Pada siang terik itu, darah segar mengucur di tengah jalan. Seorang bapak telah terlentang di sana, seorang diri, pada aspal yang panas itu. Kepalanya pecah, sebelah tangannya bergerak-gerak, dan mulutnya berpekik ngigau, hendak mengatakan sesuatu. Namun, entah karena dosa apa yang telah diperbuat sang bapak, seperti tak ada yang mendengar pekik halus itu.. seakan melempem di hempas kebisingan. Tak ada kerumunan seperti biasanya.. Orang-orang yang lewat hanya melirik sepintas, sembari memelankan kendaraan. lalu berdecak pelan ‘kasihaan’.. gas pun kembali ditancap. ada rasa getir di sini bercampur rasa cemas, mungkin takut pada suatu keadaan yang kita sudah maklumi bersama, yaitu ‘macet’.
Seorang penumpang bertanya pada supir angkot yang saya tumpangi saat itu. “Pak Singgah pak, kasihan itu orang, tak ada yang menolong!” supir memelankan kendaraan, lalu bersungut-sungut, “sudah smaput Bu, lihat tuh tangannya udah gerak-gerak,” jawab si Supir. Maksudnya, abang supir hendak bilang, ‘percuma, sudah sekarat, mending saya bergegas cari uang’. Ada rasa pahit tertelan ditenggorokan. Tak tahu apa itu. Sepertinya rasa kemanusiaan telah kalah oleh tugas untuk mengejar setoran, untuk berebut penumpang di pinggir-pinggir jalan.
Adakah yang ganjil dari peristiwa ini? Ketika orang-orang seakan tak peduli lagi dengan orang yang sudah mendekati ajal, yang sementara berjuang melewati waktu. Tentu, kita sama-sama tahu bahwa itu sebuah kejahatan. Namun, mungkin kita juga tahu, keadaan kadang memupus rasa itu. Membiarkannya terendap dalam hati saja. Situasi jalanan yang padat, kendaraan tersendat-sendat di jalan sempit, dan siang yang terik itu. Orang pada bergegas ke tujuan, supir-supir angkot gelisah lantaran kurang setoran. Jika saja sebuah kendaraan berhenti di jalan sempit itu, macet akan mengular, waktu akan terkuras, dan besok dapur belum tentu mengepul.
Yah.. beginilah sepotong gambaran situasi yang sakit, yang kemudian menjalar ke rusuh hati. Jalanan sudah menjadi penyakit sejak kota metropolitan ini berkembang dan mengundang berjuta-juta imigran dari plosok-plosok. Namun, keramaian kota yang terus bertambah itu tak berjalan lurus dengan pembenahan petak-petak jalur kendaraan, pembatasan kendaran, atau penambahan fasilitas transportasi umum. Sehingga, setiap pergerakan umur kota, keadaan bertambah parah, jalanan sempit namun kendaraan yang melintas bertubi-tubi mendesak, sembari menekan-nekan klakson. Dan tentu, di jalan yang sempit dan penuh kendaraan ini, kendaraan-kendaraan berebutan tempat, gontok-gontokan. Hingga, jika lengah sedikit, akan terjatuh dan tertabrak. Itulah yang dialami Bapak tua pengendara motor itu. Yang mungkin sengaja menyelip di tengah jalanan tanpa tahu ada mobil atau raksasa bergerak cepat di depannya.
Orang-orang yang melihat peristiwa itu barangkali hendak menolong. Tapi apa daya, mereka juga orang-orang kecil yang tiap hari didera macet dan kebisingan. Yang membuatnya frustasi dan kelelahan menjalani hidup. Tampaknya, sebagai orang kecil yang hidup dalam keganasan kota, mereka lebih mementingkan diri sendiri. Apalagi diperhadapkan pada kondisi ramai di ruang publik. Tak ada tanggung jawab di ruang seperti itu. Dan, sebagaimana orang-orang kecil dari udik, tak ada yang betul-betul memerhatikan nasib mereka, kecuali mereka sendiri. Pun akhirnya merelakan seonggok tubuh itu menjadi tumbal kegetiran kota.
Teringat lagi pada wajah orang tua itu, yang setengah sadar itu. Bapak itu merasakan sakit yang tak tahu sakitnya seperti apa. Tapi, melihat keadaan orang lain yang tak peduli itu, yang cuma dapat geleng-geleng kepala itu. Tentu, dalam kondisi ini, masyarakatlah yang lebih sakit. Pembenahannya bukan lagi dengan praktek perbaikan moralitas pribadi, tapi sudah menyangkut pembenahan sosial. Dan ini membutuhkan tangan-tangan Tuhan, lantaran tangan-tangan wakil rakyat tak lagi melirik persoalan-persoalan ‘kecil’ ini. Rakyat sudah lama dibiarkan sendiri, terdapat nada optimisme dari mulut penguasa bahwa masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri. Sesulit apapun keadaan itu. Sehingga, jarak pun kian lebar, antara yang dimanjakan dengan previlese dan yang dibiarkan tenggelam dalam rimba ketidakpastian. Lantaran jarak yang lebar itu, mereka pun dengan gampang dikuasai, dan akhirnya diantara mereka saja saling berebut rezeki, orang kecil melawan orang kecil. Seperti supir-supir yang bertarung di jalanan itu.
Yah.. memang ada rasa bersalah tertinggal, tapi, siapakah yang dapat dipersalahkan dari keadaan ini? Saya tak tahu..!
Selasa, 26 April 2011
1 minggu yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar