semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Nonton Gembala Kumbang, Liat Konser Bill Project

Sabtu di awal Juli barangkali adalah sebuah eksperiment, ketika semua ditampik walau juga ingin direngkuh. Pada sore tanggal 2 Juli itu, saya tak bersama siapa-siapa, bergerak ke arus keinginan, yaitu hendak sendiri. Tak ada ajak mengajak. Saya melenggang saja ke Ciputra, Grogol, mencari sesuatu yang baru dan mengasyikkan. Namun, sulit juga menemukan. Buku-buku di Gramedia pun sudah terasa boyak, ilustrasi-ilustrasi novel seakan menjadi makanan hambar. Saya tak tahu ada apa?

Keluar dari Gramedia saya mengunjungi studio 21, saya melihat-lihat film baru, ada satu yang menarik hati, yaitu ‘Gembala Kumbang’. Film yang disutradarai oleh Arie Silahale ini tampaknya menggambarkan fenomena sistem pendidikan kita yang carut marut. Berlatar pedesaan sederhana di Sumbawa, NTB, arie membawa kita ke sebuah suasana yang betul-betul ‘Indonesia’. Dengan rumah-rumah kayu yang di dalamnya terasa kehangatan keluarga, dengan hubungan antar tetangga yang begitu harmonis.

Indonesia hadir dalam sekolah di pedesaan itu, dimana ada senyum ibu guru yang manis, mengajar dengan tulus pada anak-anak desa yang punya berjuta mimpi, mimpi yang mereka gantungkan di ranting-ranting pohon di padang tinggi. Ada juga guru yang selalu galak pada anak yang tidak disiplin, menampakkan otoritas semu walau sebenarnya justru menimbulkan kesedihan. Anak-anak yang terlambat, dipaksanya berlari-lari hingga berkeringat masuk kelas. Tentu, mereka sudah kecapaian dan kesulitan belajar, yang parah lagi kalau semangat hidupnya pupus di bangku sekolah, lantaran merasa kreativitas dan talentanya ditekan oleh aturan. Semua orang tahu, bahwa kreativitas hanya bisa lahir dari kebebasan, kebebasan berfikir. Apalagi yang diharap dari aturan model seperti ini? Gurulah yang berkuasa, murid seperti tentara yang jika telat semenit bisa merugikan negara. Kita pun tahu, bagaimana otak tentara itu disulap, untuk taat pada doktrin dan otoritas.

Ada yang sedih pada akhir cerita, semua siswa SMP di desa itu tak ada yang lulus ujian Nasional. Seorang anak yang bernama Minun lantaran patah semangat, bergerak memanjat pohon harapannya, lalu terjatuh dan mati.. negara telah membunuh anak berpotensi itu, yang selalu menyabet juara-juara tingkat kabupaten, dengan piala kebanggan berderet di ruang tamu rumahnya. Negara tak melihat prestasi itu, negara hanya melihat hasil nilai Ujian yang serentak sama dari ujung ke ujung. Negara, dalam hal ini melihat anak-anak itu seperti angka dalam hitungan statistik. Tak peduli apa cita-cita mereka, bagaimana kondisi sekolah dan masyarakat mereka.

Rabu, 6 Juli, saya meninggalkan kapuk menuju istora senayan, ingin melihat pameren buku, Jakarta Book Fair. Buku bertebaran sangat banyak, mungkin semua penerbit yang ada di Jakarta turut berkecimpung dalam acara itu, bagaimana tidak, istora senayan padat akan stan-stan buku, dengan orang yang lalu lalang mencari dan melihat-lihat buku. Hari pertama itu, saya hanya membeli sebuah buku obral tentang “perempuan-perempuan Cina” dan sebuah novel cantik karya V.S Naiful, peraih Nobel Sastra 2001. Pada sore itu, dengan kebetulan saya bertemu kak Supa, seorang dosen asal Unhas. Kami berbincang sebentar tentang masa kerja dan rencana-rencana selanjutnya. Kak supa ke Jakarta mengurus visa untuk ke Iran mulai Kamis selama 2 pekan.

Setelah itu saya ke Manggarai, bertemu kakak yang ingin balik ke Makassar sebentar subuh. Pagi harinya motornya saya pakai menuju Kapuk, dengan cukup deg-degan mengemudi motor pada jalan-jalan Jakarta yang rawan kecelakaan, macet dan juga cegatan polisi. Apalagi motor yang gunakan motor Jetmetic, yang pernah sekali saya pakai dengan jarak tempuh yang pendek. Tapi, setelah menggunakannya, ternyata asyik juga, kaki kita tak perlu repot-repot menggencet gigi personelan.

Kamis sore kemarin, 7 Juli, saya ke Istora lagi, perjalanan ke sana memakan waktu hampir 2 jam. Bagaimana tidak, antri busway-nya saja, antar cengkareng Harmoni sampai setengah jam. Hemm... di istora saya membeli lima buah buku murah.. hanya setengah jam di sana.. saya kemudian naik ojek menuju Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Kompas, untuk menyaksikan penampilan terbaru Bill Project. Bill project adalah klub gabungan suami keluarga Haq, yakni Ikang Fauzi/vokalis (Marrissa Haq), Gilang Ramadhan/drumer (Shanaz Haq), dan Ikky Soekarno/gitar (Soraya Haq).

Kala itu, Bill Project menawarkan warna music baru diblantika music Indonesia. Mereka menamainya dengan Musik Sawah.. dimotori oleh GIlang Ramadhan, yang mengkompilasi beragam warna music daerah Indonesia, mulai dari Bali, Jawa, SUnda, Papua, Aceh, Ambon, dalam struktur instrumental drumnya.. Gilang memainkannya begitu memukau, ada rasa Indonesia yang dia anggap berasa “sawah”, bercampur dengan teknik drum dari barat..

Bill Project, tidak hanya berdendang dengan nada Rock Sawahnya, tapi juga ingin berbagi kekhawatiran tentang lingkungan kita yang sudah demikian buruk. Dalam laga-nya malam itu, mereka mengkampanyekan sikap bersih lingkungan, mereka menyebutnya Go Clean.. jadi, mereka nantinya akan konser di berbagai daerah dan mengkampanyekan sikap peduli lingkungan itu..

Mendengar itu,, bravo aja Bung Ikang, GIlang dan IKki..
Penampilan mereka tentu sangat menghibur..!!




Jumat, 8 Juli 2011



0 komentar:

Nonton Gembala Kumbang, Liat Konser Bill Project