Saya teringat, walau samar akan
peristiwa-peristiwa masa lalu, yang membentuk kita. Peristiwa ketika kita tumbuh dan menilai. Pada masa ketika
mengamat-amati orang tua kita yang selalu mencoba untuk bersenda gurau dan bersenandung.
Dengan bahasa yang kita sendiri saja yang paham maksudnya. Pada masa itu bahasa
menjadi suatu ikatan batin, yang tak jelas bentuk dan polanya. Yang begitu
damai, walau kita sudah lupa bagaimana rasa damai yang menghanyutkan itu. Yah,
kita pun menjadi lemah ketika melihat bayi bergelanyut mesra di dada ibunya.
Kemudian kita berpindah pada
ranah sosial. Dengan mencerna dan belajar mengikuti norma dan tata. Ada yang
menjalaninya dengan mulus, yang dengan gampang bermain, bernyanyi dan
berbahasa. Tapi sedikit dari kita tampaknya kesulitan untuk mengikuti aturan
main dan kadang terseret-seret di belakang. Yang sedikit itu mulai membangun
kerajaannya sendiri, dalam bayang-bayang ataukah dalam ruang hampa.
Mungkin, dahulu saya terjebak
dalam ruang hampa itu, yang dengan tatapan kosong melihat kenyataan-kenyataan.
Oleh sebab itu rasa-rasanya begitu sedikit peristiwa yang menempel di
batang-batang ingatan, dan lebih sekarang sudah dirampas oleh hayalan. Saya tak
tahu, mungkin zaman dahulu saya pernah terjatuh atau tertimpa kenyataan pahit.
Setahu saya ada empat peristiwa yang terkait dengan rasa sakit (fisik) pada
masa kecil, yaitu (1) terjatuh dari jembatan dengan kepala yang terbentur di
got, (2) ikut tawuran kampung dengan batu yang tertumbuk di jidak lalu pecah
dan mengalirkan darah, (3) tertampar oleh kaca spion mobil daerah yang berlaju
kencang, hingga spion patah dan kepala terbentur kembali ke aspal, (4) mual dan
berak tak henti hingga dokter menyerah dan menyarankan istirahat dan menunggu
mati di rumah.
Inilah makna terjatuh yang
sebenarnya, yang kadang selalu menjadi lelucon. Tapi, saya tak ingin membahas
keempat peristiwa itu, saya hanya ingin membahas tentang peristiwa sebagai
terminologi dan sumber kebenaran. Peristiwa-lah yang membentuk kita kata Alwi
Rachman yang merujuk ke filsuf Prancis, Alain Badiou. Alain Badiou lahir di
Rabat, Maroko, 17 Januari 1937. lulus dari ENS pada 1962 dan ia memulai karier
akademiknya dengan menjadi guru di Lycee atau sekolah menengah di Reims antara
tahun 1963 sampai 1968. Ia menulis dua novel berjudul Almagester(1964) dan
Portulans (1967).
Dalam peristiwa terdapat
kebenaran. Serupa orang tua bersahaja yang tiba-tiba terjatuh bulir air matanya
dengan senyum merekah sebelum jiwanya menuju ke alam lain. Apakah arti wajah
berseri itu? Yang mengisaratkan rasa bahagia, bertolak belakang dengan kerabat
yang ditinggalkan yang justru diliputi kesedihan.
Namun, dalam buku Jhon Roosa,
“Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto”, Peristiwa
bermakna lain. John menilai bahwa pengetahuan telah dilembagakan oleh Rezim
Soeharto untuk meyakinkan orang-orang dan menjadi setia pada kebenaran
peristiwa 1 Oktober 1965. Sesuai dengan adagium Badiou, “bersetialah pada suatu
peristiwa, bergerak dalam situasi yang disodorkan peristiwa tersebut dengan
berpikir tentang situasi sesuai dengan peristiwa itu”. Barangkali dapat
diartikan sebagai kebenaran faktual/objektif. Dimana peristiwa akan menjelaskan
kepada kita lagi serupa hikmah, untuk ditafsirkan kembali, membilas-bilas debu
kenyataan itu dengan setia.
Namun, peristiwa itu justru hidup
dalam ketidakjujuran, dalam monumen pancasila, Museum lubang buaya dan dalam
film G30S PKI berdurasi 4 jam yang menghantui masa kecil saya itu. Dalam
berjuta kebohongan, para pejabat harus mengucap sumpah setia pada pancasila
saban 5 tahun di depan monumen itu. Yang kata Jhon Roosa, kita diantar untuk
setia pada kebenaran 1 Oktober 1965, bahwa PKI itu khianat dan tak dapat
disadarkan lagi. Menampik rangkulan Soekarno dahulu yang menjadikan komunisme
sebagai rumah besar bersama Nasionalisme dan Islam.
Lalu, kita dihantui oleh
kebenaran yang hanya seakan-akan. Maka, pantaskah itu disebut peristiwa?
Pantaskah kita memberi hormat setiap tanggal satu pada bulan sakti hanya untuk
menangisi sembilan orang yang meninggal? Tanpa didasari oleh bukti yang valid,
tanpa saksi. Justru, yang tampak adalah saksi bisu nyawa-nyawa yang melayang
hanya karena simpatik dengan ide dan gagasan.
Ah, kita pun dalam berbicara
kadang menambah-nambahkan, agar terdengar seru lalu membuat orang bersuka ria
mendengar kita. Tapi, bukankah kita juga suka mendengar gembar-gembor? suka
bahasa yang diselingi kepanikan. Lantas, peristiwa itu pun lecet dan
tercabik-cabik, yang lama kelamaan membentuk peristiwa baru.
Itu pula lah yang membuat orang
pongah, orang yang tampaknya lupa atau tak setia pada peristwa. Mungkin kita
samar-samar mengingat peristiwa-peristiwa lampau, namun tiba-tiba tercemar oleh
peristiwa-peristiwa dalam kepala, yang kita bentuk sendiri. Mungkin untuk
menguasai, menghipnotis, membunuh.
Idham Malik
Terbit di Koran Tempo, Kolom Literasi, 5 Oktober 2013
2 komentar:
keren kak... :)
Posting Komentar