semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Rame-Rame tentang Tere Liye

Saya pernah mendengar wejangan senior sewaktu masih di koran kampus dahulu, katanya, "semua orang bisa menulis, tapi menulis yang punya bobot itu hanya segelintir". Cerita tentang bobot, sangat subjektif, sebab yang mengetahui bobot hanyalah mereka yang berbobot, yang memiliki kompetensi tentang dunia penulisan, yang saling kait mengait dengan dunia pemikiran, dunia rekayasa sosial.
Saya pun semakin sadar, bahwa semakin lama menekuni atau setengah mengkutui dunia penulisan, saya kian terperosok dalam kerisauan, kebimbangan, untuk mempertanyakan kembali, apakah tulisan-tulisan yang saya hasilkan itu sudah sesuai dengan logika, sudah mengambil sudut pandang yang tepat, sudah komprehensif, sudah menarik perhatian, sudah dapat menggali persoalan dengan jernih, dengan memberi sentuhan pribadi pada solusi kreatif terhadap suatu problem?
Banyak yang bilang, bahwa menulis itu gampang, mudah, tinggal nulis saja apa yang ada di benak, lalu asah kemampuan menulis dengan latihan tiap hari seperti semangat latihan para atlit. Ya, saya sepakat jika hal itu berkaitan dengan gaya penulisan dan kemampuan merangkai kata. Tapi, terkait dengan isi tulisan atau kekuatan isi, bukan sekadar menyusun kata, tapi mencoba memilah-milah kata, menggunakan simbol yang paling tepat, menjelaskan peristiwa - fakta dengan benar, menyusunnya dengan logis, penggunaan analogis juga perlukan agar lebih meruang dan mengonteks, menggunakan alat analisa yang tepat, berdasarkan teori dan rangkaian teori, dimana teori ini kita banting badan, banting pikiran untuk paham teori, dan butuh kerjapaksa lagi untuk mengkoneksikan antara teori dan fenomena. Kita pun kadang-kadang masing ragu, apakah kontekstualisasi teori tersebut sudah betul-betul pas, apakah pemaparan peristiwa kita sudah clear and distinct?
Fenomena Tere Liye, yang membuncah beberapa hari terakhir bukan hal mengejutkan bagi kita di Indonesia. Sosok seperti Bung Tere Liye ini sangat banyak di Indonesia, yang lantaran hobi menulis, dan terus menerus menulis, hingga melahirkan sekian buku, dan akhirnya laris di mata pembaca Indonesia. Sepertinya Bung Tere ini sangat paham selera pembaca, sehingga dengan tulisan-tulisan Bung, dapat menyentuh perasaan dan sentimen para pembaca. Tentu Bung mensasar para pembaca awam untuk tetap teguh terhadap pendapatnya tentang cara-cara hidup yang normatif dan simple, yang ajib-ajib mistik.
Banyaknya tulisan belum tentu dapat membuat seseorang paham terhadap suatu hal, sama halnya banyaknya pengalaman seseorang belum tentu paham terhadap problematika yang melilitnya. Justru, ketika menulis menjadi suatu yang rutin, tanpa dibarengi dengan refleksi dan tambahan referensi, justru akan makin mendangkalkan pikiran dan membentengi mental untuk berkembang ke atas (anabasis).
Untuk itulah, dalam latihan menulis terdapat tahapan-tahapan, yang dalam hal ini terekam dalam kurikulum latihan menulis, dan dibutuhkan pembimbing sebagai partner para penulis untuk berdialog terhadap hasil karya-karya mereka, memberikan input dan kritik yang adil, sehingga dalam proses latihan ini, para penulis lebih waspada terhadap kata-kata yang ditorehkan, paragraf-paragraf dapat dipertanggungjawabkan, dibangun pelan-pelan hingga menjadi suatu bangunan yang utuh, bak sebuah rumah yang kokoh dan indah.
Selain itu, setiap penulis pastinya mempunyai panutan penulis senior atau karya mutakhir dari seorang penulis idola. Jadi, kualitas tulisan bisa diukur seberapa dekat tulisan kita dengan tulisan pada idol-idol yang kita kagumi. Terlepas dari temuan-temuan idol kita masing-masing, yang ternyata harus dicari seumur hidup. Idol-idol kita semakin lama semakin banyak dan semakin bertingkat-tingkat, sangat ditentukan oleh seberapa banyak buku-buku berbobot yang kita baca. Tulisan kita di awal-awal bercermin dari tulisan mereka, semakin kita berjuang untuk naik tangga semakin dekatlah tulisan kita dengan tulisan para idol.
Tambahan lagi, setiap penulis tidak boleh berfikir monolog, tapi harus berfikir dialektis. Penulis harus menguji karyanya pada medan penulis lain, atau medan wacana, untuk melihat apakah tulisan kita dapat diterima oleh penulis lainnya, bersesuaian, dapat menambah wawasan penulis lain, dapat mengkritik penulisan lain secara lebih objektif. Setiap penulis membutuhkan lawan, untuk mengasah ketajaman tulisan-tulisannya.
Bung Tere Liye, tulisan Bung sepertinya enak dibaca, aduhai dan meninabobokkan, sesekali menghentak, tapi tulisan Bung belum tentu berbobot. Ini bisa dilihat dari pernyataan Bung sendiri tentang sejarah. Tapi, Bung tidak usah terlalu bersedih, ini lantaran kesalahan Bung sendiri, yang terlalu percaya diri dan kurang rajin membaca buku sejarah, dan akhirnya menjadi bumerang bagi Bung.
Tapi terimakasih Bung, telah mengingatkan kami semua, yang baru belajar menulis ini. Bahwa untuk menjadi penulis harus hati-hati, harus banyak baca buku, harus rajin diskusi, agar kami-kami yang baru belajar tidak bernasib buruk seperti Bung Tere Liye.
**
Terlepas dari komentar-komentar di atas, untuk lebih adil dan paham terhadap Bung Tere, kita pun harus verifikasi latar belakang kepenulisan Bung Tere ini, bacaan-bacaannya seperti apa? tempat-tempat nongkrongnya dimana? ngobrolnya sama siapa saja? Belajar nulisnya di mana? guru nulisnya siapa? Siapa panutan-panutan menulisnya? Apakah pikiran-pikirannya mampu menerobos permasalahan hingga ke detil-detilnya? atau kah hanya melantur dengan ide-ide khayal, melayang-layang diantar langit dan bumi).




2 komentar:

Ghamal Wahab mengatakan...

Ada 4 golongan kak; Saya termasuk golongan pertama; orang yang kurang membaca karena itu takut nulis, kedua; ada juga golongan yang banyak membaca tapi tetap takut menulis, ketiga; ada lagi golongan orang yang banyak membaca dan berani menulis. Nah untuk kasus status fb-nya tempo hari, bung tere liye ini kayaknya masuk golongan ke-4 kan kak ? /o\

Idham Malik mengatakan...

wkwkwkwkwkwk... itu sudah :D

Rame-Rame tentang Tere Liye