semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Tentang Negeri yang Tak Ada Lagi (7)

Aku melihat tubuh orang tua itu mengapung di tengah sungai, mulutnya megap-megap, matanya merah, kotekanya terlepas sehingga kelaminnya yang tergantung-gantung diantara selangkangannya itu tampak menciut. Kulitnya yang hitam pekat tampak pucat dan memutih. Ia mengayunkan tangan kanannya sekuat tenaga, memaksa kedua kakinya tetap bergerak agar tidak tenggelam, meski sebentar lagi akan keram.

Mataku melirik ke atas pohon, Aku khawatir apakah kesatria perak itu masih bercokol di atas sana? Pikiran berkecamuk, apakah aku harus menolong segera orang tua itu dengan resiko otak berhamburan dan jantung menyentuh tanah, atau tetap bersembunyi dan menyaksikan orang tua yang sumber informasi itu lenyap ditelan sungai. Saat kondisi genting seperti ini, pikiranku bekerja keras dan akhirnya aku menemukan ide. Ulir pohon yang bergantungan di dekatku aku potong, kemudian aku lemparkan ke hingga menyentuh tangan orang tua itu. Pribumi itu pun mengerti maksudku dan dengan cepat merebut ujung ulir itu. Aku menariknya pelan-pelan hingga ke tepi sungai. Sesampai di situ, ia tampak kelelahan dan pingsan.

Setelah melirik ke sekeliling, dengan hati-hati aku menggotong tubuh orang tua itu. Membawa dan mendudukkannya di bawah pohon ek. Aku memeriksa denyut nadi di lengan kirinya. Aku pun memprediksi laju jantungnya dengan mendekatkan telingaku ke dadanya. Dada berbulu lebat yang dagingnya hanya secuil, dimana tulangnya menonjol dan dibaluti kulitnya yang legam. Nyawanya sebentar lagi putus, darahnya terus mengalir, anak panah masih tertancap di lengannya, sedalam jari tengahku. Tanpa berpikir panjang, aku mencabutnya dengan segera. Membiarkannya sedikit tersentak siuman dari pinsangnya. Tak tahu bagaimana rasa sakitnya, dan kemeja putihku yang sudah kelabu kubalutkan tepat di lubang luka.

Ulir yang berada di atas batok kepalaku aku tarik hingga putus, air pun mengalir dari akar pohon itu. Air murni yang bergizi itu menyirami wajahnya. Sesekali aku masukkan ke mulutnya sampai ia muntah dan siuman. Aku sepertinya termasuk amatiran menghadapi orang sekarat, menyelamatkan dan membunuh beda tipis. Tapi, aku tak berpikir jauh, yang jelasnya aku melakukan sesuatu dengan cepat. Entah mau mati atau tetap hidup.

Dengan badan gemetar ia tiba-tiba berucap..

”Nak, tolong kabarkan ke Putri Yana, gerakan revolusi bocor. Katakan jangan dulu ada pertemuan, karena kita bisa tumpas semua. Hati-hati terhadap orang baru dan penyusup..”

Darah keluar dari mulutnya, nyawanya pun terbang seperti layang-layang putus. Ia mati dengan tersenyum.

***

Aku balik ke pondok dengan gemuruh khawatir, memotong jalan dengan menumpangi sampan hingga tiba di jalan setapak menuju lapangan dekat rumah panjang. Rumah yang penuh misteri. Aku mengamati jendela-jendela yang tak pernah terbuka. Rumah yang bergetar oleh suara tangis, derap langkah raksasa berdegup dan terasa di atas tanah. Rumah itu dikelilingi para prajurit perak yang bergelantungan di pohon kastanye, dengan peralatan panah dan tombak bambu. Rumah yang tak pernah jauh dari bolak balik orang asing. Orang yang jika keluar dari pintu utama akan tersenyum simpul, atau malah berlinang air mata, atau sudah berputih mata. Itu pula yang membutku kian penasaran.

”Kamu mau kemana?!! gertak prajurit penjaga pintu gerbang.

”Mau menemui Gogol, lelaki yang menemukanku saat tersesat di hutan,” kataku.

”kamu dari negeri mana? Dan buat apa kamu di hutan ini? Tanyanya lagi..

Badanku keder, gagu berhadapan dengan tombaknya. Tiba-tiba gogol datang.

”Eh.. itu silahkan masuk, saya mau memperkenalkannya dengan tuan Limbu..”

”Oh.. iya maaf, silakan masuk tuan..”

”Dari mana saja kamu, hati-hati di sini banyak kesatria perak, kalau kamu diidentifikasi sebagai pemberontak, nyawamu pasti melayang,” tegur Gogol.

”Tadi dari lihat-lihat kebun dan percobaan sawah padi,” jawabku kaku..

”Lain kali bilang ya kalau mau keluar, nanti saya temani..”,

Saya cuma mengangguk, pintu gerbang terbuka, kami langsung disuguhi senyum oleh perempuan berambut merah yang berdiri di pinggir pintu rumah. Menapak tangga setinggi semeter, memandang ke dalam mataku sontak bertemu pandang dengan raja itu. Perawakannya menarik, hidung tinggi, badan berisi dan kekar, dan matanya yang tajam. Gigi-gigi babi bercampur emas melingkar di lehernya, turun ke dada yang tak ditumbuhi bulu.

Mataku kalah oleh sergapan tatapannya, tapi kemudian bibirnya tersungging, jarak antar persona pun itu mulai terbuka.



0 komentar:

Tentang Negeri yang Tak Ada Lagi (7)