semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Rahmat Ariandi, Semangat Baru Tumbuhnya Gerakan Lingkungan

Baru kali ini lagi saya menemukan anak muda yang punya antusias besar untuk mencatat dan memikirkan hal-hal beraroma lingkungan dan juga politik. Membaca tulisan-tulisan Rahmat Ariadi dalam Ecology Movement, seperti membangkitkan gagasan-gagasan yang berseliweran, dan ini seperti judul bukunya P. Swantoro, “Dari Buku ke Buku”. Dari Anti Demagog-nya Asra Tillah Senge hingga Tom Nichols tentang Matinya Kepakaran, dari deep ecology-nya Arne Naes hingga Ali Syariati. Dari soal penguasaan lahan yang timpang hingga peringatan hari pohon sedunia.





Ariandi tampak setuju dalam tulisan anti demagog, tentang elit politik bius, memanfaatkan bahan baku fundamental, bersifat lentur, menyesuaikan dengan kemauan pendengar, tapi tujuannya untuk kepentingan sendiri. Meski begitu, demagog yang punya konotasi negatif itu, agak tipis pengertiannya dengan provokator dalam artian positif atau bisa juga disebut motivator, dalam artian ahli pidato yang menggugah, apalagi bicara lingkungan, kita butuh sentakan-sentakan a la Greta Thunberg. Soal-soal lingkungan saat ini, tak dapat lagi kita bersembunyi di balik demokrasi yang sopan santun, yang dibelakangnya terjadi konversi lahan dan penghancuran habitat kritis. Kita perlu suara-suara kuat, keteguhan, kita sepertinya butuh demagog-demagog lingkungan dalam arti positif.

Di sisi lain, nama-nama yang disebut antara lain Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sahrir, Agus Salim dkk, juga pada dasarnya menyimpan sisi-sisi tersembunyi dari sebuah provokator, Bung Karno betul-betul memanfaatkan sentimen kerakyatan dan pribumi, yang dia konkritkan dalam marhaenisme untuk menimbulkan semangat anti penjajah dengan kontradiksinya berupa kemandirian ekonomi, walaupun secara pribadi, Soekarno tidak membenci orang-orang Belanda. Begitu halnya Hatta dan Sjahrir, memiliki pemuja-pemujanya sendiri, yang mendorong semangat Pendidikan nasional, kaderisasi, dunia tulis menulis dan intelektualitas, juga tidak membenci orang-orang Belanda secara personal. Mereka pun saling bersaing untuk merebut pengaruh rakyatnya.

Saya melihat, Rahmat Ariandi agak sedikit prustasi dengan kualitas atau produk politik saat ini, yang didesain dan dihasilkan oleh oligarki. Ariadi tampaknya menawarkan suatu model politik yang bersifat terpimpin, yang dipandu oleh nilai-nilai. Ini barangkali yang disebut dengan moralitas, seperti Agus Salim, menampilkan model moralitas Sarekat Islam, ia lama bersama Cokroaminoto dalam membangun organisasi Sarekat Islam, atau contohlah Bung Hatta yang menawarkan moralitas Islam plus kemodernan, atau Sjahrir yang condong pada moralitas barat dengan sosialisme demokratnya, tidak dapat pula kita lupa contoh Tan Malaka maupun Aidit yang memperlihatkan moralitas komunis.

Mereka-mereka ini hidup pas-pasan, mereka tidak mau membebani negara untuk membiayai kehidupan mereka. Agus Salim sepanjang karirnya hidup dalam rumah kontrakan yang sempit, Bung Hatta lebih mencintai buku-bukunya dibandingkan prabotan-prabotan atau pakaian mahal, sedangkan Tan Malaka, dalam pelariannya hanya mempunyai empat potong baju, sebuah topi bundar, dan sebuah jam tangan.

Dari sini, kita dapat menarik satu poin yang ditawarkan oleh Ariandi, bahwa politik berhubungan dengan kerusakan lingkungan. Ketika politik yang muncul adalah politik yang rakus, serba cepat dan terburu-buru, lebih pada orientasi ekonomi, mendorong orang untuk bersemangat untuk belanja dan tentu mengumpulkan uang, di situlah lingkungan akan seret pelan-pelan.

Para aktor politik kita adalah orang yang berduit, tanahnya lebih dari seratus hektar, asetnya bertebaran di mana-mana, mereka pun turut bermain dalam percaturan perdagangan dunia, melalui usaha pertambangan, perkebunan sawit, ataupun usaha-usaha lainnya.

Mereka membuka keran untuk masuknya investor asing, mempermudah regulasi, dengan tujuan pada pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan tentu juga untuk kepentingan pribadi dan kroni-kroninya. Melalui jalur-jalur inilah lingkungan, baik itu hutan, laut, gunung, memperoleh legitimasi untuk dialihfungsikan, atau diproduktifkan. Kemudian, orang-orang lokal dan rakyat Indonesia pun dininabobokkan melalui serapan tenaga kerja, mereka senang memperoleh kesempatan kerja dan gaji tinggi. Tapi, sampai kapan? Anggaplah misalnya di Kalimantan ini ketersediaan batubara hanya sampai 2030, lantas setelah itu, para pekerja tambang di Kalimantan akan beralih ke mana? Apakah sudah ada scenario pascatambang? Sementara para pekerja sudah terbiasa dimanja dan kehilangan daya juang untuk bersusah-susah mencari alternatif selain tambang.

Untuk itu, saya setuju dengan kalimat Arne Naess, “yang kita butuhkan adalah hidup dengan nilai-nilai, bukan dengan standar hidup”. Nilai-nilai apa yang dimaksud? Lebih kepada kebudayaan yang erat hubungannya dengan lingkungan, sebab menurut Marvin Harris, setiap kebudayaan adalah sebuah manifestasi dari kondisi lingkungan atau yang disebut sebagai materialisme kultural.

Apalagi di tanah air kita ini, sangat kaya dengan kultur budaya setempat yang menghormati/menghargai eksistensi lingkungan/ekosistem. Sebut saja penangkapan ikan model sasi di Maluku, atau model hutan adat di banyak kampung di nusantara. Saya pun berfikir, model kehidupan tradisional itu, jauh lebih berkelanjutan, dan pembangunan berkelanjutan atau yang disebut Sustainable Development Goals (SDGs) pada dasarnya hanya meniru-niru saja. Nenek-nenek kita sudah lama mempraktikkan hal itu, mencari makan itu nomor kesekian, dibandingkan menjaga hubungan sosial dan kualitas lingkungan.

Nah, dalam buku ini, Ariadi menunjukkan pentingnya kehadiran politik hijau atau partai hijau di Indonesia. Mengingat di negara-negara lain, yang per Januari 2015 sudah ada hampir 100 partai politik yang mewakili 90 negara tergabung dalam struktur Global Green. Hal ini merujuk pada catatan M. Nawir dalam pengantar Gerundelan Peristiwa 2, Politik hijau yang dalam bahasa M. Nawir menjadi politik Eco-socialist, menurut Simonis (2020), Ecological Turn-around: Trend and Perspektives. Dalam pengalaman jerman terdapat upaya membangun ‘kontrak sosial’ dengan masyarakat sipil yang didorong oleh Dewan Penasehat Jerman tentang perubhaan global, transformasi kebijakan ke teknologi ramah lingkungan. Berdasarkan resolusi 2011, pemerintah dan parlemen Jerman menghapuskan tenaga nuklir pada tahun 2022; resolusi 2019 akan menghapuskan penggunaan batubara pada 2038.

Apakah Indonesia bisa Menyusun dan menyepakati resolusi yang sejenis? Misalnya tidak menggunakan batubara pada 2030? Alihfungsi kepada teknologi ramah lingkungan pada 2035? Tentu, ini akan sulit jika tidak ada perwakilan kita dalam parlemen atau tidak adanya suatu badan politik yang memiliki daya tawar untuk mendorong kebijakan pro lingkungan.

Indonesia saat ini hanya memanfaatkan kondisi alamnya yang sebagian masih rimbun justru untuk perdagangan karbon. Negara kita saat ini besar konsentrasinya justru pada restorasi pesisir, dalam hal ini ekosistem mangrove. Target pemerintah yaitu rehabilitasi mangrove seluas 1,82 juta hektar hingga 2045 atau target BRGM (Badan Restorasi Gambut dan Mangrove) 637.000 hektar di 9 provinsi pada 2021-2024. Apa yang terjadi? Begitu banyak kasus di Kawasan-kawasan rehabilitasi mangrove yang pelaksanaannya tidak efektif dan justru berujung pada kegagalan tumbuh mangrove itu sendiri. Ini masih di sektor pemerintah, belum lagi penyerapan anggaran donor lingkungan untuk carbon-mangrove bagi Lembaga sipil atau Non Government Organitation (NGO), tidak sedikit juga kegagalan restorasi ataupun rehabilitasi mangrove pada sector ini, lantaran program tidak terkelola dengan baik.

Apakah Indonesia membutuhkan partai lingkungan? Saya kira memang butuh, tapi saya lebih setuju jika penekanannya bukan hanya pada partai atau institusinya saja, tapi lebih pada manusianya. Sebaiknya yang penting didorong adalah memunculkan kesadaran generasi-generasi muda tentang menjaga kualitas lingkungan melalui jalur pendidikan formal maupun informal. Gerakan mendorong kecintaan terhadap lingkungan pada generasi muda melalui aksi tanam pohon, aksi bersih dari sampah, juga kunjungan-kunjungan ke dalam hutan, gunung, sungai, dan laut demi mengkoneksikan diri kita pada alam. Tumbuhnya jiwa-jiwa muda yang mencintai alam dan memilih hidup secara organik, tidak terlalu dipengaruhi oleh gaya hidup glamor dan boros, akan menjadi sumber-sumber daya manusia yang baik untuk pertumbuhan partai hijau di Indonesia. Kalau pun mereka tidak memilih atau tidak terkoneksi dengan partai hijau, mereka akan senantiasa kritis terhadap perusakan lingkungan pada lingkungan sekitarnya atau berinisiatif melakukan perbaikan kondisi alam pada lingkungan kerjanya.

Saya kira, apa yang telah ditunjukkan oleh Rahmat Ariadi, dengan menulis catatan-catatan ini, menjadi langkah strategis untuk merangsang anak-anak muda untuk memutar bandul, tidak hanya menghadapkan badan kepada ekonomi dan hasrat akan tubuh dan barang-barang, tapi juga membiarkan dirinya tenggelam dalam semesta alam, hingga ia tak segan-segan melakukan pengorbanan diri demi perbaikan alam.

Selamat berjuang, di jalan penuh batu eco-literacy, keluasan wawasan akan mengantarkan kita pada prilaku benar, tidak terpesona oleh gemerlap dunia, jalan sunyi dan sulit telah Anda pilih.

Sebuah prolog untuk buku indah terbitan Penerbit Subaltern




0 komentar:

Rahmat Ariandi, Semangat Baru Tumbuhnya Gerakan Lingkungan