semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Berkat Perjalanan Kalabahi-Maritaing

Perjalanan Kalabahi-Marataing, Senin, 24 Maret 2023, seperti sebuah berkat. Dengan bekal motor dan nasi bungkus pada pagi jam 9.30 itu, kami berempat menembus jalur pantai utara dengan tebing-tebing di sisi kanannya, dengan deburan ombak yang menghantam breakwater di sisi kiri. Kampung-kampung dengan berbagai suasana, pasar rakyat yang ramai di Mebung, ikan karang dan cakalang yang digantung di lapak-lapak pinggir jalan Benlelang, pohon-pohon asam, rumah-rumah bujur sangkar beratap seng dengan dinding tak diamplas, gereja-gereja menjulang, keramaian-keramaian di dalam tenda halaman rumah.


Kami melewati jalur masuk ke kampung Adat Takpala di Lembur Barat. Di sana saya mengenang rumah-rumah adat Fala Foka bertingkat empat, dengan beratap alang-alang berbentuk piramida. Kami melewati pula jalur masuk ke Atengmelang, situs penelitian kanonik Cora Alice Du Bois, tentang faktor-faktor yang mempengaruhi psikologi individu dalam suatu masyarakat pada 1938, dengan karya monumentalnya People of Alor. Terbetik dalam hati, kali lain saya harus belok ke jalur itu, kemudian menapak tilas perjalanan Cora yang diberi nama lokal “Merica” yang artinya “milikmu. Lalu menikmati kopi Atengmelang, sembari melihat anjing-anjing malas-malasan di tanah liat berkabut.

Pada 10.00 wita, kami singgah dulu di Likwatang, pada sebuah Kapel St. Joseph, karena diguyur hujan. Di situ kami menyempatkan makan nasi bungkus yang kami bawa. Saya, Abbas, dan Rizki-Kisot tak menghabiskan makanan itu, sementara Daniel sudah melahap habis. Sisa makanan pun kami habiskan kelak sewaktu kami nongkrong di bawah patung Sudirman. Hujan berhenti, kami melanjutkan perjalanan, tapi singgah satu kali lagi di Sibone Kecil. Duduk-duduk pada sebatang kayu, dan melihat sekilas pantai dengan batu-batu kecil bundar membungkusnya. Di situ kami membagi satu batang Silverqueen.




Setelah melewati jembatan panjang di Tulleng Kec. Lembur, saya menyaksikan hamparan sawah yang sedang menguning dengan kesederhanaan pondok-pondoknya, pemandangan ini begitu berkesan, selama enam bulan belum pernah melihat hamparan sawah, sejauh ini cuma pantai, laut, bukit, alang-alang, pepohonan kayu putih dan kebun jagung. Namun, sayang saya tak memotretnya. Itu hanya terpotret dalam benak, dan mengingatkan kembali suasana depan rumah di Kompleks ABC Maccopa Maros, yang tiap pagi dapat melihat matahari terbit di balik pegunungan, dengan Bulusaraung sebagai puncaknya.

Saya baca berita, ternyata sawah-sawah ini masih dikelola secara tradisional, yaitu dengan sistem organik. Pada artikel itu seperti mencemooh petani begitu bergantung pada pupuk organik, dan mencoba mendorongkan produktivitas dengan penggunaan pupuk bokhasi, yang telah terdapat probiotik yang mesti dibeli di toko tani. Justru, di tempat lain, misalnya di Sulawesi Selatan, para pemerhati berupaya keras mengadvokasi metode organik. Ini menjadi nilai tambah, hanya saja perlu dibranding dan dicarikan pasar yang tepat. Pemandangan ini juga membuka mata pikiran saya yang selama ini beranggapan kalau kebutuhan beras Kab. Alor sepenuhnya disuplai dari Sulawesi Selatan.

Selepas ini, kami turun ke pedalaman dan menemukan sebuah kampung yang cukup padat dengan bangunan gereja yang megah, yaitu Kampung Bukapiting Desa Nailang, Kecamatan Alor Timur Laut. Di sana ada Gereja Katolik St. Yakobus Rasul dan Gereja Elohim yang Protestan. Sepertinya, setiap kampung yang saya lalui memiliki lebih dari satu gereja, mulai dari Mebung dengan Gereja Masehi Injil di Timor (GMIT) yang terkenal, GKII (Gereja Kemah Injil Indonesia) Kanaan Kalangfati di Lembur Barat, GKII Paulus Likwatang dan Gereja Paulus Baumi. Belum lagi setelah menemukan kampung-kampung di perbukitan ke Alor timur, seperti Padang Panjang, Sidomang, Lantoka, dan Maritaing juga memiliki gereja-gereja yang menjulang.

Setelah membaca satu artikel tugas akhir mahasiswa UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana), tentang Taramiti Tominuku Tamengmeti Akengnuku, Studi tentang Eklesiologis Konstruktif di Jemaat GMIT Mebung, mata saya terbuka, kalau para pembawa kasih ini membangun basis-basis gereja mengikuti persebaran etnis Abui, salah satu etnis besar di Alor yang berada di enam kecamatan, yaitu Teluk Mutiara, Alor Tengah Utara, Alor Selatan, Alor Barat Daya, Alor Timur Laut, Alor Timur. Ini menjadi jawaban dari satu pertanyaan besar saya, kenapa jarang saya menemui masjid dalam perjalanan ke Maritaing? Saya hanya melihat satu masjid di Benlelang, selebihnya, gereja, Kapel dan gereja lagi. Cukup berbeda dengan jalur Kalabahi-Alor Kecil-Alor Besar-Adang, yg cukup banyak muslim di bagian pesisir.

Gereja-gereja mengadopsi filosofi Taramiti Tominuku….. suku Abui, yang bermaksud walaupun berbeda-beda tempat duduk/adat istiadat, tetap memiliki rasa kebersamaan atau tetap dalam satu hati. Filosofi ini bagi orang Abui yang makna harfiahnya orang dari gunung ini tidak sekadar perkataan, tapi dijabarkan dalam tindakan sehari-hari. Orang Abui yang tersebar dengan beragam bahasa dan dialek, tidak kurang 56 bahasa dari 13 rumpun etnis, berupaya untuk saling menjaga kebersamaan. Simbol hidup bersama ini yaitu mezbah, sebuah tugu batu bundar/kotak yang makna aslinya sebagai tempat persembahan/dan doa kepada Tuhan, berfungsi sosial untuk menyatukan orang dari berbagai lapisan masyarakat.

Saya tiba-tiba mengingat mezbah di Kampung Adat Takpala, tempat orang-orang adat di sana memutarinya, menarikan lego-lego. Lego-lego pun memiliki maksud untuk berkumpul-melingkar bersama melantunkan syair yang kandungannya mengajak untuk hidup bersama serta bersama-sama membangun visi sebuah kampung. Dalam lego-lego ini, yang syairnya membuat hati terhanyut itu, adalah cara orang Abui dan juga orang Alor suku lainnya, seperti yang saya saksikan juga di Baranusa yang merupakan kampung Muslim, untuk menjalin hubungan sesama manusia, hubungan dengan alam semesta, dengan Tuhan, tentu dengan diri sendiri.

Apalagi, pada kampung-kampung di bukit itu, seperti di Sidomang, kami melihat pertemuan adat di sebuah Lopo. Jalanan diberi timbunan kecil, agar kendaraan melambat dan hati-hati. Terlihat orang-orang gunung melakukan pertemuan hikmat, mungkin membahas sebuah visi kampung. Rumah Lopo, diantara rumah-rumah warga kampung yang saling berdekatan, sepertinya menyesuaikan dengan trilogy ‘rumah, kampung, tanah’. Sebuah rumah memiliki makna spesifik, tidak dilihat sebagai satu unit, tapi jejaring unit yang membentuk kampung, yang Namanya biasanya berasal dari leluhur. Jejaring rumah ini berada di atas tanah yang dikaruniai oleh Yang Maha Kuasa, dan diwariskan oleh leluhur. Saya pun membayangkan orang-orang gunung ini berjalan kaki jauh-jauh, membawa bekal ke sawah-sawahnya, seperti di Lantoka, tempat kami berteduh. Kemudian mengingat wajah anak-anak Lantoka yang duduk-duduk rapat di atas mobil, dengan tawa lepasnya. Begitu mereka menyatu dengan manusia lain, menyatu dengan alam, dan mungkin begitu dekat dengan Tuhan.





Saya berfikir, di sinilah kelebihan para pendeta, para pastor, yang mencoba untuk berjalan beriringan dengan kepercayaan-kepercayaan lokal di Alor. Saya pun berfikir, apakah pendekatan kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) harus seperti ini pula? Sepertinya, kami perlu belajar ke gereja.

Setelah empat jam mengendarai motor, dengan lima kali persinggahan, kami akhirnya tiba di Maritaing, Alor Timur. Di Maritaing, kami langsung ke pelabuhan dan perbatasan. Di tempat itu, kami dapat melihat dari jauh daratan pulau Timor bagian Timor Leste. Di sana pula terdapat patung Jendral Besar Sudirman, yang menatap jauh ke laut. Senang rasanya tiba di patung itu, terbayar juga perjalanan jauh, 4 jam, dengan resiko besar jika terjadi sesuatu di jalan, misalnya ban motor pecah dan terjebak di jalan antar bukit, bakalan sulit penanganannya. Syukur, selepas dari itu kami ke pantai dengan menempuh jalur tak lazim, melewati dua sungai yang mengering dan airnya dangkal, jalanan berbatu, melihat satu lagi pemandangan batu Kapal yang berlubang.




Selepas itu, kami pun Kembali ke kalabahi, dengan sedikit ngebut. Kami kedinginan di bukit, kena angin malam di taramana hingga ke Teluk Mutiara. Tiba di rumah pada pukul 19.00 wita, badan pegal, sepertinya betul, besoknya saya flu dan tenggorokan sakit. Meski begitu, Saya tak akan melupakan pesona alam sepanjang perjalanan, bersama berkat yang mengiringinya.








0 komentar:

Berkat Perjalanan Kalabahi-Maritaing