semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Gerundelan Angga Meluber Sampai Jauh

 Melewati tengah hari, pada kamis lalu, ada kabar dari jauh, tak tanggung-tanggung, dari Kanazawa. Ada apa? Seorang teman yang saat ini sedang menempuh pendidikan di Kanazawa, Jepang, Fachruddin Hari Anggara Putera, putra Sulawesi Tengah, saya kira sudah santai-santai di Kanazawa Castle, bersepeda dengan istri, atau berjalan-jalan dengan gerobak yang berisi tiga anaknya.


Api belum padam, mulanya hanya angin kecil yang meniupnya, saat ini sudah puting beliung. Ia mengingatkan saya pada berita yang saya bantu posting di media : https://matakita.co/.../aroma-indikasi-kriminal-akademik.../ , katanya sudah banyak perkembangan.

Ternyata, kabar pada 11 Agustus 2021 itu, baru gundukan di pantai, sekarang sudah sampai di lembah, tidak menutup kemungkinan akan tiba di puncak gunung Gawalise.

Saat itu, Angga mengeluh dengan praktik manipulatif nilai SKB (Seleksi Kompetensi Bidang) yang memilki proporsi 60% untuk dapat lulus jadi dosen/pegawai negeri di Universitas Tadulako, pada tes CPNS tahun 2018. Menurutnya tidak logis baginya yang pernah memperoleh juara dua lomba mengajar tingkat universitas hanya memperoleh nilai 50, juga tentang nilai substansi yang hanya memperoleh angka 20, sementara ia adalah seorang penerima beasiswa unggulan DIKTI dan LPDP untuk jenjang masternya di Institut Pertanian Bogor (IPB), telah dua kali memenangkan hibah penelitian dosen pemula oleh DIKTI, serta penelitian MP3EI. Pun ia sudah mengabdi menjadi dosen non PNS di Tadulako sejak 2013, dengan gaji hanya Rp. 1,6 juta. Ia mencoba membandingkan nilainya dengan nilai dosen yang 'diluluskan', yang mendekati angka sempurna, pada tes wawancara, tes subtansi dan tes praktik mengajar. Menurutnya tidak masuk akal..

Angga memulai perjuangan menegakkan keadilan dengan menghubungi tim penilai, semua menyebut lupa terhadap nilai yang telah diberikan. Akhirnya, Angga menanyakan ke Rektor Untad, rektor mengatakan sudah dikirim ke pusat, nyatanya setelah Angga konfirmasi ke pusat, data itu masih di Tadulako.

Hingga akhirnya Angga memberanikan diri untuk melapor hingga ke tingkat Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi). Melapor ke level atas ini susah-susah gampang, ia harus menyertakan bukti. Beruntung, kebenaran berhasil mengetuk hati pimpinan Itjen Kemendikbudristek. Sehingga, pihak kementerian mendatangi kampus Tadulako untuk investigasi langsung, Angga salah satu yang diwawancarai, termasuk tim penilai, panitia, peserta tes CPNS, hingga rektor saat itu, yang saat ini sudah mantan rektor.

Hasilnya, perjuangan Angga membuahkan hasil, mantan rektor telah melewati tahap BAP (Berita Acara Pemeriksaan) pada 15 Desember 2022, kabar terdengar, gelar professornya akan dicabut. Sedangkan kepala kepegawaian saat itu tak menjabat lagi. Hanya saja, bukti manipulasi nilai bagi 38 peserta seleksi calon dosen Untad pada 2018 masih tertahan di kementerian, pihak kementerian belum mau buka-bukaan mengenai data peserta.

Semoga kementerian tidak berhenti di sini, dan terus mengusut kasus ini, tidak menjadi preseden buruk, dan praktik penerimaan dosen berikutnya kembali menjadi praktik penerimaan dosen yang profesional. Dan, jika memungkinkan, calon-calon dosen, yang nilainya anjlok itu, bisa dikembalikan marwahnya, diuji ulang, dan jika betul-betul nilainya baik, sebaiknya diterima jadi dosen dan menjadi abdi negara. Saya yakin, orang-orang seperti inilah yang akan mengabdi secara tulus, mengajar dengan baik, dan menghasilkan mahasiswa-mahasiswa cemerlang, kelak.

Sangat disayangkan, universitas negeri yang semestinya menjalankan seleksi secara profesional, menjalankan praktik kecurangan dan tentu tidak hanya merugikan Angga bersama para calon dosen yang memiliki kualifikasi yang baik, tapi juga kerugian bagi masyarakat ilmiah itu sendiri. universitas tidak memilih orang-orang terbaik untuk menjadi dosen. Kerugian bagi mahasiswa, karena tidak dilatih/diajar oleh calon-calon dosen dengan kualitas paling baik di sana.

Praktik-praktik seperti ini membuat kita mundur beberapa langkah, sementara negara-negara lain, telah mempraktikkan betul-betul apa itu meritokrasi, memilih orang-orang terbaik untuk jabatan publik. Apalagi negara kita adalah republik, yang berarti Res Publika. Hal-hal yang berbau publik, harus transparan, adil, objektif, dan mengusung nilai-nilai profesionalitas dan kebenaran.

Untuk Angga, terimakasih telah berkabar, jangan berhenti, seperti katamu, meski kamu di Jepang, kebenaran harus dikobarkan.. Tuhan selalu bersama orang-orang Benar.








0 komentar:

Gerundelan Angga Meluber Sampai Jauh