semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Teman Sekitar Kontrakan

Kontrakanku tidak bagus dan juga tidak jelek. Temboknya putih pucat, membujur segipanjang. Anehnya, walau sudah kutinggali selama 4 bulan, aromanya tetap berbau cat, dan lembab. Bersandar di dinding seperti menyentuh air telaga. Di lantai terbaring kasur, karpet, dan tegak lemari plastik. Di antara benda-benda mati itu, terdapat kesegaran, yaitu air yang tergenang di dalam galon, yang bersebelahan dengan tas penampung pakaian kotor. Kadang, kalau lagi suntuk dan tidak ingin beres-beres, buku-buku yang bersusun itu, tergeletak berjauhan. Uang-uang recehan berhamburan di sudut kamar, gitar pun duduk manis di atas karpet, dan laptop bernyanyi begitu saja. Menemani laju pikiranku yang lambat. Lantaran ingin mencapai kosong, hampa, titik sempurna. Namun, tampaknya belum sanggup, karena hati masih dekil, banyak kotoran yang melekat di permukaannya.

Itulah istanaku yang sederhana, tempat aku membaca segala macam pikiran, beragam fakta dan masa lalu. Tempat aku berleyeh-leyeh, sembari menyeruput teh susu. Dari kesederhanaan ini muncul ide-ide dan terbukanya wawasan, juga tempat terpantulnya keluh kesah, kalau saja dinding-dinding itu berbicara. Keluar pintu akan berhadapan dengan dinding gedung yang seperti kertas buram, corat-coret di sana-sini, tertoreh nama persatuan kelompok, nama gang, dan hinaan-hinaan spontan. Mungkin, jika sedikit berimajinasi, akan tiba pada seni lukisan gaya kubis, Pablo Picasso. Dimana setiap orang yang mengaku-ngaku seniman, boleh dengan bebas menginterpretasi maknanya. Sesekali coretan itu tertutupi oleh jemuran pakaianku.

Antara dinding dan pintu itu terdapat jalan yang menghubungkan antara lorong pemukiman dengan lorong ke luar jalan raya. Jadi, setiap sepuluh menit atau lima menit, terdengar suara motor, terdengar tapak-tapak, kadang suara-suara penjual yang menjajakan air, jamu, es tontong, pengamen, ataukah penjual madu. Beginilah tinggal di himpitan pemukiman, harus bisa terbiasa dengan kegaduhan. Kalau malam hari, sehabis jajan malam dengan nasi goreng, mie rebus, ataukah nasi ayam, saya nongkrong di emperan klontong, yang sudah ditinggali pemiliknya. Klontong yang letaknya di pinggir kuburan keluarga. Kuburan yang getar mistisnya sudah susut. Lantaran keramaian dan kesibukan orang berlalu lalang di pinggir-pinggir kuburan. Di situ, saya berbincang dengan sahabat-sahabat yang sudah berumur, bapak sugeng, Warsito, dan Jasman. Sugeng (40) seorang guru SMK, Warsito penjual bakmie, dan Jasman si tukang pijit. Jika kami berkumpul, beragam tema terhampar untuk ditegur, dirasa. Saya biasanya Cuma menimpali, kadang menambahkan.

Pak Sugeng lah yang menjadi pencerita ulung, dengan beranekamacam gelagak dan ekspresinya. Sangat ekspresif, sehingga dengan gampang saya terbawa situasi persoalan. Iya bercerita tentang ekonomi fundamental indonesia (ia alumnus sarjana ekonomi), tentang jaring-jaring konspirasi di negeri ini, dan banyak tentang pengalaman kerjanya yang sudah hampir 20 tahun. Asyik mendengarnya, karena kepalanya padat informasi dan analisis, sementara saya selalu bisa mengikuti perbincangannya dan mungkin meluruskan dengan sopan. Yah, mungkin kami ada kesamaan kegelisahan, ada kemiripan reaksi kiamiawi.

Pak Jasman adalah orang yang bersahabat, pertamakali kami bersapa sesaat saya memeriksa kepiting penelitian. iya bertanya begitu banyak, sehingga saya pun kewalahan menjawab. Iya seorang ahli pijit, titik-titik syaraf dengan mudah ia tekan dan deteksi. Sehingga, dengan sentuhan tangannya di titik-titik tubuh dan tulang, badan pun segera lempang. Aliran darah terasa mengalir normal dan membawa kesegeran. Saya pernah di pijit sekali, lebih karena penasaran tentang metodenya yang menggabungkan antara teknik pijit, urut, dan totok. Tiga ranah yang sebenarnya berada dalam satu sistem, yaitu sistem transportasi darah. Lalu, selalu pada sore hari di bulan maret itu, sebelum ia balik ke kampung hampir sebulan lebih, kami sering ngobrol.

Ia punya impian untuk menguasai metode pengobatan dengan bahan herbal, yang mampu mengatasi berbagai penyakit kelas atas, seperti jantung, kolesterol, asam urat, dan juga penyakit maag. Pengetahuan tentang bidang itu sudah ada, dan mungkin sudah dipraktekkan berkali-kali. Namun, karena kurangnya metode untuk mencari ilmu pengetahuan, sehingga perkembangannya lambat. Saya pun membantu mencarikan informasi tentang khasiat temu lawak, daun sirih, dan jahe di internet. Mengumpulkan lalu mencetaknya dalam bentuk hard copy. Tema perbincangan banyak tentang hal itu, sayang, pengetahuan ku tentang obat-obatan sangat kurang, sehingga saya lebih banyak mendengar. Tapi, sesekali saya menjelaskan tentang fisiologi organ tubuh. Mungkin bermanfaat baginya.

Sekarang, iya membaca dengan tekun hasil print itu, sebagai persiapan jika kelak nanti ia akan membuat semacam produksi obat herbal tradisional. Sekarang, ia ingin mengumpulkan dulu artikel yang berhubungan dengan obat herbal, dari segala macam tanaman yang sudah dikenal berkhasiat, seperti jahe, daun isrih, temulawak, sambiloto itu. Bahkan, ia minta dibuatkan semacam brosur dan dimasukkan diinternet tentang keahliannya.. okelah pak. Saya pikir-pikir, pantaslah bapak ini dibantu, ia punya keahlian, namun kegunaan tangannya itu hanya berputar di kelurahan Cengkareng Timur saja. Jika bisa masuk ke Internet, bisa saja iya dipanggil memijit orang sakit di kelurahan lain atau bahkan di kabupaten lain.

Warsito adalah teman sekamar Jasman, kamar sempit, dinding berwarna kelabu, harga perbulannya lumayan mahal, 250 ribu. Maret lalu, saya sekadar bertukar sapa dengannya, saat itu, saya sering pulang sekitar jam empat subuh dari gudang ataukah dari rumah seorang teman yang lain. Saban subuh itu, lampu kamarnya sudah menyala, ia sudah meracik dan menumbuk-numbuk, mungkin semacam bumbu untuk mie pangsit. Jadi, pagi hari ia sudah mendorong gerobak dan mangkal di depan pabrik pembuatan plastik, lion star. Warsito baru balik dengan wajah berseri bercampur kelelahan menjelang sore hari. Dan biasanya langsung berbaring dan terlelap.

Saya mulai akrab dengannya, saat kepiting penelitian awalku banyak yang mati. Jadi, setiap kepiting yang mati ini saya oper ke tetangga, dan sasaran utamanya adalah si penjual bakmie ini. Bersama pak Jasman ia begitu senang dapat memakan kepiting. Apalagi saat menyantap kepiting lunak, wah.. ma’nyus. Beberapa kali saya oper kepiting ke kamarnya, dan pada akhirnya jadi akrab. Jika matahari sudah meredup, saya bertandang ke kontrakannya. Duduk ngobrol, dan mendengarkannya bermain gitar. Permainannya lumayan, iya dapat menyanyikan beberapa lagu populer, meski dengan suara yang agak standar. “Maklum, lama baru menyentuh gitar lagi,” katanya. Tiba-tiba suatu hari, saya mengamatinya terus, dan timbullah keinginan untuk belajar memainkan gitar. Ia pun meminjamkannya, beserta selembar kumpulan cord gitar.

Hingga suatu malam, Pak Sugeng kebetulan nongkrong di depan warung, bersama Pak Warsito. Saya membawa gitar ke tempat itu. Dan meminta Warsito memainkannya. Dan.. tibalah giliran pak Sugeng memegang gitar, lalu memainkan sebuah melodi. Petikannya aneh, tangannya lincah, dan melodi yang dihasilkan menjadi hidup, getar senar itu terlihat begitu cantik. Bermacam-macam lagu ia bisa mainkan, sekaligus ia nyanyikan dengan suara yang merdu, dan panjang. Musik Crisye ia babat, Ebiet Gad ia hafal di luar kepala, Dewa, Faris FM, padi, Clapton, bahkan hingga ST 12 dan Afgan. Umurnya sudah 40 tahun, tapi ia dengan merdu melantunkan lagu Afgan.

Setelah melihatnya bermain, saya makin bersemangat untuk belajar bermain gitar. saya pun belajar memetik dan memijit senar, sampai keluar nada yang jernih. Jadi, setiap malam, kami pun mendiskusikan musik, teknik bermain gitar, filosofinya, hingga menjalar ke tema-tema yang lain, seperti universalisme, kebebasan berfikir, pendidikan, negeri-negeri besar, persoalan-persoalan bangsa, hingga mendiskusikan masa depan kepiting. Bahkan, pada suatu malam, berakhir hingga pukul 3.30 subuh, saya sudah menguap-nguap menahan kantuk, tapi obrolan masih tetap asyik. Ada nada resah, ada cahaya harapan dari setiap percikan pikiran ini. Bahwa segalanya bisa dikuasai, bisa dilakukan, kalau kita betul-betul butuh, dan tenaga kita tidak putus-putus untuk mengejar harapan itu, termasuk dalam hal pandai memainkan gitar. juga tentang kepiting.

Saya tak dapat membayangkan gimana jadinya kalau jemari saya juga sudah selincah jemari Pak Sugeng. Mungkin ada kepuasan yang tak terhitung, kesenangan akan kenikmatan lantun musik. Kita ujungnya dapat mencipta, dapat mengkalaborasi, bukan sekadar menikmati. Pun ini akan bertaut dengan kemampuan yang lainnya, misalnya kecintaan akan ilmu, sastra dan essai, mungkin, akan menumbuhkan rasa dan semangat untuk selalu berkreasi lebih baik lagi, lebih liar lagi.
Jadi, langkah awal yang harus saya lakukan adalah membeli sebuah gitar klasik, karena karakterku menurut Pak Sugeng adalah memainkan gitar klasik, lantaran saya begitu sulit untuk bernyanyi.. hehe.. jadi, tak usah menyanyi, biarlah gitar itu yang menyanyi sendiri. Kemudian, setelah dua tiga bulan belajar, barulah saya boleh masuk ke kursus musik. Di sana saya akan belajar membaca not balok, tangga nada. Hingga bisa memainkan karya komposer besar, seperti Bethoven atau kah Mozart.

Semoga saja impian ini bukan sekadar panas-panas tahi ayam. Dan tentu, saya harus berkorban, karena sepotong gaji saya akan terserap ke hobi itu. TAK APALAH...
Jumat, 13 Mei 2011



0 komentar:

Teman Sekitar Kontrakan