semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Tanggapan terhadap Kematian Induk Udang Windu Asal Aceh Timur dalam Penerbangan ke Makassar

Pada Senin, 26 November 2018, Induk Udang yang berjumlah 200 ekor, terdiri atas 150 ekor induk betina dan 50 ekor induk jantan, mengalami kematian saat menjelang dan tiba di Bandara Hasanuddin, Makassar. Induk Udang ini dikirim oleh Pak Ismail, yang merupakan pengusaha Induk Udang asal Aceh Timur, yang selama ini berperan untuk menyediakan induk udang berkualitas baik bagi hatchery – hatchery atau perbenihan udang windu di Indonesia. Kawasan yang permintaan induk udang cukup tinggi adalah Sulawesi Selatan.

Induk udang yang merupakan permintaan Ibu Ida (PT. Surya Monodon – Galesong-Takalar) dan Nyoman (PT. Puncak Sinunggal), dan Pak Ujang (Bagindo Benur Utama) mengalami keterlambatan tiba di Makassar, sebab tertahan cukup lama di Bandara Soekarno – Hatta, Jakarta. Udang diangkut dari Aceh Timur pada tengah malam tanggal 25 November 2018, tiba subuh hari di Bandara Medan, lalu tiba di Jakarta pukul 09.00 -10.00 WIB , mestinya koneksi ke Makassar pada pukul 12.00 Wib, tapi ditunda ke pukul 14.00 Wib. Namun baru bisa dikirim pada esok harinya, pagi hari pada 26 November 2018. Induk udang tersebut, karena sudah banyak yang mati, akhirnya ditolak oleh pemesan, dan dikembalikan lagi ke Aceh.

                    Sumber : Istimewa

Dalam pengiriman Induk Udang, Pak Ismail menggunakan jasa kargo Z. Cargo asal Medan untuk penerbangan Medan – Jakarta, dan Cahaya Kargo untuk Jakarta – Makassar. Penerbangan menggunakan armada Garuda Indonesia. Kejadian ini mengecewakan pihak pengirim dan penerima Induk Udang di Makassar. Sebab, telah menyebabkan kerugian bagi pengirim yang ditaksir sebesar Rp. 40 juta rupiah.

Selain itu, memiliki dampak besar bagi para petambak udang windu Sulawesi Selatan, yang selama ini sangat bergantung dengan ketersediaan induk aceh. Rata – rata hatchery besar, seperti PT. Surya Monodon, Benur Bagindo Utama (BBU) Pinrang, Puncak Sinunggal, PT. Japan, serta beberapa hatchery lainnya, masih bergantung sama Induk Aceh. Karena kematian induk tersebut, otomatis menunda kegiatan pemeliharaan benur yang baik, sehingga para petambak langganan hatchery tersebut terpaksa menunda penebaran udang, padahal lahan budidaya sudah siap tebar. Dan bagi hatchery – hatchery tersebut, terpaksa mencari sumber-sumber induk dari tempat lain, dimana kualitas induknya di bawah dari kualitas induk aceh.

Kematian induk udang windu yang memilukan ini, merupakan tindakan pemborosan sumberdaya udang. Secara kasar 150 induk betina tersebut dapat menghasilkan jutaan benur, dimana pada setiap induk mengandung benur 1 juta persiklus, dimana jika benur ditetaskan sebanyak 2 kali yang berarti dua juta telur perekor, dimana telur yang menetas sebanyak 75% dari jumlah telur, yang berarti 1,5 juta telur yang menetas. Dari jumlah tersebut, benur yang dapat dihasilkan biasanya sebesar 35% dari total naupli, yaitu 525.000 ekor benur. Jika terdapat 150 ekor induk betina, yang biasanya produktif 80%-nya atau 120 produktif, berarti 120 x 525.000 atau 63.000.000 ekor benur yang dapat dimanfaatkan petambak. Dengan jumlah sebanyak itu, dapat mengisi 6.300 hektar lahan tambak tradisional, dengan padat tebar perhektar sebanyak 10.000 ekor. Jika benur tersebut berhasil tumbuh besar dalam usia 3 bulan, dengan berat 33 gram perekor, dengan daya hidup sebesar 30%, berarti dapat menghasilkan 629,37 ton.

**

Berdasarkan penelusuran kami di lapangan, ternyata kejadian kematian udang bukan hal baru bagi para pengusaha induk dan hatchery. Pada Oktober lalu, beberapa hatchery sudah mengalami kerugian akibat kematian induk. Diantaranya :

1.       Pak Wahid (UD. Daffa benur) : Pengiriman induk Aceh (Ismail) pada Oktober 2018, dari 16 ekor hanya 2 ekor yang hidup.
2.       Pak Saleh  (UD. Mahkota Windu) : Pengiriman induk Aceh (Ismail) pada Oktober 2018, dari 48 ekor, tersisa hanya 24 ekor. (Jantan mati semua)
3.       Pak Benny (PT. Japan) : Pengiriman induk Aceh (Ismail) Oktober 2018, dari 112 ekor, tersisa hanya 45 ekor.
4.       Pak Ujang (PT. BBU) : Pengiriman Induk Aceh (Ismail) Oktober 2018, dari 77 ekor, tersisa yang hidup hanya 25 ekor
5.       Pak Ujang (PT. BBU) : Pengiriman Induk Aceh (Ismail), Awal November 2018 dari 50 ekor, tersisa 25 ekor.
6.       Pengiriman 25 November 2018, Induk Aceh (Ismail), 60 ekor betina + 30 ekor Jantan, mati. Induk udang bersama Ibu Ida. 

Setelah dikonfirmasi oleh tim kami ke Pak Ujang dan Pak Wahid, kematian induk udang yang hingga 50% itu salah satunya disebabkan oleh keterlambatan tiba di lokasi hatchery, atau terkendala di lamanya waktu perjalanan. Waktu normal transportasi induk udang windu dengan metode packing yang sudah baik, yaitu 20 jam, sejak perjalanan dari Aceh timur 4- 6 jam, Medan – Jakarta 3 jam, dan Jakarta – Makassar 2 jam 30 menit, dan Makassar – Pinrang sekitar 4 jam. Total jam normal ditambah waktu menunggu di Bandara Jakarta sekitar 3 jam, yaitu 18 jam. Tapi, pada pengiriman pada Oktober tersebut, waktu tempuh hingga tiba di Pinrang, yaitu mencapai 25 jam. Hingga terjadi keterlambatan hingga 7 jam.

Sebelum itu, kematian induk udang juga pernah dialami oleh para pengusaha hatchery. Pada 2015, Pak Wahid pernah mengalami kematian induk udang dari 20 ekor, mati 9 ekor. Pak Taufik dari UD. Benur Utama, pernah memesan induk udang sebanyak 100 ekor, dan mati semua ketika tiba di Makassar.  

**

Kejadian seperti di atas tidak perlu terulang kembali, mengingat besarnya dampak yang ditumbulkannya. Untuk itu, kita perlu mendeteksi faktor – faktor apa yang menyebabkan kematian induk udang tersebut.

 Transportasi yang melebihi waktu normal : Hal ini dapat terjadi lantaran kurangnya koordinasi antara pihak – pihak yang terkait, yaitu pemilik udang, pihak kargo, dan pihak bandara. Sehingga, ketika terdapat pengiriman udang dalam jumlah besar, dapat segera diantisipasi oleh pihak armada penerbangandi Bandara Soekarno Hatta.     

Beberapa pihak, termasuk pihak korban mengeluhkan kurangnya intervensi pemerintah dalam menekan pihak armada penerbangan untuk memprioritaskan komoditas angkutan hidup, seperti induk udang dalam kargo pesawat, untuk diterbangkan lebih awal. Baiknya terdapat kebijaksanaan dari pihak penerbangan untuk mendahulukan paket hidup, seperti induk udang, mengingat dampak besar jika terjadi keterlambatan pengiriman.

Beberapa pihak menganjurkan agar pihak pengirim dan kargo melakukan antisipasi di bandara Jakarta jika saja terdapat hambatan-hambatan dalam penerbangan. Dengan cara menyiapkan tim di Jakarta untuk melakukan packing ulang sebelum diterbangkan ke Makassar.
2.   
      Lemahnya kondisi fisik induk udang windu : Ada pula yang berpendapat bahwa induk udang pada musim – musim tertentu mengalami kelemahan fisik, sehingga ketika mengalami perjalanan yang cukup panjang, dengan mudah kondisi fisiknya menurun yang ujungnya adalah kematian induk udang.

Hal ini dapat terjadi karena kondisi lingkungan di Aceh mengalami perubahan akibat masuknya musim hujan dan juga kemungkinan disebabkan adanya banjir dari darat. Salinitas air berubah dan berpengaruh pada adaptasi fisiologis induk udang. Selain itu, terdapat perubahan drastis pada pesisir Habitat induk udang, yang sebelumnya merupakan habitat mangrove berubah menjadi lahan kebun kelapa sawit.

Hal ini perlu penyelidikan serius dari pihak – pihak terkait untuk mendeteksi perubahan – perubahan kualitas induk udang dari perairan Aceh. Seperti perubahan dan penurunan kondisi genetik, terjangkitnya induk udang Aceh virus WSSV (White Spot Syndrom Virus), yang merupakan sumber pathogen paling mematikan, dan perubahan daya tahan tubuh induk udang.     

Pihak – pihak yang terkait, baik otoritas perikanan RI, Lembaga riset pemerintah RI, universitas, mahasiswa perikanan, Lembaga pemerhati lingkungan dan perikanan harus membenahi hal ini. Hal ini dapat dimulai dengan perbaikan lingkungan di daerah – daerah penangkapan induk udang di Indonesia, khususnya di Provinsi Nangroh Aceh Darussalam (NAD).  

Kawasan pesisir Aceh Timur perlu diperbaiki kualitas lingkungannya, dengan rehabilitasi mangrove. Melakukan pengelolaan stok induk udang windu secara berkelanjutan, dengan pembatasan penangkapan induk udang, agar tidak melewati batas eksploitasi induk udang windu.  

**

Tindakan Alternatif.
1.   
          Pengembangan induk – induk udang windu yang berdekatan dengan Kawasan budidaya udang windu. Pengembangan penelitian secara optimal terhadap Kawasan – Kawasan potensial induk udang, seperti dari daerah Selayar, Pangkep, Pinrang (Perairan Langnga), dan Polman. Serta daerah-daerah di luar Sulawesi Selatan, seperti Bombana (Sulawesi Tenggara), Luwuk Banggai (Sulawesi Tengah), Pangandaran (Jawa Barat), hingga perairan Papua.

Penyiapan sumberdaya manusia, pengetahuan-keahlian, dan infrastruktur pada Kawasan – Kawasan induk strategis, yang kualitas induknya dapat mendekati kualitas induk udang windu dari Aceh. Dengan beragamnya sumber induk udang, akan mengamankan kuantitas induk udang yang dapat digunakan oleh hatchery dan backyard udang windu yang ada di Sulawesi Selatan. Sehingga kebutuhan benur udang windu petambak - petambak Sulawesi Selatan dapat terpenuhi.
2.  
         Optimalisasi sarana pembenihan milik Pemerintah di Sulawesi Selatan, seperti UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) Perbenihan Sulawesi Selatan di Barru dan Perbenihan Udang Windu Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Takalar. Seperti UPTD Perbenihan Barru, harus didukung oleh perbaikan infrastruktur-sarana-prasarana perbenihan, adanya anggaran operasional yang cukup sebagai modal awal untuk memproduksi benur udang windu berkualitas. UPTD Perbenihan Barru dan BBAP Takalar dapat memanfaatkan induk – induk udang windu asal perairan Sulawesi Selatan dan terus menerus melakukan pengecekan kualitas pertumbuhan benur dalam pemeliharaan di tambak tradisional masyarakat Sulawesi Selatan.

UPTD Perbenihan Provinsi Sulsel telah memproduksi benur udang windu dengan menggunakan induk udang windu dari perairan Pangkep. Kualitas benur yang dihasilkan pun belum mendapat komplain dari para petambak. Hanya saja kendala yang dihadapi oleh UPTD Perbenihan adalah sumberdaya keuangan yang terbatas dan fasilitas perbenihan yang buruk, sehingga stok pakan induk berupa cacing laut dan cumi – cumi menjadi terbatas. Menurut Andi Mallo (staf UPTD Perbenihan Barru), kunci perbaikan induk udang adalah perbaikan pakan induk udang. Dengan optimalisasi pakan, dapat membantu perbaikan kualitas induk udang asal perairan Sulawesi Selatan.

Penutup
Induk udang Aceh, maupun induk udang dari perairan Sulawesi Selatan adalah asset negara ini. Peranan induk udang Aceh sangat besar untuk menjaga dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir di Sulawesi Selatan.

Tugas kita semua lah, pihak – pihak yang selama ini menikmati udang windu, untuk menjaga keberadaan induk udang windu di Aceh dan perairan lain di Indonesia. Tugas kita semua lah untuk bersama – sama memperbaiki manajemen pengelolaan induk udang windu, memperbaiki manajemen transportasi induk udang windu, memperbaiki manajemen manajemen penanangan induk udang windu, sejak penangkapan hingga penanganan di hatchery – hatchery udang windu. Semuanya tak lain, demi kesejahteraan petambak – petambak udang, kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Idham Malik, Pemerhati udang windu




0 komentar:

Tanggapan terhadap Kematian Induk Udang Windu Asal Aceh Timur dalam Penerbangan ke Makassar