Mungkin ada kemiripan pada setiap kota besar, bahwa ia juga punya cacat, bahkan sangat banyak. Terasa sejak keluar jalan di pagi hari, menghirup asap kendaraan, lalu peluh kebosanan di kendaraan yang bergerak lambat. Waktu produktif terbuang percuma di dalam kendaraan. Penderitaan itu rutin, polanya sama dari hari ke hari, meski begitu, hanyalah potongan kecil dari kue simalakama yang lebih besar. Tentang kesenjangan yang begitu jauh, tentang beragamnya nasib, tentang penerimaan terhadap keadaan yang menjemukan. Beruntunglah kalau kebetulan terlahir dari keluarga ‘berada’, atau mereka yang cukup punya bakat dan bisa dijual di kota ini, hingga bisa menikmati berbagai privelese ibu kota, bermain di Ancol, nonton teater di Taman Mini, menoleh-noleh gerai toko di Mall Grand Indonesia. Amboii nikmatnya..
Tapi, masyarakat tidaklah absolut, ia terpecah, mendiasporakan nasib, di tepi-tepi kota, mungkin lebih banyak warga yang berdesak-desakan, memperebutkan beberapa meter tanah untuk didiami dengan harga yang juga ‘wah’-kontrakan.. dan barangkali, “inilah the real Jakarta”. Dimana mobil harus bertengkar klakson untuk melangkah, orang-orang bercengkrama lepas di pinggir jalan, merokok sambil menenteng-nenteng kaki, lagu-lagu campursari diperdengarkan di kios penjual dvd music, jajanan kue di tawarkan di tengah kepungan asap dan debu, dan pada cuaca yang terik itu terdapat warga yang berteduh di bawah tenda biru, sembari menyantap mie pangsit. Toko-toko klontong berebut margin yang sepele. Begitu hebatnya, karena mereka masih tertawa, dan bisa melanjutkan hidup.
Dimanakah negara di jalan-jalan sempit itu? Negara mungkin ada di atasnya, ia mengatur, mengurus neraca, atau pertumbuhan ekonomi. yang barangkali akan meneteskan keberuntungan, meningkatkan daya beli masyarakat. itulah sebabnya warga harus patuh, manut, dan tak boleh ada bisik-bisik ”revolusi”. Tapi, adakah perbincangan serius tentang itu ? di tengah himpitan orang-orang yang berburu margin, yang tiap subuh harus mempersiapkan diri merapikan tumpukan sayur, mengangkut ikan-ikan dari pelelangan, menumbuk racikan bakso, ataukah berjalan dan berjalan menjajakan jamu dan madu buatan sendiri. Mereka ini hanya tahu bahwa hari ini bisa makan, dan besok belum tentu.. mereka pun sangat pandai mengumpul, menabung receh untuk pendidikan anak-anaknya. Sehingga, doku dihemat, ikat pinggang dikencangkan (itupun kalau pakai ikat pinggang).
Negara punya kuasa, yang meluber ke pelosok-pelosok, yang mengantarkan para wakil rakyat ke negeri asing untuk studi banding, alasannya luar biasa arif, karena untuk memberantas kemisikinan. Hasil kunjungan yang bertabur foto-foto kenangan di depan parlemen asing itu, rancangan kemudian dibuat dan dirombak, dipamerkan dan disidangkan, lalu digelontorkan. Namun, kita tak tahu apakah rakyat yang bergerombol itu mendapatkan perbaikan nasib. Selalu saja tak tahu, karena dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, penjual sayur tetap sebagai penjual sayur, yang pendapatannya mungkin naik lima ribu atau sepuluh ribu rupiah dalam jangka tahunan, tukang bakso tetap tukang bakso, yang kewalahan karena harga daging yang meningkat, serta klontong tetap klontong. Penjual tenaga tetap penjual tenaga. Meski ada juga kelontong yang menambah klontongnya. Dan ada tukang pijit, yang sebelumnya cuma memijit, sekarang sudah bertambah sekaligus menjual jamu. Yah, ada peningkatan, namun pelan-pelan. Tapi, di baliknya terdapat juga penambahan orang yang bergumul, orang yang kebingungan, entah dari desa mana ia berasal, dari pengangguran mana.. Masyarakat pun akhirnya begitu-begitu saja.
Negara kadang muncul dalam perbincangan sesaat di kedai kopi. Saat supir-supir angkot istirahat, saat pedagang-pedagang mencari teman ngopi di malam hari. ”Percuma dengan negara, pejabat pada korup”..selorohnya. Masyarakat sepertinya sudah maklum, bahwa para pemimpin kita, begitulah adanya. Sembari menyeruput kopi, pejabat pun jadi lelucon, jadi korban wacana. Ada nada sinis, jengkel, yang terlontar bersama gelak tawa. Dan pada akhirnya tak terjadi apa-apa, besok mereka menyetir lagi, besok mereka berdagang keliling lagi.
Kalau begitu, harapan tetap jadi harapan, negara pun menjadi gantungan yang rapuh. Lantaran masyarakat bergerak sendiri, berjuang sendiri. Dan mungkin, beginilah nasib, dalam berkehidupan kadang meminta korban, walau jumlahnya sangat banyak. Apalagi dalam masyarakat fundamental ekonomi liberal, yang digunakan sebagai basis dinamika negeri ini, bahwa tak dapat dipungkiri akan terdapat jurang. Terdapat orang yang sepenuhnya dapat menikmati pertumbuhan ekonomi, dan ada yang tidak. Ada orang yang bisa memajukan kesenian dan kebudayaan, ada gerak peradaban dari orang-orang yang berpunya ini, dari kalangan borjuis, yang bisa menyemarakkan demokrasi, dan bisa pula melecehkannya. Tapi, menjadi kaya bukanlah sebuah aib, bagaimanakah jadinya kalau orang pada takut menjadi kaya? Maka rubuhlah peradaban. Dalam gerak sejarah, selalu orang-orang kelas menengah inilah yang menggugat, meminta keluasan, kebebasan, hingga membentuk parlemen, mengontrol tingkat pajak kerajaan. Dan sebaliknya, kalangan ini juga pernah menjadi objek cemooh, menjadi monster yang menghisap, borjouis pun menjadi konotasi dilidah Marx. Hingga, harus diusir, kekayaannya harus dibagi, sama rata, sama rasa. Entahlah....
Ada cerita menarik tentang negara ini, tentang sepasang saudara, kakak beradik. Suatu ketika, mereka tinggal di rumah, orang tuanya lagi bepergian. Sang kakak lalu berceloteh kepada adiknya, bahwa di rumah akan berlaku sistem ‘negara demokrasi’. “Jangan takut, kita mempunyai hak yang sama,” kata si kakak. Adik lalu meminta contoh, “begini,” sahut kakak, yang kemudian manjat pohon dan di bawah adiknya menunggu. Tiba-tiba sang kakak meludahi kepala adik. “Itu hakku sebagai pemimpin,” kata si kakak. “Sekarang, gunakan hakmu sebagai yang dipimpin: balas, ludahi aku!” pun.. kita kemudian tahu, begitulah yang sulit dilakukan orang yang di bawah terhadap yang di atas.
Di manakah negara di kerumunan rakyat kecil itu? Negara ada dalam cetakan koran kemarin sore yang sudah menjadi pembungkus ikan kering, barangkali..
Rabu Pagi, 11 Mei 2011
1 minggu yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar