semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Peristiwa dan Hantu Oktober



Saya teringat, walau samar akan peristiwa-peristiwa masa lalu, yang membentuk kita. Peristiwa  ketika kita tumbuh dan menilai. Pada masa ketika mengamat-amati orang tua kita yang selalu mencoba untuk bersenda gurau dan bersenandung. Dengan bahasa yang kita sendiri saja yang paham maksudnya. Pada masa itu bahasa menjadi suatu ikatan batin, yang tak jelas bentuk dan polanya. Yang begitu damai, walau kita sudah lupa bagaimana rasa damai yang menghanyutkan itu. Yah, kita pun menjadi lemah ketika melihat bayi bergelanyut mesra di dada ibunya.

Kemudian kita berpindah pada ranah sosial. Dengan mencerna dan belajar mengikuti norma dan tata. Ada yang menjalaninya dengan mulus, yang dengan gampang bermain, bernyanyi dan berbahasa. Tapi sedikit dari kita tampaknya kesulitan untuk mengikuti aturan main dan kadang terseret-seret di belakang. Yang sedikit itu mulai membangun kerajaannya sendiri, dalam bayang-bayang ataukah dalam ruang hampa.

Mungkin, dahulu saya terjebak dalam ruang hampa itu, yang dengan tatapan kosong melihat kenyataan-kenyataan. Oleh sebab itu rasa-rasanya begitu sedikit peristiwa yang menempel di batang-batang ingatan, dan lebih sekarang sudah dirampas oleh hayalan. Saya tak tahu, mungkin zaman dahulu saya pernah terjatuh atau tertimpa kenyataan pahit. Setahu saya ada empat peristiwa yang terkait dengan rasa sakit (fisik) pada masa kecil, yaitu (1) terjatuh dari jembatan dengan kepala yang terbentur di got, (2) ikut tawuran kampung dengan batu yang tertumbuk di jidak lalu pecah dan mengalirkan darah, (3) tertampar oleh kaca spion mobil daerah yang berlaju kencang, hingga spion patah dan kepala terbentur kembali ke aspal, (4) mual dan berak tak henti hingga dokter menyerah dan menyarankan istirahat dan menunggu mati di rumah.

Inilah makna terjatuh yang sebenarnya, yang kadang selalu menjadi lelucon. Tapi, saya tak ingin membahas keempat peristiwa itu, saya hanya ingin membahas tentang peristiwa sebagai terminologi dan sumber kebenaran. Peristiwa-lah yang membentuk kita kata Alwi Rachman yang merujuk ke filsuf Prancis, Alain Badiou. Alain Badiou lahir di Rabat, Maroko, 17 Januari 1937. lulus dari ENS pada 1962 dan ia memulai karier akademiknya dengan menjadi guru di Lycee atau sekolah menengah di Reims antara tahun 1963 sampai 1968. Ia menulis dua novel berjudul Almagester(1964) dan Portulans (1967).

Dalam peristiwa terdapat kebenaran. Serupa orang tua bersahaja yang tiba-tiba terjatuh bulir air matanya dengan senyum merekah sebelum jiwanya menuju ke alam lain. Apakah arti wajah berseri itu? Yang mengisaratkan rasa bahagia, bertolak belakang dengan kerabat yang ditinggalkan yang justru diliputi kesedihan.


Namun, dalam buku Jhon Roosa, “Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto”, Peristiwa bermakna lain. John menilai bahwa pengetahuan telah dilembagakan oleh Rezim Soeharto untuk meyakinkan orang-orang dan menjadi setia pada kebenaran peristiwa 1 Oktober 1965. Sesuai dengan adagium Badiou, “bersetialah pada suatu peristiwa, bergerak dalam situasi yang disodorkan peristiwa tersebut dengan berpikir tentang situasi sesuai dengan peristiwa itu”. Barangkali dapat diartikan sebagai kebenaran faktual/objektif. Dimana peristiwa akan menjelaskan kepada kita lagi serupa hikmah, untuk ditafsirkan kembali, membilas-bilas debu kenyataan itu dengan setia.

Namun, peristiwa itu justru hidup dalam ketidakjujuran, dalam monumen pancasila, Museum lubang buaya dan dalam film G30S PKI berdurasi 4 jam yang menghantui masa kecil saya itu. Dalam berjuta kebohongan, para pejabat harus mengucap sumpah setia pada pancasila saban 5 tahun di depan monumen itu. Yang kata Jhon Roosa, kita diantar untuk setia pada kebenaran 1 Oktober 1965, bahwa PKI itu khianat dan tak dapat disadarkan lagi. Menampik rangkulan Soekarno dahulu yang menjadikan komunisme sebagai rumah besar bersama Nasionalisme dan Islam.

Lalu, kita dihantui oleh kebenaran yang hanya seakan-akan. Maka, pantaskah itu disebut peristiwa? Pantaskah kita memberi hormat setiap tanggal satu pada bulan sakti hanya untuk menangisi sembilan orang yang meninggal? Tanpa didasari oleh bukti yang valid, tanpa saksi. Justru, yang tampak adalah saksi bisu nyawa-nyawa yang melayang hanya karena simpatik dengan ide dan gagasan.

Ah, kita pun dalam berbicara kadang menambah-nambahkan, agar terdengar seru lalu membuat orang bersuka ria mendengar kita. Tapi, bukankah kita juga suka mendengar gembar-gembor? suka bahasa yang diselingi kepanikan. Lantas, peristiwa itu pun lecet dan tercabik-cabik, yang lama kelamaan membentuk peristiwa baru.

Itu pula lah yang membuat orang pongah, orang yang tampaknya lupa atau tak setia pada peristwa. Mungkin kita samar-samar mengingat peristiwa-peristiwa lampau, namun tiba-tiba tercemar oleh peristiwa-peristiwa dalam kepala, yang kita bentuk sendiri. Mungkin untuk menguasai, menghipnotis, membunuh.
 
Idham Malik
Terbit di Koran Tempo, Kolom Literasi, 5 Oktober 2013




2 komentar:

coretan anak gembala mengatakan...

keren kak... :)

coretan anak gembala mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Peristiwa dan Hantu Oktober