semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Bangkok dan Udang

Dini hari tadi, Saya tiba di Bandara Soekarno Hatta. Saya tidak dapat mengungkapkan seperti apa suasana batin Saya, ketika kembali ke Indonesia, setelah seminggu berada di Bangkok, Thailand.
Barangkali ini yang disebut patahan kesadaran? Setelah tenggelam dalam lingkungan baru, masuk dalam hutan cakrawala, yang sebelumnya tak kita kenal, tak kita duga. Atau mungkin, suasana yang mewakili nilai - nilai baik dalam penataan kota maupun publik itu mengisi ruang kosong pengalaman saya, sebagai warga biasa di Makassar dan Indonesia.
Hal - hal yang saya kira sudah baik, yang dilakukan di Makassar maupun Jakarta, seperti pengelolaan perikanan budidaya, pengelolaan sampah, pengelolaan pejalan kaki, manajemen transportasi, maupun pengelolaan kerjasama antar sektor untuk memajukan budaya dan ekonomi, seakan - akan mengalami disrupsi, atau merosot untuk melompat ke depan.
Hal - hal yang sudah terinstalasi dalam kesadaran saya, yang sudah menjadi fosil, seakan-akan mencair kembali, untuk lagi-lagi merumuskan, seperti apa yang semestinya? dan bagaimana kita memulainya? Saya pun paham, bahwa pelampauan akan ruang geografis, keluasan ruang, mampu menembus ruang kesadaran. Saya teringat lagi petuah Alwy Rachman : geografic space to concious space. Pagar - pagar kesadaran kita dibongkar dan diperluas.


Ruang Sadar Akuakultur
Sejak di Bangkok, saya terpesona dengan budaya konsumsi seafood masyarakat Bangkok. Sajian seafood terpapar dengan sangat baik di pinggir - pinggir jalan, menyajikan sup udang dan cumi dalam menu Tom Yum Kung, udang bakar, cumi bakar, ikan bakar, dengan racikan cabe. Terdapat pula menu susi dengan daging ikan - udang - cumi mentah yang dicelupkan dalam kecap asin. Susi dan Tom Yum ini ada di mana - mana, di Hotel, di restoran, di lapak - lapak pinggir jalan, dengan rasa yang hampir sama. Masyarakat Thai maupun turis sangat menikmati sajian tersebut. Saya pun secara pribadi merasa sehat lantaran tiap hari menyantap sup udang dan susi ikan segar.
Hal ini membuka mata saya, bahwa budaya seafood di Thailand begitu kuat mengakar, sehingga mendorong produksi udang dan produk perikanan para pembudidaya maupun nelayan.


Berbeda dengan di Indonesia, budaya makan udang di kota - kota masih budaya elit, dengan ekonomi berkecukupan. Itu pun tidak banyak kelas menengah yang menikmati udang berkualitas baik. Sebab, udang premium masih untuk peruntukan ekspor, ke Jepang, Eropa dan Amerika Serikat. Masyarakat kita menikmati udang hanya pada hajatan - hajatan besar. Di level bawah, masyarakat kita masih memilih menu lain selain udang, lantaran tingginya harga udang dan daya beli masyarakat yang rendah. Sementara di level pembudidaya sendiri, memilih menikmati udang - udang sisa, sedangkan udang berkualitas hampir semuanya dijual. Budaya konsumsi kita pun meresponnya dengan menciptakan menu standar dengan bahan udang liar dan murah, seperti krupuk udang dan perkedel udang.
Apa yang kita peroleh dari pola ini? salah satunya yaitu masih sedikitnya pihak yang menikmati hasil dari budidaya udang, yaitu hanya berputar di kalangan pengumpul hingga pengusaha eksportir yang menikmati secara langsung penjualan udang, produsen udang skala besar dari segi luasan (ekstensif) yang dinikmati oleh para ponggawa-ponggawa tuan tanah, maupun produksi massal dengan teknologi tinggi yang dinikmati pemodal besar dan para teknokrat dan ilmuan. Sedangkan, masyarakat umum belum menikmati dari segi kelimpahan udang di pasar-pasar, dalam artian belum menjadi konsumen domestik yang aktif, kedua belum terbentuknya putaran ekonomi domestik berbasis udang.
Tentu, jika kultur menu udang menyatu dalam kehidupan masyarakat. Implikasi besar dari segi penguatan sumberdaya manusia, sebab akan menyediakan sumber-sumber protein yang bermanfaat bagi kesehatan, vitalitas daya hidup, maupun kecerdasan. Hal itu akan mendorong produktivitas kolektif masyarakat Indonesia.


Apa yang harus kita lakukan?
Pertama, tentu dengan mendorong kreativitas masyarakat kita dalam memproduksi udang. Penerapan teknologi sederhana atau tepat guna bagi para petambak tradisional. Sistem tradisional dengan pola polikultur dengan bandeng ataupun rumput laut masih mendominasi praktek di Indonesia. Berbeda dengan di Thailand yang praktek budidayanya sudah didominasi skala menengah dan intensif.
Kedua, perbaikan lingkungan pesisir untuk menjadi penyangga ekologi atau habitat udang yang dipelihara. Untuk mengantisipasi destruksi yang diakibatkan oleh produksi limbah dari produksi udang skala massal. Minimalisir limbah melalui sistem pengolahan limbah dan efisiensi penggunaan pakan.
Ketiga, yaitu meningkatkan daya beli masyarakat. Jadi, selain peningkatan produksi, tentu harus diiringi dengan daya beli masyarakat untuk memberi jaminan pula bagi peningkatan ekonomi produsen, dalam hal ini para petambak. Poin ini menjadi pemikiran para pengambil kebijakan serta para ahli, juga para kritikus, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi maupun pemerataan ekonomi (keadilan ekonomi). Sehingga, ketika daya beli masyarakat tinggi, dilihat dari tingkat pendapatan perkapita, akan mendorong konsumsi udang di level domestik. Sehingga, peruntukan ekspor akan terbagi dengan peruntukan domestik.
Keempat, mendorong budaya konsumsi seafood dengan berbahan udang maupun seafood produk akuakultur yang lain. Munculnya kreativitas dalam peracikan menu berbahan udang yang dikelola oleh pemain - pemain baru, tentu generasi yang lebih muda. Sehingga memicu kesegaran baru dalam menikmati seafood, khususnya udang. Mungkin, ke depan akan bermunculan jajanan seafood dengan harga terjangkau.
***
Pulang dari Bangkok saya memperoleh kesadaran baru, bahwa budidaya udang tidak boleh terlepas dari budaya konsumsi masyarakat. Jadi, tugas pun bertambah, selain mendorong praktek perikanan budidaya yang berkelanjutan, kita pun harus menyiapkan konsumen yang baik, serta menyiapkan pengolahan udang yang dapat dinikmati oleh massa masyarakat. Seperti masyarakat Thailand dalam menjadikan tom yum sebagai menu sehari - hari mereka.
Selain ruang sadar akuakultur, melebar pula ruang sadar yang lain. Tapi, untuk yang lain itu, akan disampaikan di lain kesempatan. hehehe

1 Juli 2018
Kalibata, Jakarta Selatan




0 komentar:

Bangkok dan Udang