semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Pertemuan-Pertemuan dengan Dr. Jahved Maro

Tengah hari kami sudah berkumpul di beranda Homestay Cantik, Senin, 15 Mei 2023. Mulanya kami akan berangkat ke Pulau Lapang setelah makan siang, rupanya gelombang laut sedang meninggi, maka kami pun menanti laut tenang sembari menghangatkan mulut.


Jadilah saya, Dr. Jahved Ferianto Maro, dan Daniel berdiskusi dengan tema bebas. Saya ingat, kami mendiskusikan perang ideologi pasca perang dunia II. Daniel cukup semangat bahwa kejadian-kejadian besar dimotori oleh perang ideologi antara kubu Amerika dan kubu Uni Soviet, termasuk menurutnya pembantaian 65. Dalam hati saya menyahut, wah seru juga nich.. Barangkali, ini dipicu oleh keseringannya menonton film perang secara cepat dengan bantuan narasi AI (Artificial Intelegence).
Dr. Jahved menunggu, sementara saya menimpali, kalau negara yang paling kuat saat itu adalah Amerika. Bagaimana tidak, kotanya tidak hancur, yang hancur hanya Pearl Harbor, kemudian mereka ada dollar (Marshal Plan) untuk memberikan bantuan keuangan di mana-mana, termasuk negara yang kalah perang maupun yang menang perang di Eropa.

Entah bagaimana, tiba-tiba pembahasan membelok ke hubungan antar etnis di Alor, nah di sini Dr. Jahved mulai berselancar. Jahved mengangkat filosofi Tara Miti Tomi Nuku (berbeda tempat duduk-posisi, tapi tetap dalam satu hati/istilah pemersatu yang disematkan pada suku Abui dan bagi Jahved juga digunakan oleh suku Kabola, itulah kenapa patung Tara Miti terletak antara persimpangan arah Mebung dan Mali-dua etnis unik yang dengan sejarah pertemuan-pergeseran-dinamika yang panjang), Bagaimana etnis-subetnis di Alor dapat akur walaupun memiliki begitu banyak perbedaan. Hal ini memiliki semangat yang sama dengan istilah Bhineka Tunggal Ika, yang digunakan dengan baik oleh Soekarno dkk untuk mengikat bangsa-bangsa di jejeran kepulauan Nusantara.

Menurutnya, di situlah letak kepandaian founding Father masyarakat Alor, yang mampu meramu perbedaan dari begitu banyak kerajaan di bumi Alor, mulai dari Kolana, Batulolong, Abui, Kabola, hingga Pura, untuk bersepakat membentuk satu pemerintahan di bawah republik Indonesia. Nah, untuk tahu lebih banyak sejarah kehidupan masyarakat Alor, katanya harus membaca dokumen Ansgerius Takalapeta, yaitu mantan bupati Alor tahun 1999-2009. Mudah-mudahan bisa ketemu beliau.

Menurut Ibu Inaini, pemuka adat Masyarakat Adang, sebut Jahved pada diskusi kesempatan sebelumnya, 8 Mei 2023 di ruang jurusan Perikanan Universitas Tribuana Kalabahi, pengaruh agama-agama besar seperti Islam dan Kristen datang belakangan. Alam pemikiran yang mendasari logika persekawanan masyarakat Alor berangkat dari ajaran-ajaran tradisi leluhur yang jauh lebih dulu, melalui praktik-praktik agama lokal yang identik dengan mencintai hidup, alam, dan persaudaraan. Dulu, orang percaya pada batu, yang dibilangnya sebagai Mezbah. Setiap rumah ada mezbah untuk berdoa. Pada batu-batu ini, orang menaruh keyakinan dan mengikat mereka dalam satu persaudaraan, untuk saling mendukung, tidak bertengkar, dan mendudukkan segala perbedaan secara lebih bijak. Mezbah kerap dijadikan tempat berkumpul untuk membicarakan persoalan dan berembuk dalam pengambilan keputusan penting.

Jahved menambahkan, tarian lego-lego yang lazim kini, dengan memutari mezbah itu sebenarnya serapan belakangan dari Kerajaan Ternate. Makanya lego-lego ada di setiap kebudayaan di Alor/kebudayaan yang terkena pengaruh Ternate, baik pesisir maupun gunung, baik bagi kaum kristen maupun kaum muslim.

Makanya, waktu ia sekolah dulu, tidak pernah ditanyakan apa agamanya, bayangkan orang Islam yang bersekolah kristen pasti belajar agama kristen, orang kristen bersekolah Islam juga belajar agama islam, tapi yang ditanyakan, yaitu dia dari suku mana? Apakah masih ada ikatan persaudaraan dengan leluhur? seberapa dalam ikatan itu? Jika cukup dalam, maka mereka harus hati-hati menggunakan mulut mereka untuk tidak memicu pertengkaran sesama saudara, jika mungkin longgar, bagaimana itu diperkuat.

Dalam Mei ini kami mengalami selang pertemuan seminggu sekali, tentu dengan kepentingan yang berbeda. Pertemuan 8 Mei itu untuk konfirmasi penyewaan alat kualitas air, pertemuan 15-17 Mei itu karena kami sama-sama terlibat dalam pengambilan sampel air di tiga kawasan budidaya rumput laut, yaitu Bana, Pulau Lapang, dan Aimoli. Tentu, dalam 3 hari 3 malam itu, pembicaraan sudah campur baur, tentang rumput laut, pembudidaya, lingkungan pesisir, kualitas air, hama, dan juga terkait kelompok nelayan. Tentu poin-poin pembicaraan ini cukup banyak, dan tak dapat saya torehkan di momen tulisan kali ini. Tapi, perbincangan kami makin mengerucut ke tema budaya pada 26 Mei 2023 kemarin, tepatnya di halaman rumahnya di satu puncak kota Kalabahi, sembari menyeruput segelas kopi dan memandangi pegunungan dan lautan yang teduh.

Dalam selang seling informasi, beberapa poin diskusi perlu diperdalam. Diantaranya, tentang kepercayaan masyarakat Adang-Kokar terkait adanya titik-titik pada pesisir laut yang tidak terendam air, walaupun sedang pasang. Di situ masyarakat nelayan dan pegunungan yakin bahwa ada penunggu yang menjaga laut Kokar. Di samping peristiwa air kuning di sebuah lokus mata air di Kokar, kenapa ia kuning? Kemudian cerita-cerita mengenai sebuah sumur mistis, yang mana orang dapat menukar nasib-hidupnya dengan sebuah permintaan.

Saya menyaksikan sendiri sewaktu berkunjung ke Kokar dengan menggunakan speed boat, setelah pengambilan sampel air di Aimoli, kalau alam bawah laut Kokar masih sangat indah, dengan terumbu karang yang terjaga dengan baik, padahal perairan ini berdekatan dengan kampung nelayan terbesar di Alor. Hal ini sangat berbeda jika saya bandingkan dengan kawasan terumbu karang di Sulawesi Selatan, yang berdekatan dengan pulau-pulau nelayan yang sudah rusak parah. Saya pun menyimpan keyakinan bahwa ada semacam cerita yang dirawat dari generasi ke generasi, sehingga nelayan-nelayan Alor tidak berani menyentuh terumbu-terumbu karang tersebut, secanggih apa pun teknologi yang mereka pakai.

Jahved menyebut dengan sedikit konkrit pada adanya istilah Pur atau larangan. Misalnya larangan menebang pada pohon pinang dengan adanya coretan merah pada pohon, itu manifestasi Pur. Tapi larangan ini berlaku untuk masyarakat pegunungan Kepala Burung, bukan pada daerah pesisir. Tapi, boleh saja istilah ini juga diadopsi atau mungkin terdapat penamaan lain dengan maksud sama. Sebagai contoh adanya penerapan pelarangan di kawasan adat Baranusa, pantar Barat, melalui siklus tutup-buka laut, atau Hading dan hoba Mulung, sebuah pengertian yang mirip dengan sasi laut.

Jahved pun meniru kata seorang nelayan bernama Ruski Mahmud, sewaktu kami diskusi dengannya pada 17 Mei lalu di kokar, tentang istilah Sultan. Kata Jahved, itu bukan Sultan, tapi Zoltang, yang secara harfiah berarti pawang laut. Dengan begitu, nelayan memiliki kepercayaan mengenai ada/hadirnya pawang laut. Itulah mengapa, kata kawan saya yang lain, yiatu Sudarmiyanto, kalau nelayan Kokar tak begitu takut melaut, walaupun ombak tinggi. Mereka punya kepercayaan-kepercayaan, bahwa alam akan menjaga mereka atau alam akan menunjukkan tanda-tanda sebagai batas-batas toleransi dalam melaut.

Menyangkut hubungan manusia dengan alam, menarik untuk disimak bahwa nama-nama kampung di Alor umumnya diambil dari nama tetumbuhan atau pohon. Seperti Kalabahi, itu berasal dari nama lain pohon Kosambi/kesambi. Mungkin dahulu banyak pohon Kosambi di kota ini. Dari wikipedia, kosambi berasal dari penyebutannya di India, yaitu Kosam, kosumb, kusum. Dalam bahasa Inggris disebutnya Macassar oil Tree, cylon oak, merujuk pada hasil pada pohon ini, minyak Makassar.. Wow.

Seperti halnya nama area di pesisir Kalabahi, yaitu Bungawaru, nah ini berasal dari nama pohon Waru. Memang, masih terlihat beberapa pohon waru di daerah tersebut. Dari Dr. Jahved, ternyata penamaan kokar (nama lain Kelurahan Adang) juga berasal dari sejenis rerumputan/semak yang bernama karo/kokar. Di samping versi lain dari Kerajaan Bungabali menyebutkan kata Kokar lebih pada adanya seorang tokoh legendaris bernama Kokar di daerah tersebut.

kedekatan manusia Alor dengan alam tumbuhan juga tampak dalam istilah Behpech, sebuah kelompok sosial dalam masyarakat Adang Kampung Ujang yang memiliki fungsi sebagai perintis negosiasi atau juru bicara. Jahved menjelaskan bahwa Beh itu berarti daun dan Pech itu artinya ikatan. Ikatan daun-mengikat daun. Begitu halnya dengan arti dari satu nama kampung di Adang, yang disebut Lebang, Le berarti rotan dan bang berarti rumah atau rumah rotan. Istilah Lebang ini ada di juga di Pantar atau Puntaru.

Sepertinya, diskusi dengan Dr. Jahved, yang mengambil studi doktoralnya tentang jalur migrasi cetacea (lumba-lumba dan paus) di perairan Alor yang juga dapat menjadi satu tema menarik ini tidak habis-habis. Dari istilah satu ke istilah lainnya, dari rumpun satu ke rumpun lainnya.

Pada pukul 17.30 wita, langit mulai meredup. Tapi, perbincangan masih hangat. Suhu udara mulai turun. Mau tidak mau, saya memutuskan untuk pamit turun gunung dari rumahnya.

Perbincangan selama berkali-kali dengan doktor muda ini, membuat saya makin bersemangat untuk menelusuri seluk beluk masyarakat Alor, dan hubungannya dengan perbaikan lingkungan. Saya pikir, cukup banyak pesan mendalam yang telah disampaikan secara santai oleh Dr. Jahved.

Besar harapan untuk kembali memutar kopi bersama Dr. Jahved, menimba kedalaman dan keluasan ilmu dari anak muda ini. Jangan bosan-bosan yah..







0 komentar:

Pertemuan-Pertemuan dengan Dr. Jahved Maro