1 minggu yang lalu
Rasa Teh Susu, Jiwa, dan Teori Struktur Dissipatif
Suhu tubuh tiba-tiba meningkat, setelah kuteguk susu hangat yang telah dicelupkan teh sariwangi itu. Setiap kuteguk, hangat dan rasanya menggelikan lidah, menimbulkan suatu yang tidak terbahasakan.. mungkin, generalisasinya bernama kenikmatan. Masuk ke tenggorokan, menimbulkan pun rasa puas.
Kini, saya mulai bertanya-tanya lagi.. dimanakah letak objektivitas itu ? tentang kenikmatan akan rasa teh susu itu. Pun adakah yang disebut generalisasi itu? Yang diperoleh dari percobaan bagian-bagian. Lidah mendeteksi larutan putih, yang rasa-rasanya benar-benar khas untuk keseluruhan lidah.. sementara yang saya dapatkan dari guru biologiku dulu, bahwa rasa itu ada tempatnya masing-masing. Misalnya, manis terletak di ujung lidah, pahit di pangkalnya, dan asam-asin di samping lidah. Tapi, setelah kuulang-ulangi teguk susu yang tak tahu masuk kategori manis, asam, atau pahit ini. Ujung lidahku tak begitu reaksi, begitu juga samping dan pangkalnya. Justru saya merasa keseluruhan bagianlah yang berjuang dengan kesenangannya sendiri. Merespon materi yang bernama susu itu. Sehingga, timbullah rasa susu yang (bukan manis, asam, asin atau pahit). Kalau begitu, yang manakah yang benar, eksperimenku sendiri atau hasil riset peneliti-peneliti asing itu? yang rasa pun mereka kotak-kotakkan..
Hemm.. persoalan benar salah kadang membuat kita menjadi asing dengan diri kita sendiri. Karena benar dan salah sudah ditentukan oleh yang punya otoritas kebenaran. Oleh mereka yang telah dapat HaKI, hadiah Nobel ilmiah, atau risetnya tergeneralisasi dan ‘belum’ runtuh secara metodologis. Sehingga, kita pun terlihat bodoh, dianggap tak tahu terhadap kejadian-kejadian di lingkungan kita. pun sejak kecil kita sudah sering dicekoki dengan kebenaran-kebenaran, lewat hafalan-hafalan di sekolah, tanpa tahu bahwa bagaimana teori itu terjadi, bagaimana sang penemu menyusun teorinya itu. Buntutnya, kita pun menjadi rendah diri, minder, terhadap mereka-mereka yang punya titel, yang bergelar profesor, yang sekolahan tinggi, atau mereka yang memiliki otoritas pengetahuan.
Padahal, jika kita terangsang untuk belajar sendiri terhadap fenomena-fenomena ini, kita pun akan paham dan menemukan kebenaran dengan sendirinya. Meskipun kebenarannya itu masih merupakan lapisan terendah, setidaknya, kita telah berusaha untuk mengoptimalkan potensi akal kita, potensi gerak kita. jika tak begitu, kita akan selalu dikuasai oleh mereka-mereka yang sudah mendapat “cap” akademis/surat legitimasi itu. Walau belum tentu mereka paham seluk beluk sebenarnya. Kita pun mesti mempertanyakan asumsi-asumsi epistemologinya, paradigma yang membangun teorinya, dan efek aksiologisnya. Karena tak dapat dipungkiri bahwa zaman ini adalah zaman dekonstruksi, bahwa semua kadang bisa runtuh begitu saja, lantaran pondasi dasar epistemologinya ataupun ontologisnya retak.
Misalnya, fenomena efek placebo dalam keilmuan psikologi, tentang kejiwaan, tentang manusia multi kepribadian, tentang mimpi, tentang kesadaran. Dapatkah paradigma positivis menjawab hal itu? Dimana mereka selalu meletakkan paradigmanya dari batu alas materi, dengan sudut pandang objektivitas, serta bersifat bebas nilai. Untuk sementara, pendekatan-pendekatan kaum positivis yang dikenal dengan kaum empiris berbasis data yang tampak lewat indra ini tak dapat memberikan jawaban memuaskan. Beberapa ahli telah mempertanyakan dan mendebatkan hal ini, tentang kesadaran diungkap oleh Barbara Brown, fisiolog yang bertahun-tahun mempelajari otak.
penelitian tentang jiwa dan kesadaran merupakan pemberontakan terhadap opini otoritatif dalam sains. Beberapa ilmuan yang mengkaji keberadaan jiwa atau inner mind ini adalah mereka yang berada di barisan paling depan dalam mempelajari otak : Sir Jhon Eceles, Roger Sperry, Wilder Penfield, Hans Selye, Kari Pribram (Brown, 1980). Paradigma yang melihat ke batin ini pun telah diberi nama: Post Positivisme, monisme transendental, naturalistik, metafisik M-3.
Lebih konkritnya, penemuan kajian yang bersifat ke dalam (inner mind) itu telah sangat jelas terlihat dalam pengalaman keberagamaan ummat manusia. Pengalaman ini membentuk dua bentuk, yakni eksoteris, lebih pada bentuk-bentuk peribadatan, arsitektur, kitab sucinya. Dan esoteris yang merupakan tradisi spritual yang diketahui hanya oleh sekelompok kecil dan biasanya mereka yang menuntut disiplin meditatif. Keberadaan jiwa ini terungkap bukan hanya pada jiwa itu sendiri, tapi juga melalui refleksinya terhadap prilaku eksternal pada jiwa orang lain. Pengungkapan jiwa pun tidak serta merta hadir dalam kondisi normal, tapi akan muncul pada kondisi tertentu, jika kita mematuhi aturan-aturan tertentu yang secara empiris terbukti valid dalam pengalaman (Herman, 1990).
Pengetahuan batin atau jiwa ini bukanlah pengetahuan yang terkotak-kotak seperti yang ditempuh oleh kaum postivis yang bersifat reduksionis mekanistik, tapi muncul secara holistik, melingkupi keseluruhan sistem. Jiwa itu adalah kehadiran mutlak, yang tidak terbelah-belah. Sama halnya dengan kenikmatan rasa susu tadi. Fenomena-fenomena ini merupakan peristiwa emergence yang bersifat menyeluruh, integrasi antar struktur-struktur yang terhubung oleh pola-pola tertentu, bukan lantaran fungsi bagian-bagiannya tertentu saja. Karena dalam keseluruhan terdapat pola baru, makna baru yang tak ada dalam bagian. Selain itu terjadi prosesnya penyerapan energi dalam sistem yang terbuka dan jauh dari kesetimbangan (teratur, jauh dari chaos). Pemahaman ini pertamakali disistematiskan oleh Ilya Prigogine yang dari penemuannya tentang struktur dissipatif, dan memperoleh ganjaran hadiah nobel.
Prigogine membuktikan bahwa keteraturan itu dapat lahir dari ketidakteraturan, atau kehidupan itu lahir dari entropi. Hal ini menjawab kegelisahan zaman 60-70-an itu tentang hukum termodinamika 2 tentang alam semesta yang katanya mengalami keruntuhan pelan-pelan seiring perjalanan masa. Kontradiksi pun terjadi, pengalaman kehidupan justru membuktikan sebaliknya, bahwa kehidupan ini justru berkembang dari sesuatu yang sederhana menuju hal yang lebih kompleks, atau yang tidak teratur ke yang teratur atau lebih kompleks. Tentang hal ini, prigogine menjelaskan bahwa kehidupan berada dalam lingkup sistem terbuka, sedangkan alam yang dimaksud termodinamika 2 adalah sistem tertutup yang diandaikan seperti mesin/mekanistik. Sistem terbuka berkembang lantaran melakukan pertukaran energi dengan lingkungannya. Sementara sistem tertutup tidak melakukan hal itu. Manusia, hewan, tumbuhan bukanlah mesin, mahluk-mahluk ini menyerap energi dari lingkungan, lalu mengirimkannya kembali dalam bentuk karbondioksida, sampah, panas, dan buangan lainnya. Manusia adalah sistem terbuka yang jauh dari kesetimbangan.
Dari pengamatannya terhadap reaksi Belousov Zhabotinsky yang terjadi ketika empat macam bahan kimia dicampurkan pada piring percobaan dalam temperatur tertentu, dengan sangat cepat campuran itu menata diri menjadi struktur gelombang yang konsentrik dan spiral, menyebar dan berputar dengan keteraturan mirip jam dan perubahan warna dengan interval yang tepat. Dari penelitian tersebut, ia mengendapkannya menjadi teori dissipative structure- struktur yang muncul dari situasi yang jauh dari setimbang. Struktur yang menata diri sendiri dengan membuang entropi ke lingkungan. Penataan diri seperti sel yang mengganti organ-organnya yang rusak (autopoesis) serta membentuk struktur-struktur baru lagi hingga tiba pada pembelahan diri (mencapai titik bifurifikasi) atau pembentukan sel baru (duplikasi).
Struktur dissipatif pun berkembang dengan kondisi lingkungan yang jauh dari setimbang, tidak stabil, atau mudah berubah, terbuka pada arus pertukaran materi dan energi dari lingkungan dimana lingkungan itu sendiri tidak stabil dan cepat berubah. Lantaran penyerapan dan pembuangan energi, sistem pun berguncang, taraf tertentu masih dapat mempertahankan struktur (organisasi internal), tapi pada tingkatan lebih lanjut terjadi fluktuasi lebih besar sehingga energi tak dapat diserap lagi karena sistem sudah semakin stabil. Pun pada akhirnya, goncangan kecil saja mendorongnya ke tepi jurang kehancuran, kadang bisa berantakan ataukah berhasil bertahan dengan hasil mengalami perpecahan/pembelahan dengan pola-pola baru yang lebih kompleks. Karena itulah sistem ini dapat menyelamatkan diri ke tatanan yang lebih tinggi, keluar dari ketidakteraturan (chaos).
Struktur dissipatif ini membuktikan bahwa sesuatu itu dapat berubah ke pola yang lebih kompleks dengan melalui proses ketidakteraturan, non stabilitas, dan penyerapan energi terus menerus. Kalau dibawah ke alam kesadaran dan kecerdasan. Sebenarnya peradaban atau tingkat pemahaman seseorang dapat mengalami peningkatan setelah melalui goncangan-goncangan, seperti keraguan, tantangan, dan kesulitan-kesulitan.. pemahaman teori ini pun tidak bisa diambil dari sebagian-sebagian menuju keseluruhan. Karena keseluruhan itu bukan hasil tambah bagian-bagian. Dalam keseluruhan, terdapat esensi baru, yang tidak terdapat dari partikular-partikular. Ini disebut teori sistem/integaral.
Sepertinya, tulisan ini sudah terlalu panjang dan menjemukan pikiran. Intinya, bahwa paradigma pengetahuan sudah mengalami penggeseran, dari induksi ke deduksi, reduksionis ke holistik, dari objektivitas ke subjektivitas, dari bebas nilai ke tidak bebas nilai.. dari mekanistik ke pola hubungan jaringan-jaringan (informasi). Membahas ini sebenarnya butuh pendekatan sistematis, penjelasan satu persatu apa itu positivisme, reduksionisme, mekanistik, objektivitas, ataupun subyektivitas, holistik, sistemik, integral, dan adanya partisipasi subyek/peneliti terhadap obyek penelitian. namun, mungkin untuk hal itu butuh waktu lebih banyak lagi, dan butuh konsentrasi tinggi. Hehe.. minimal, pemahaman tentang dissipatif teori telah kita kuliti sepintas, semoga menjadi landasan baru untuk berpikir ulang tentang paradigma pengetahuan yang kita pakai selama ini. Bahwa kebenaran itu masih belum tersentuh betul, masih sekadar dipermukaan-permukaannya, pun pada akhirnya kebenaran sains yang diperoleh saat ini mengalami kesalahan-kesalahan. Karena obyek yang diteliti ternyata berubah-ubah. Sementara metode yang kita gunakan sengaja memaksakan obyek itu sesuai dengan kemauan kita.
Entahlah.. mungkin saya juga punya banyak kekeliruan.. semoga ditemukan jalan ke kebenaran yang sebenarnya itu. Sekali lagi, mengutip Turgenev (penulis rusia),, “kebenaran itu seperti Cicak, kadang kita hanya menangkap ekornya yang bergerak-gerak seperti hidup, lalu mengatakan bahwa itulah kebenaran..”
Rabu, 27 April 2011
0 komentar:
Posting Komentar