semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Optimisme Melahirkan Pesimisme


Dalam kondisi apakah lahir optimisme? Barangkali dari kurangnya pengetahuan. Optimis, sebuah sikap jumawa terhadap terawang masa depan, langkah dini dari aksi menggali lubang kubur sendiri.

Jumawa muncul dari hal yang dibesar-besarkan, gelembung dari perkiraan statistik yang kurang akurat. Asumsi yang berangkat dari perangkap teori yang dibaca setengah - setengah, disertai imajinasi kreatif yang begitu jauh dari realitas.

Lalu, dari optimisme itu, melandai menuju pesimisme. Ibarat sisifus, yang mengangkat batu ke bukit, lalu jatuh, dan mendorong lagi hingga ke puncak, lalu jatuh kembali. Hal yang sama seperti apa yang harus ditanggung manusia, yaitu penderitaan.



Hal inilah juga yang dialami dalam kegiatan pendampingan petambak dan masyarakat pesisir. Semakin kita selami, semakin kita tenggelam dalam ketidaktahuan. Semakin kita gali, kian kita bingung pada hal - hal mendasar. Seperti, apa motif keterlibatan dalam pendampingan? Bagaimana cara membangun kepercayaan? Apakah mungkin semua kepentingan dapat terakomodasi? Apakah nilai - nilai baru yang diharapkan dapat terwujud dan akhirnya menjadi basis kultur bersama?

Nilai - nilai memang jauh, abstrak dan seakan fana seperti itu, mustahil dapat dipahami dengan cepat. Apalagi praktik dalam tindakan. Makanya, tindakan - tindakan kecil mesti dilirik kembali, hal - hal yang menyentuh langsung persoalan hidup mereka. Meski begitu, ketika kita mendekat untuk bersentuh langsung. Respon bisa dua arah, adanya penerimaan yang baik dari masyarakat kecil, atau menganggap hal itu biasa-biasa saja, ibaratnya seperti tamu yang datang ke rumah, diterima, dijamu, setelah itu, sudah.

Seperti manusia pada umumnya, masyarakat pesisir yang kita dampingi juga punya mekanisme bloking. Setiap manusia, ketika mengendus potensi serangan, secara outomata bertahan diri. Nah, hal inilah yang sulit ditangkap oleh para pendamping, yaitu melacak mental block masyarakat yang diajak kerjasama. Ungkapan yang sering kita dengar, "Saya lebih tahu dari mereka", "Ah, teori, secara praktek cara ini yang sudah terbukti".

Memang rumit, untuk menembus kerangkeng mental ini, mesti ada rasa kepercayaan, yang diperoleh dari tindakan yang tulus, dan betul - betul terlihat bukti nyata, dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sementara, hal itu menuntut kita untuk konsentrasi penuh, mengorbankan banyak hal, dan mulai tidak begitu peduli pada urusan yang lain - lain. Inilah biangnya, banyak dari kita mengerjakan banyak hal, dan tak mampu fokus dan setia merawat proses pendampingan.

Setelah itu, jika sudah mendampingi, dan bekerja keras dalam jalur itu, janganlah begitu banyak menaruh harap. Sebab biasanya hanyalah memicu derita. Cukup, lakukan dan lakukan apa yang bisa dilakukan, periksa apa yang kurang, lalu perbaiki, lakukan lagi.

Jika tak dapat memberi pengaruh besar, cukup di situ, mungkin ada hal lain yang di luar kuasa kita. Barangkali faktor budaya, sejarah, politik, ekonomi, yang silang sikut rumit. Yang kita peroleh adalah pelajaran tentang masyarakat yang begitu kompleks, yang membutuhkan kerja tangan banyak pihak, kesadaran masyarakat luas. Dari situ, menjadi modal untuk bergerak di tempat - tempat lain, untuk sekadar mencoba memberi pengaruh. Tentu, dengan tidak lupa untuk terus memperbaiki diri, mengasah tools - tools, dan memperluas wawasan.
Kekurangtahuan yang melahirkan optimisme, menuju ketidaktahuan yang menimbulkan pesimisme.





0 komentar:

Optimisme Melahirkan Pesimisme