semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Perbincangan Kecil dalam Pesawat Menuju Kupang

Senin, 6 Februari 2023, bersama Haries Sukandar dan Vika, kami melenting ke bawah, bagian barat Pulau Timor. Tegang juga rasanya berada dalam sebuah perjalanan udara, meski hanya sekitar 45 menit.




Saat itu, saya duduk bersebelahan dengan seorang tua yang hendak menjenguk anak-anaknya yang berada di Kota Kupang, anak-anaknya sudah cukup sukses, dengan berprofesi sebagai dosen dan juga polisi. Bapak tua itu, kujadikan target pengalihan pikiran, saya ajaklah ngobrol, mumpung dia juga terlihat kurang kerasan.

Satu komentarnya yang kusimpan hingga saat ini, yaitu mengenai gaya hidup orang Alor, katanya, orang Alor masih kesulitan dalam manajemen keuangan. Ku tanya, kenapa begitu? Ya.. itu lebih disebabkan oleh gengsi orang Alor yang tinggi. Kebutuhan akan pengakuan sosial, mendorong orang-orang Alor, yang mulai mendapatkan uang, atau baru saja mendapat uang lebih untuk segera menyelenggarakan pesta. Pesta-pesta ini, baik pesta keluarga ataukah berupa sumbangan ke pesta adat, yang sedikit banyak menggerus keuangan, hingga barangkali kembali menjadi tandas. Saya agak khawatir, mengingat, arena pekerjaan saya adalah pembudidaya rumput laut dan nelayan, yang bisa saja terjebak dalam syndrom ini.

Saya merenung-renung hal itu, sepertinya memang, pada suatu komunitas adat, sama halnya dengan adat Toraja di Sulawesi, atau adat pernikahan Bugis, menuntut biaya demi suatu kebanggaan sosial. Manusia yang satu masih begitu terikat dengan manusia yang lain, harkat dan derajat ditentukan oleh proses distribusi sosial, siapa yang memberi paling banyak, memberi makan paling sering, menyumbang sapi, ayam ataupun babi untuk pesta-pesta sosial. Lantas, apakah ini sebuah tantangan atau justru peluang?

Saya mengingat ceramah di suatu waktu lampau, di salah satu gedung ilmiah di Universitas Hasanuddin, seorang Professor Antropololgi beretnis Toraja memberi semacam kuliah, "Kenapa orang Toraja cenderung membuat pesta-pesta besar?" Katanya waktu itu, karena alam Toraja yang tidak sesubur Jawa ataupun daerah lain di selatan Sulawesi. Sehingga, perlu suatu kecerdasan sosial, untuk terjadinya sebuah siklus distribusi daging, agar penduduk secara rutin mendapat pasokan protein tinggi. Kondisi geografis yang kurang subur, menuntut kecerdasan budaya, agar kehidupan kolektif masyarakat dapat terjamin. Hal ini tentu, menuntut kerja keras anggota etnisnya, untuk merantau ke pelosok-pelosok negeri, mencari uang, lalu, pada suatu ketika, uang itu ludes untuk sebuah proses adat, seperti pesta kematian nenek yang sudah lama meninggal.

Mungkin masyarakat Alor juga seperti itu, ketika kita melihat sumberdaya alam berupa dasar karang, ditumbuhi pepohonan, namun, tak banyak tempat yang dapat ditanami beras, lahan-lahan yang luas di lereng-lereng gunung, halaman-halaman rumah, itu umumnya ditanami jagung dan ubi. Kebudayaan barangkali merebak di aktivitas menanam jagung dan ubi ini?

Di samping budaya menangkap ikan di lokasi-lokasi yang tak jauh, yang hanya mengandalkan sampan-sampan kecil. Pada beberapa tempat, belum banyak nelayan yang memiliki perahu motor. Bahkan, di Kokar/Kelurahan Adang, banyak anak buah kapal/perahu, yang melaut tanpa keterampilan berenang. Mereka adalah orang gunung yang ikut serta mereka dalam menangkap ikan, lebih pada tuntutan ekonomi.

Keharusan untuk hidup, menuntut manusia yang tercebur di dalamnya harus memunculkan kecerdasan-kecerdasan ekologis. Keperluan untuk menikmati dan dinikmati oleh alam, melahirkan konsep-konsep mengenai hantu laut, hantu gunung, manusia-manusia peri, yang hal ini dipercayai, dan diperkuat dengan adanya suatu garis keluarga yang mampu berkomunikasi dengan mahluk gaib. Sehingga, kegiatan-kegiatan adat, pesta-pesta, juga untuk menjaga hubungan harmonis dengan penguasa alam, sembari terdapatnya distribusi daging, karbo, dan gula di dalamnya.

Faktor ekologi ini, yang kemudian dikonseptualisasi oleh para ahli sebagai materialisme kebudayaan, ketergantungan terhadap ekologi yang mendorong adanya gaya hidup-gaya hidup tertentu, sehingga, lantaran dalamnya, orang-orang yang hidup pada arena itu kadang-kadang semakin sulit menjelaskan kenapa? dan lebih pada penjelasan tentang nilai-nilai yang terkandung, atau terbuai oleh penjelasan mengenai mitos-mitos. Sehingga, kurang bijak barangkali, jika menyebut mereka sebagai tahayul, mahluk kuno, ketinggalan zaman, sebab, justru dengan mitos-mitos itulah mereka masih ada dan bertahan hingga sekarang.

Karena itu, sementara ini, sebaiknya kita pun harus memikirkan konsekuensi-konsekuensi yang timbul oleh kegiatan-kegiatan pendampingan masyarakat, apakah memperkuat dimensi sosial dan kultural mereka ataukah justru menggerusnya? Apakah perlu kita menjadi jembatan bagi kehidupan mereka, ke arah kehidupan modern? Sebuah pertanyaan sulit, apakah kehidupan modern, dalam hubungan ini manajemen modern, dapat mempertahankan kehidupan bersama/kolektif mereka sebagai sebuah entitas kultural? Apakah pemaksaan terhadap peraturan-peraturan/hukum-hukum tata kelola perairan ataupun masyarakat yang bergantung hidup pada alam itu, tidak bakalan menjadikan mereka menjadi komunitas yang tunggang langgang, berlari mengejar sembari terbirit-birit?

**

Pesawat landas di Kota Kupang, kami naik taksi bandara, menuju Rumah makan Persada, padang. Nah, ternyata, kegiatan pertama yang kami lakukan adalah memanjakan mulut, yang sejauh ini di Alor cukup dengan nasi Padang, Sakato.




0 komentar:

Perbincangan Kecil dalam Pesawat Menuju Kupang