semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Homo Jakartanensis


Pada mulanya adalah teks, kemudian konteks. Begitu juga dengan Jakarta, yang bisa dikategorikan sebagai teks, yang dapat dibaca, diartikan, atau didefenisikan. Namun, siapakah yang dapat dengan tepat mendefenisikan Jakarta itu? Barangkali yang muncul adalah asumsi-asumsi umum, yang sudah jadi kesepakatan bersama, seperti jakarta adalah ibukota Indonesia, jakarta adalah metropolitan, megapolitan. Memang, kalau kita melewati jalan Jenderal Sudirman kita bisa berkesimpulan bahwa Jakarta kota megapolitan, karena kita mafhum dengan jejeran gedung-gedung menjulang. Tapi, coba kita cermati keadaan yang melingkupinya, seperti got-got berbau dan jorok, sampah yang berseliweran di tepi trotoar, pengemis yang setiap hari nongkrong di jembatan penyeberangan sembari menggendong bayi, hingga pengamen dekil di bis-bis kota, tentu, asumsi megapolitan pun menjadi kabur.

Lantaran begitu, Jakarta bukan sembarang teks, karena teks sendiri dapat dikaitkan dengan teks lainnya atau metateks, dan tentu dengan konteks (ruang dan waktu) yang terbatas. Sehingga, di sini kita tak dapat menarik ketegasan, karena yang lahir adalah multi kebenaran. Kebenaran tidak satu, tergantung siapa yang melihat, cara melihat dan apa yang dilihat. Tak ada yang betul-betul pasti, yang ada mungkin hanya dominasi, itu pun tepat untuk kelas sosialnya sendiri. Persinggungan-persinggungan ini juga disemarakkan oleh media, yang melakukan penandaan-penandaan, menyodorkan makna tertentu yang tak lain juga berselubung ‘kepentingan’. Defenisi-defenisi ini pun bertarung dalam koridor wacana, karena tak ada teks diluar wacana. Kita tinggal memilih simbol mana yang hendak kita negosiasi dan terima, setelah itu kita pertaruhkan di diskursus wacana. Jadi, jakarta pun adalah wadah pertarungan politik identitas kita. Mungkin, wacana yang naik ke permukaan adalah wacana yang telah dimenangkan, untuk sementara.

Lalu, bagaimanakah Homo Jakartanensis (manusia Jakarta) melakukan negosiasi terhadap konteks Jakarta yang menawarkan pola hidup baru itu? Sementara ini saya menyebutnya kompromi keadaan, terlibat langsung dalam medan kompetisi untuk mengumpulkan uang, dimana besar bertarung dengan besar, besar menindas yang kecil, diantara yang kecil pun tindih menindih. Karena jakarta memang pasar uang, uang menjadi motivasi terbesar homo jakartanensis bergelut. Walau tak dipungkiri, banyak juga yang sudah berpuluh-puluh tahun bertarung di Jakarta namun tak juga maju-maju, tak juga naik pangkat, motornya tetap butut, belum juga bisa beli mobil, dan belum juga bisa nikah lagi.. hehe.. kalau seperti itu, umurnya pun habis hanya untuk cari uang yang justru tak cukup-cukup, lalu bingung kemudian, ”saya sudah tua ya,” lalu apa yang saya kenang selama tinggal di jakarta ini. Betapa sialnya, kalau ternyata yang dikenang hanya waktu kecapaian berdiri dalam busway, ngantuk saat macet, atau dimarahi boss. Hufff.../ngeri.. tapi jangan salah, banyak juga yang berhasil, karena jakarta tetaplah kota impian, tempat semangat digenjot, ambisi di asah. Tak ada salahnya kalau kita punya ambisi besar di kota besar ini kan?

Tak dapat dipungkiri juga, lantaran dimotori oleh semangat mengejar doku tadi, sehingga relasi yang muncul pun terkesan semu, absurb. Padahal, mungkin saja konsep kekayaan dalam benak orang-orang itu hanya sebuah ilusi, ilusi kekayaan. Orang pun akrab dengan seseorang lebih karena ada sesuatu pada orang itu, mungkin karena orang yang berkenalan itu punya apartemen sendiri, pengusaha sukses, ataukah orang itu ilmuan di bidang tertentu yang ada kaitannya dengan kemajuan bisnis, atau karena pakaiannya bermerek, potongannya rapi, sepatunya kinclong. Ujung-ujungnya, bermuara pada ”kerjasama”, proyek, kerjaan, bantuan, atau kasarnya “minta uang”. Sehingga, interaksi menjadi serba basa-basi, lebih mirip strategi kehumasan saja, sekadar sopan santun. Kehangatannya adalah kehangatan sementara, tampak dibuat-buat/klise. Pun jika keinginan sudah terpenuhi, temannya yang tampak bego itu akan di depak, dicuekin.

Saya punya secuil pengalaman tentang ini, sebelum ke Jakarta saya kenalan dengan seorang mahasiswa domisili Jakarta lewat Fb, sangat akrab, kami akhirnya janjian ketemu setelah hampir sebulan saya di sini. Tiba-tiba, setelah ketemuan, dia mohon pinjam duit, kontrakannya belum dibayar katanya. Untuk menjalin persahabatan, saya pinjamkan lah barang 100 ribu (maklum, duit masih sedikit, jadi minjaminnya juga sedikit, hehe), eh.. setelah itu, saya hubungi berkali-kali, hingga sekarang, tapi tidak pernah di balas, telpon tak diangkat.. padahal, pernah saya menghubunginya lantaran saya sudah di gramedia, dekat kosannya untuk sekadar ketemuan dan ngobrol-ngobrol. Bukan untuk menagih.. waduh.. mampus tuh duit. Hehe.. Dalam hal ini, teringat lagu di warung tempat supir-supir Batak nongkrong tadi malam,, ”siapa suruh datang ke Jakarta!”.. hahaha..

Kehangatan yang berarti rasa kemanusiaan, saling asah, asih dan asuh itu mungkin hanya berada dalam rumah. Ketika bapak pulang kerja, lalu bersungut-sungut kesal, tiba-tiba dibuatkan teh oleh istri dengan senyuman manisnya.. amboy.. keselnya pun melempem deh.. tapi tunggu dulu, bisa jadi, di rumah juga kehangatan itu entah pergi kemana, karena suami dan istri itu sama-sama sibuk, dan sama-sama biasa pulang pagi. Kalau seperti itu, kata orang betawi, “pada mampus lu pade”.. hehe..

Bagaimana pula dengan sang anak, apakah ia memperoleh kehangatan di rumah dan di sekolahnya? Belum tentu. Begitu banyak anak muda, seumuran SMP dan SMP, yang kerjanya tiap malam nongkrong di lorong-lorong gang, ngobrol ngaco tentang teman cewe’nya, sembari bermain gitar sepuasnya. Kalau hanya malam minggu sih wajar, tapi kalau setiap malam? Kapan belajarnya? Huuhh.. Kehangatan mereka peroleh lewat pertemanan, lewat malam-malam yang dilalui bersama. Tentang masa depan, nantilah.. bisa kan jadi pengamen, jadi tukang, satpam jadi pekerja pabrik, kalau beruntung jadi pegusaha sukses, tapi parah kalau jadi jongos atau malah ketika hanya jadi pemungut-mungut uang di gang-gang sempit..

Tentang kehangatan ini, ada juga orang menemukannya pada komunitas-komunitas tertentu. Misalnya komunitas pecinta Bunga anturium, komunitas pecinta ikan louhan, komunitas pecinta pesawat modeling, komunitas pembaca sastra, komunitas teater, atau komuntas pengajian-pengajian. Di sana, Informasilah yang mengeratkan hubungan mereka, perbincangan sepenuhnya tentang tema hoby mereka sehingga terjadi proses saling tukar informasi. Namun, persoalannya jika pertemuan komunitas itu berlangsung di lobi hotel ataukah di di restoran Cina yang bergengsi. Sehingga yang hadir pun ketahuan status sosialnya. Dari pakaiannya, cara makannya, yang mungkin harus lincah memakai sumpit. So, yang tak sanggup mengikuti gaya mereka-mereka pade, jadi minder deh..

Ada pula yang mencari kehangatan lewat ikatan etnoscafe, kesukuan. Jadi bukan hanya finanscafe yang menghubungkan orang per orang. Di tempat yang jauh di dari kampung, kemudian kita menemukan seseorang yang berasal dari kampung yang sama, bisa dibayangkan betapa senangnya kita. kita seperti pulang kampung lagi, dan mendapatkan sepercik suasana kampung, misalnya dengan logatnya, bahasanya, dan tingkahnya, pola pikirnya yang mungkin dipengaruhi oleh latar belakang geografis yang sama. Sehingga, berkumpul bersama teman yang sesama etnis begitu mengakrabkan, kita bisa saling berbagi cerita dan pengalaman selama tinggal di kota metropolitan ini. Tapi, lagi-lagi, kehangatan ini sementara, karena kita pun dibatasi jarak dan waktu, teman yang sekampung ini juga punya kesibukan, sehingga tak mungkinlah keseringan berjumpa.. hehe.. pada akhirnya kembali lagi dalam kurungan kehidupan basa-basi..

Dan, uniknya, lantaran keterasingan yang menderu ini, banyak diantara warga Jakarta yang mencari kehangatan lewat media lain, bukan dengan perantara manusia. Antara lain; lewat acara pavorit di televisi, lewat rubrik-rubrik kesenangan di majalah atau koran, lewat siaran musik radio di tape mobil bersama suara penyiar yang selalu ber “hyguyss”, atau musik di handphone yang setia menemani saat bergelantungan di angkutan transjakarta, ada juga lewat media internet misalnya, melalui Facebook, atau pun twitter. Beragam cara homo jakartanensis ini memperoleh kehangatan, dalam artian semacam teman berbagi rasa sepi itu. Namun sayang, kebahagiaan lewat media ini sekadar selingan saja, untuk menghapus kebosanan atau pun ketegangan saat kerja semata. Dimana kehangatan yang paling utama itu adalah jalinan persahabatan antar sesama manusia, tanpa ada pretensi ekonomi, artinya manusia dipandang sebagai manusia, bukan karena embel-embel yang melekat pada dirinya. Pun kehangatan utama ini kadang begitu sulit diraih.

Kehangatan ilusi ini pun selalu menjadi nyata, ilusi di atas ilusi, citra ekslusif kemudian dilekatkan diproduk-produk fashion. Dimana, mode tertentu akan memberi kesan khusus pada penggunanya, dianggap lebih percaya diri deh. Mungkin agar dengan mudah diterima oleh kelas tertentu dalam masyarakat sosial ini. Cara pandang yang bersifat hirarkis sosial itu membuat saya mengingat suatu kejadian. Suatu ketika, saya jalan-jalan ke mall, bersama seorang senior bernama Gunawan Mashar. Saat itu, saya hanya mengenakan baju kaos, jelana kain, tas punggung yang lusuh, dan sendal. Ditambah dengan postur badan saya yang kurus dan tentu kurang meyakinkan bahwa pemuda ini berduit. Sementara senior itu menggunakan baju kaos ngjreng, celana jeans, sendal bermerek, badan berisi, dan tas kecil yang disalempangkan menyamping. Setiap kami berpapasan dengan gadis-gadis yang membagikan brosur iklan itu, saya tidak memperoleh selembar pun brosur, sementara seniorku yang tampak berada itu selalu saja menerima brosur. Kata seniorku itu, “di Jakarta ini, orang melihat orang lain itu berdasarkan simbol yang tampak dari pakaiannya Dam”. Jadi kesimpulannya, kita akan dipandang sebagai manusia kalau penampilan kita necis.. wadeuh..

Sehingga, apa yang terjadi. Masyarakat kelas menengah ke bawah pun termakan wacana, dan akhinya menjadi budak fashion. Banyak diantaranya yang dengan sadar atau tidak sadar turut meramaikan trend dan gaya pakaian terkini. Kita dapat menyaksikan mode-mode ini bukan hanya di gedung-gedung atau pusat perbelanjaan ternama, tapi juga di atas metromini atau pun di busway. Tampaklah gadis-gadis berpakaian ketat, yang kadang udel-udel terlihat dan membuat mata lelaki jelalatan. Ataukah perempuan mengenakan rok mini sembari duduk manis di bangku transjakarta. Saya tak tahu pekerjaan sebagai apa, mungkin saja sekretaris, atau bisa juga sebagai pelayan toko roti disebuah supermarket. Lucunya, gadis-gadis berbaju ketat itu kadang menarik-narik ujung bajunya agar udel-udelnya nggak terlihat.. kalau mau dipertontonkan, sekalian dong.. hahaha...

Tentang fenomena ini, teringat kata-kata Roland Barthes, ”dunia fashion, dunia penciptaan mitos”, sehingga, yang penting adalah mitosnya, bukan fungsi. Pakaian tidak lagi dilihat sebagai pelindung tubuh dari debu. Tapi dilihat dari makna yang muncul dari mitos yang terwacanakan di media, sebagai identifikasi praktek pembedaan. Atau mungkin sebagai kategori pakaian untuk orang Cantik.. ceilee... Jadi, orang yang mengenakan mode itu merasa lebih berbeda dari orang lain. Sistem tanda yang membedakanlah yang menjadi inti, bukan isinya. Karena, Ia merasa memperoleh eksistensi dirinya lewat pertarungan simbol-simbol fasion itu. Boleh dibilang, bahwa ia memakai fashion ini itu, lebih karena makna yang diperoleh darinya. Sesuatu yang sebenarnya tidak ada, kemudian dimunculkan dan dinaikkan ke permukaan, menjadi sesuatu yang bermakna/entahlah, bagi saya mungkin juga absurb. Sehingga, kita akan mengerti jika memperlihatkan fashion itu sebagai suatu sistem, dimana mekanisme tiada habisnya untuk memberlangsungkan elaborasi makna.

Wadeuh, ruwet jadinya. Entahlah, mungkin kita menganggap mereka yang termakan iklan fashion itu sebagai budak modernitas, atau apalah. Tapi tunggu dulu, kita tidak boleh menjust begitu saja, bisa jadi kita beranggapan seperti itu lantaran kita juga sudah terlanjur menganut paham kritis misalnya, ataukah sudah menganggap itu sebagai bagian permainan/bo’ong-bo’ongan pemilik modal atau apalah. Tapi, kita harus melihat itu juga dari sudut pandang maknanya. Boleh kan kita memakai ini itu, karena barang itu memiliki makna tertentu bagi kita.. dan bisa jadi membuat kita lebih hidup dan lebih hidup (seperti iklan rokok itu). Hehe.. Yang lebih ruwet saya kira kalau kita sekadar mencontek saja, hendak mau dibilang gaul, namun sayang, tidak tahu makna apa yang terkandung dalam busana yang dipakainya.. kalau ini saya anggap sudah betul-betul budak...

Sesuai dengan premis kita sebelumnya, bahwa jakarta adalah teks, sekaligus konteks. Terakhir, jakarta sebagai salah satu bentuk kebudayaan, tidak serta merta dilihat dari kacamata standardisasi peradaban, yang membedakan warganya antara warga kelas tinggi dan warga kelas rendah hanya berdasar pada pilihan gaya hidup yang ia gunakan. Identifikasi ini pun sudah mengabur, karena gaya hidup di jakarta tergantung pemaknaannya, dan bagaimana ia merasa memiliki suatu makna itu. Boleh jadi orang-orang kecil yang tampak udik lebih asyik bermain gitar di pinggir jalan, dan merasakan kesenangan luar biasa, dibanding seorang perlente yang setiap minggu mengunjungi pementasan teater, namun kunjungan itu sebagai rutinitas semata, menjadi mahaselingan, dan tidak melakukan pemaknaan mendalam tentang pentas teater itu. Jadi, kebenaran itu banyak, kita tinggal bertarung di dalamnya, mengidentifikasi diri, masuk di golongan mana. Semuanya terserah kita.. relatif bung.. intinya kan kebahagiaan, tapi, kita bahagia atau tidak bahagia.. siapa yang tahu... hehe..

Sabtu, 30 April 2011



0 komentar:

Homo Jakartanensis