semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Ekspedisi Desa Bacu-Bacu (Part 1)


Barru menyimpan banyak rahasia. Salah satunya adalah Bacu-Bacu. Desa ini tersembunyi di ketinggian 500 – 1240 m, di dataran bukit yang malam harinya diselimuti embun. Anda akan menemukannya setelah kelelahan di atas kendaraan, sebab jalanan desa ini serupa gunung galunggung, dengan alas bebatuan terhempas.   

 Desa yang luasnya 3100 Ha ini memiliki pemandangan yang ciamik, berupa deretan sawah, kotak-kotak ladang, rimbun pepohonan di puncak bukit, serta senyum ramah warga desa. Namun, diantara kemewahan itu, warga Bacu-Bacu terus berjuang menghadapi keterbatasan alam. Tantangan yang paling serius mereka tangani yaitu ketersediaan air. Pada musim kemarau petani hanya bisa berkebun kacang, lantaran krisis air. Tantangan lainnya adalah tak putusnya hama babi menyerang ladang dan sawah penduduk.    



Saya sudah dua kali berkunjung ke Bacu-Bacu, pertama pada Selasa (26/3) dan kedua pada Kamis – Minggu (4 – 7/April 2013). Dalam dua kunjungan itu kami dari SCF berupaya menggali pengetahuan masyarakat mengenai kondisi desa mereka. Kesan awal yang hinggap dan menepi ketika memasuki desa ini, yaitu keindahan dan aroma gunung yang meruap. Kendaraan dengan sabar melintasi bebatuan, sesekali kita menahan nafas berharap mobil stabil dan tidak bergeser ke jurang.      

pertamakali saya berangkat dari desa Bulo-Bulo menyusuri jalan berbatu Kecamatan Pujananting. Perjalanan berikutnya kami tempuh melalui jalur poros Kabupaten Barru, masuk ke Pertigaan Pekka’e di Kecamatan Tanete Rilau, perjalanan sekitar satu jam hingga tiba di pusat desa. Perjalanan pertama dilakukan untuk pendataan awal sosial ekonomi masyarakat secara partisipatif dengan menerapkan metode PRA (Participatory Rural Aprasial). Di desa ini kami juga berencana untuk melaksanakan sensus atau pendataan pada setiap kepala keluarga untuk mengetahui tingkat kesejahteraan di desa. Nah, indikator penilaian kesejahteraan merupakan hasil dari diskusi mereka sendiri.  

Desa Bacu-Bacu menjadi salah satu di antara dua desa yang menjadi pilihan pelaksanaan ujicoba tools PPAM (Partisipatory Poperty Assessment Monitoring), yaitu metode untuk mengetahui posisi keluarga di desa dari segala bentuk kerentanan, keterisolasian ataukah ketidakberdayaan. Sementara PRA lebih pada penggalian data berdasarkan bahasa masyarakat setempat, tentang kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Dalam PRA ini kami dari Sulawesi Community Foundation (SCF) mencoba melihat aktivitas warga dalam kalender musim, kalender harian, serta hubungan warga dengan lembaga-lembaga yang bergerak di desa dalam bentuk metode diagram venn. Kami juga mengajak warga untuk menggambar sketsa dusun mereka disertai penjelasan mengenai posisi sumberdaya, lahan dan mata air. Peta desa ini akan memudahkan warga untuk melihat kembali persoalan-persoalan di desanya.

Pada 26 Maret itu alhamdulillah dapat tumpangan di rumah Pak Meleng (72), Kepala Dusun Amerrung.  Meleng orangnya terbuka dan sangat tahan berdiskusi. Kami berdiskusi hingga di atas jam sebelas malam. Dari dia lah sebagian besar info tentang Bacu-Bacu saya peroleh. Bahkan, Meleng juga memaksa saya untuk lebih banyak mengetahui kosa kata bugis, ia memancing perbincangan dengan berbahasa Bugis.

Dalam tiga hari itu sebenarnya saya hanya membantu petugas dari Dinas Kehutanan dan Bappeda yang terkendala dalam menjalankan tugasnya. Mereka lah yang mesti menggali data dan menerapkan PRA di Bacu-Bacu. Mulanya mereka sudah ke sana pada hari senin, sehari sebelum saya ke sana. Namun banyak kendala yang mereka temui, diantaranya begitu sulitnya mengumpulkan warga untuk penyelenggaraan PRA. Nah, ketika kami bertemu di tengah perjalanan pada Selasa, mereka ternyata tak bisa melanjutkan perjalanan ke bacu-Bacu, sebab sore hari itu ada panggilan dari Bappeda Barru untuk menghadiri Pelantikan Kepala Bappeda. Selain itu, kabel koplen motor seorang perwakilan UNICEF terkait sanitasi warga desa putus saat mendaki. Solusinya, mereka datang pada hari kamis, dua hari setelah itu untuk kegiatan PRA dan tugas saya adalah menyiapkan masyarakat pada saat mereka datang.

Pada Rabu (27/3), Pak Meleng dan Kak Mia membantu saya dalam mengisi tabel data-data tentang pemenuhan hak-hak dasar di Bacu-Bacu, seperti data kemiskinan, kesehatan, dan ekonomi. Sehabis sarapan, kami sudah mulai bekerja dan pak Meleng mengingat-ingat siapa diantara warganya yang buta huruf, putus sekolah, yang menderita sakit menular, sakit menahun, dan penduduk yang lahannya di bawah satu hektar. Setelah Amerrung kelar, kami menyambangi kediaman Pak Sanusi, Kepala Dusun Batu Lappa, pak Sanusi juga meluangkan waktunya untuk mengisi tabel-tabel tersebut. Tengah hari, giliran Kepala Dusun Ampiri yang memenuhi tabel tersebut. Kebetulan beliau ada di rumah Pak Sunusi siang itu. Sore harinya, saya sekadar mengamati proses persiapan Desa bacu-Bacu dalam menghadapi lomba desa esok harinya.

Kamis (28/3), warga sudah kasak kusuk di sekitar kantor desa. ibu-ibu ramai bergosip di dapur sambil mengulek cobekan, ada pula ibu-ibu yang menggantang asap di kolong rumah. Aroma ikan bakar meyeruak, bapak-bapak mengepul rokok di beranda, berdiam-diam diri sambil melipat tangan menahan dingin. saya pun terlarut dalam suasana ramai, tapi hening. Saya hanya berfikir apa yang hadir di balik tabir-tabir pikiran mereka?

Pukul 10.00, tim penilai lomba desa sudah datang, mobil mereka didesak merangsek ke bukit Bacu-Bacu. Pegawai yang mengenakan pakaian dinas melangkah jumawa, mengenakan topi dan kacamata hitam. Ibu pustu yang jarang hadir di desa dan ikut dalam rombongan tiba-tiba mengeluh lantaran sinyal hilang dari handphone-nya. Lalu saya bertanya tentang kondisi kesehatan masyarakat Bacu-Bacu, “di Bacu-Bacu kan ada kader sehat, kader itu yang akan membantu mengobati,” ujarnya. Sementara di pihak lain, warga mengeluhkan kepala Pustu yang jarang datang, ketika warga sakit, tidak ada yang obat dan perawat yang membantu pertolongan pertama.        

Pada lomba desa ini saya menemui Kepala Desa Bacu-Bacu, namanya Ansar, terbilang muda, sekarang umurnya 29 tahun. Ia banyak lalu lalang antara desa dan kecamatan, juga antar kabupaten. Ansar mengaku punya usaha jasa angkutan dan punya kolega di Maros, kota asalku. Saat presentase lomba desa, Ansar lupa membuat profil desa, tapi itu dimaklumi, soalnya informasi tentang lomba desa baru terdengar empat hari sebelumnya. sehingga persiapan kurang dan warga harus menyiapkan pesta untuk para pegawai itu.

Lomba desa berlangsung singkat saja, tim itu hanya memeriksa kelengkapan administrasi desa, basa – basi dengan warga, lalu makan siang. Lewat jam 12 mereka pulang dengan ketawa-ketiwi. Jam satu lewat, kami meminta warga mampir di rumah Kepala Dusun Amerrung untuk turut terlibat di PRA. Alhamdulillah yang terlibat ada sekitar 20-an lebih, di luar perkiraan. Ketika masuk ke rumah Pak Meleng/dusun, penduduk pada duduk manis. Kak Mia, anak Pak Meleng yang kelabakan, harus segera menyediakan teh dan penganan. Tak lama kemudian, tim PPAM dari barru datang, yaitu Pak Mirwan dan Pak Suardi (Bappeda). Sedangkan Pak Akram (Dinas Kehutanan) tiba lebih dahulu dan dialah yang membuka kegiatan.




0 komentar:

Ekspedisi Desa Bacu-Bacu (Part 1)