semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Utopia

 Kita dimana saat ini? Mungkin di pinggir jalan, atau di lantai dua sebuah mall, atau kita lagi tiduran di sofa rumah, yang agak berbau apek karena lama tak dijemur. Kita berada di antara bangunan-bangunan, sebuah karya daulat manusia.

Bangunan-bangunan datang dari cetusan pikiran manusia mengenai sebuah tempat yang layak, penggambaran sebuah taman sorga dengan versinya masing-masing, yang terus menerus menginspirasi nenek oleh nenek oleh nenek kita. Ada pula dari sebuah kompromi, antara ide dengan kenyataan, bahwa tak semua dapat dijadikan seperti sorga, sebab, energi harus dibagi dan kue tak dapat dibagi rata. Dalam realitas peradaban, mesti ada stratifikasi, mesti ada yang beda, harus ada yang langka.

Kita ada pada dunia sentuhan manusia, yang telah dipermak, yang bahan bakunya dari alam. Kita begitu gembira jika alam itu diutak-atik, diberdayakan, dimanipulasi, sebagai bukti keperkasaan dan kemajuan. Kita terus mengejar kemajuan itu, seperti tak ada ujung. Negara dunia pertama, terus menerus menciptakan realitas baru, dunia tanpa batas, memanjangkan mimpi-mimpi terdalam manusia, akan hidup abadi, menjadi dewa. Sedangkan dunia dua dan dunia ketiga, terus mengejar ketertinggalan, dengan sedikit memar di pantat, kita mencambuk pantat kita untuk segera melompat.

Keinginan kita untuk melompat jauh ke depan, tidak pupus-pupus. Inspirasi Mao Zedong masih menggamit kita. Tanah-tanah kita, yang mestinya diperuntukkan untuk kesejahteraan orang banyak, bahkan untuk berbagi kehidupan dengan burung-burung, mamalia, hingga ular-ular sekalipun, kita jual dan kita serahkan kepada monster tak berwajah, tapi dalam bentuk angka-angka, simbol-simbol yang begitu sedikit orang yang mengerti. Modal-modal ini masuk, ataupun sengaja dikumpul, untuk atas nama para pemilik saham, kita pun menyerap otak-otak cemerlang, yang dengan cara-cara cerdasnya, namun instrumental, berhasil memetakan jalan untuk menggubah alam menjadi beragam komoditi. Komoditi ini pun digilir-gilir, hingga produk akhir, yang dinikmati orang-orang yang beragam level tabungan di bank.

Sayangnya, upaya untuk mengubah alam menjadi bahan mentah, bahan setengah jadi, hingga menjadi barang/komoditi jadi yang siap dipakai ini, dilakukan dengan bebas, sebebas-bebasnya. Kita telah sampai pada sebuah jaman, dimana rem sudah jarang dinjak. Bahkan dengan mengundang para pemodal dari luar, yang dalam logika modal, tak dapat lagi bergerak tumbuh di negara asalnya. Modal itu pun masuk, menggasak apa saja, hutan kita berkurang tanpa pengawasan, laut kita tercemar menjadi cokelat dan bau, para penduduk lokal kita, terpaksa hidup menderita, tanah-tanah mereka menjadi rusak, kualitas air mereka menurun, dan itik-itik tak perlu ditembak untuk mati.

Kita memang mendapatkan banyak, gedung-gedung tinggi, kantor-kantor megah, uang yang berputar dan terbagi, masing-masing dari kita menikmati modernitas yang berakar dari praktik ekonomi grasak grusuk ini. Tivi-tivi ada di rumah kita, kulkas, AC, motor, telephone, hingga kemudahan-kemudahan komunikasi, akibat jejaring internet yang semakin luas. Belum lagi fasilitas kesehatan, angka kematian yang menurun, ataupun kemiskinan di beberapa negara menurun. Tapi, sampai kapan? Sampai kapan ummat manusia menikmati beragam kemewahan ini? yang mana dasarnya adalah lumpur, ataupun kubangan, yang mana banyak orang yang mandi lumpur agar kita-kita dapat hidup bersih.

Kita sudah diperlihatkan oleh lumpur yang sebenarnya, seperti Lapindo Sidoarjo. Kita hanya menanti lumpur-lumpur lain untuk menenggelamkan kita. Lumpur Morowali, lumpur Kalimantan, lumpur Sulawesi Tenggara menanti, dan sebentar lagi menghisap kita. Mungkin tidak semua yang tenggelam, tidak semua yang terhisap. Kehidupan ini telah digambarkan dengan sangat baik oleh karena corona saat ini. Corona menerabas kelas-kelas pekerja, yang terpaksa hidup di jalan, berhadapan dengan monster, sedangkan tuan-puan hidup nyaman di rumah masing-masing.

Melihat kenyataan ini, ada orang yang berfikir bahwa biarlah proses ini berlangsung, hingga menemukan titik jenuhnya sendiri. Ekonomi harus terus tumbuh, agar orang-orang dapat makan, termasuk mereka yang rakus. Mereka beranggapan bahwa setiap zaman punya jalan keluarnya sendiri-sendiri. Atau bahasa Makassar-nya, 'eja tompi na doang', yang berarti belakangan baru dipikir. Tapi, apakah betul tak ada alternatif lain? Yah, barangkali ada desas-desus pembangunan berkelanjutan, tapi seberapa efektif? Orang-orang terus menerus merusak, walaupun telah mengantongi embel-embel ramah lingkungan.

Apakah ada new normal pada gaya hidup kita? Bahwa gaya hidup kita tidak serta merta bergantung pada kepemilikan harta atau strata kelas kita? Dapatkah kita mengurangi laju konsumsi kita? Ataukah apakah ada new normal terhadap sistem ekonomi politik kita? Dimana sistem yang dibangun adalah sistem pengelolaan secara bersama. Sistem ini mencegah munculnya orang-orang rakus, atau memaksa orang-orang untuk berbagi, dengan skema kebudayaan, adat, tradisi.

Dapatkah kita memahami maksud dari agama-agama? Bahwa hidup kita harus selaras dengan alam, bahwa agama-agama ini pun lahir akibat respon manusia terhadap alam. Dapatkah kita sedikit berimajinasi bahwa kehidupan dapat berlangsung dengan sedikit perusakan pada alam? Apakah kita mau mengambil resiko, dengan memangkas begitu banyak kenikmatan dan kenyamanan hidup modern kita. Dengan asumsi, kita dapat menyelamatkan masa depan.

Masa depan seperti apa yang kita bayangkan? Apakah masa depan manusia Indonesia dengan gaji rata-rata 27 juta/bulan/perkapita dengan hutan yang sudah luluh lantak atau berubah fungsi? Ataukah hidup manusia Indonesia yang sederhana, berkecukupan, bahagia, udara segar, dan anak cucu kita masih dapat bermain di lumpur sawah, berenang di sungai yang airnya jernih, memakan buah-buahan alami tanpa pestisida, menangkap ikan di laut, dengan susah payah, tapi melimpah, punya banyak waktu luang untuk saling mengisi makna, dan tentu, ada waktu untuk membuat puisi atau pun essai mengenai indahnya tumbuhan, dan serunya hidup di alam liar.

Saya membayangkan, kehidupan masa depan seperti itu, begitu halnya kehidupan anak saya, Ahimsa, ataupun mungkin cucu saya, jika ada, dapat menikmatinya. Walaupun yang barangkali terjadi justru sebaliknya, yaitu distopia, kerusakan alam yang menghancurkan peradaban manusia, seperti yang telah dijelaskan panjang lebar oleh Jared Diamond melalui buku Colaps.

Seperti apakah masa depan negara/bangsa kita? Utopia atau distopia? terserah anda.









1 komentar - Skip ke Kotak Komentar

Yaudah mengatakan...

AJOQQ menyediakan permainan poker,domino, bandarq, bandarpoker, aduq, sakong, bandar66, perang bacarat dan capsa :)
ayo segera bergabung bersama kami dan menangkan uang setiap harinya :)
AJOQQ juga menyediakan bonus rollingan sebanyak 0.3% dan bonus referal sebanyak 20% :)
WA;+855969190856

Utopia