangan Aristoteles yang asli, yang tidak dapat disamakan dengan imitasi atau penjiplakan. Dalam kritik sastra pendekatan mimetis meneliti, sejauh sebuah karya sastra mencerminkan kenyataan atau menafsirkan kenyataan.

Mitos: dari kata Yunani “mythos” yang berarti kata yang diucapkan. Semula mitos dilawankan dengan logos. Mitos ialah cerita seorang penyair, sedangkan logos laporan yang dapat dipercaya, sesuai dengan kenyataan. Sekalipun demikian, maka pada zaman kuno pun dibedakan dua lapisan dalam mitos, ialah ide yang melatarbelakangi cerita, dan perwujudan naratif yang tidak perlu ditafsirkan secara harfiah.
Cerita mengenai dewa-dewa, pahlawan-pahlawan dari zaman beuhula. Lewat tradisi lisan yang panjang akhirnya mengendap dalam berbagai macam jenis sastra (epos, tragedi).
Mitos simbolis atau spekulatif yang menafsirkan secara simbolis tata semesta alam atau tata masyarakat.
Mitos aetologis yang dalam bentuk cerita menerangkan suatu praktek (larangan atau perintah, adat dan sebagainya). Jung dengan psikologi-dalam serta Levi-Strauss dengan antropologi strukturalis memperlihatkan, bahwa mitos-mitos itu mempunyai arti yang sangat dalam.

Monografi: suatu penelitian ilmiah mengenai sebuah objek yang dibatasi dengan jelas, misalnya mengenai seorang pengarang tertentu, atau satu karya tertentu atau aspek tertentu dalam karyanya.



0 komentar:

Pemandu di Dunia Sastra, Dick Hartoko dan B. Rahmanto (M)