semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Potret Nelayan di Hari Nelayan

Kemarin, 6 April 2023, kita bersama-sama memperingati atau melihat sepintas di media sosial tentang hari nelayan. Beberapa teman tampak menunjukkan simpati, memajang foto-foto nelayan. Saya kira, di hari nelayan ini, satu-satunya jalan yang pantas, dengan mendengarkan suara nelayan itu sendiri.


Di Alor, pada 6 April ini nelayan, baik itu nelayan dengan menggunakan jala rumpon, nelayan pancing ikan besar, sedang dalam kesulitan. Dari hari ke hari ikan sulit diperoleh, bahkan beberapa nelayan mengaku hanya lari kosong. Padahal ikan sedang banyak di laut. Kilat masih jatuh ke laut, bintang juga jatuh ke laut, dan awan-awan menampilkan sisik-sisik ikan. Tapi, apa gerangan? Arus semakin kencang. Dari Desember hingga pertengahan Maret, nelayan istirahat. Badai semakin tak keruan.

Dulu, nelayan masih dapat bertaruh nyawa, jika badai di tengah lautan, mereka tinggal menatap ke langit, jika ada bintang, berarti masih ada harapan. Kini, di masa-masa angin ribut ini, nelayan lebih memilih menggarap kebun ubi-jagung di gunung. Itu bagi para pemilik kapal dan kalangan kapten, yang masih memiliki kebun. Bagi kalangan Anak Buah Kapal (ABK), baik yang memiliki patron, hingga yang lepas atau istilahnya nelayan gelap, mereka tak ada kebun. Bagaimana mensiasatinya? Ada yang tinggal tidur merenungi nasib, ada yang mencari kesibukan di bengkel, dan ada yang terpaksa meminjam uang di koperasi, itu pun dengan bunga yang cukup tinggi. Beruntung jika nelayan sementara waktu pindah profesi menjadi petani rumput laut, masih dapat berpenghasilan dari laut.

Belum lagi, di musim angin kencang pada akhir Desember dan Januari lalu, beberapa perahu retak didorong ombak, yang memantul di dermaga. Kehilangan kapal untuk melaut seperti kehilangan cangkul untuk bertani atau kehilangan laptop bagi orang seperti saya. Lantas, jika seperti itu, kepada siapa mereka meminta pertolongan?

Nelayan, komunitas manusia yang berperan penting bagi kehidupan manusia, khususnya manusia Alor, dengan berkesinambungannya ikan-ikan di pasar, dengan harga yang terjangkau. Anak-anak dapat tumbuh dengan baik, dengan konsumsi ikan segar secara rutin. Lantas, seperti apa nasib nelayan, kini di hari nelayan?

Sebagian besar nelayan adalah Anak Buah Kapal (ABK) serta nelayan kecil yang hanya menggunakan body jolor dengan kapasitas di bawah 1 Gross Ton (GT) hingga 1 GT. Pendapatan akumulatif mereka sangat bergantung dengan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh secara kolektif dan dibagi lagi berdasarkan aset, misalnya bagian besar untuk pemilik rumpon untuk jala rumpon, terus terdapat bagian untuk kapten/juragan, pemilik jala, dan terakhir adalah pembagian masing-masing satu bagian untuk ABK. Jika dihitung-hitung, pendapatan mereka jika beruntung masih antara Rp. 1-2 juta dalam sebulan, yang di bulan-bulan tertentu hanya raturan ribu rupiah perbulan, ditambah ongkos harian yang disebut sebagai tip atau uang rokok yang tentatif antara Rp. 20.000-Rp. 100.000 persekali jalan/hari. Sementara kapten/juragan kapal, masih memperoleh Rp. 3-4 juta perbulan, sedangkan pemilik kapal sepertinya lebih dari itu.

Memang, untuk menunjang hidup, mereka tak perlu membeli ikan, karena mereka pasti menyimpan untuk dirinya sendiri dan para anggota, ikan hasil tangkapan. Tapi, bagaimana dengan beras, sayur mayur, dan tentu ongkos anak-anak sekolah? Belum lagi ketika harga beras naik, kapal-kapal pedagang beras Sinjai-Makassar terhambat mendarat karena badai, dan lain-lain, itu betul-betul menggetarkan perut nelayan. Ketika anak-anak butuh dana sekolah, tak jauh-jauh, akan meminjam ke bos, yang berarti jatah pembagian hasil akumatif beberapa trip penangkapan akan dipangkas.

Ini artinya apa? Hidup masih terpaut dengan urusan bertahan hidup. Dari wawancara yang saya lakukan pada beberapa nelayan, ternyata, posisi bertahan untuk hidup ini, bukan hanya bagi ABK, apalagi bagi ABK gelap yang hanya numpang-numpang, ganti-ganti bos saban saat, tapi juga dapat berlaku pada kapten atau di sini disebut juragan kapal, tidak menutup kemungkinan juga bisa menghampiri pemilik kapal itu sendiri.

Mulanya, saya berfikir, bahwa terdapat gaya hidup nelayan, ketika mendapatkan sesuatu bakalan habis dalam beberapa waktu itu juga. Tapi, jika melihat kondisi kenyataan kehidupan nelayan, kita patut bertanya, apa yang akan difoya-foyakan? Saya menyaksikan, nelayan di sini justru selalu berupaya untuk merangkak naik tangga kelas. Saya wawancara seorang juragan/kapten, dia bercita-cita memiliki kapal jala rumpon sendiri. Sedangkan seorang ABK memimpikan menjadi kapten atau memiliki kapal sendiri, meski dengan alat pancing dengan kapasitas kecil.

ABK dalam tahun-tahun awalnya kesulitan mengumpulkan modal dari jebakan bertahan hidup, hingga dalam waktu tahunan bisa naik kelas menjadi kapten kapal, hingga Sebagian kecil di antaranya memiliki armada kapal jala rumpon sendiri atau memilih menjadi nelayan dengan kapal pancing yang lebih kecil. Memiliki kapal adalah cita-cita para nelayan muda. Ini juga berlaku bagi kaum pekebun di gunung, yang secara harfiah turun gunung untuk melaut, uang sepertinya lebih mudah didapat di laut dibandingkan di gunung. Sebagian kecil dari mereka sudah ada yang menjadi bos juga, tapi dalam rentang waktu bertahun-tahun.

Karena itu pula, bakalan memunculkan paradoks, semakin banyak kapal, kian banyak pancing dan jala, ikan-ikan akan semakin terbagi. Proses akumulasi akan kian melambat. Meski begitu, nelayan Alor boleh dikata beruntung, karena armada tangkap umumnya masih berskala kecil dan menengah (1-2 GT). Di Kelurahan Adang, nelayan hanya berupa nelayan jala rumpon dan nelayan pancing tuna. Nelayan Purse Seine/Pukat Cincin atau biasa disebut Lampara yang berkapasitas 5 ton ke atas itu pernah diusir dari laut oleh komunitas nelayan, karena keberadaan kapal itu bisa mengganggu stok ikan di laut. Mereka pun secara verbal mengatakan masih menjaga habitat karang yang ada di perairan Kel. Adang, mereka tidak mengganggu karang itu.

Belum lagi pasar terpusat di kota kecil Kalabahi, yang mana pengiriman keluar kabupaten masih relatif rendah. Sementara nelayan kurang dapat melakukan penjualan secara langsung, bagaimana tidak Pelelangan ikan belum berfungsi. Hal ini tentu menimbulkan harga ikan yang fluktuatif, dan sangat ditentukan oleh permintaan pasar serta betul-betul dikontrol oleh para pedagang atau koordinasi antar pedagang. Bahkan, di tahun 2000-an pernah kejadian nelayan mengubur ikan-ikan yang mereka tangkap, karena penampung atau di sini di sebut Papalele kewalahan mengambil ikan. Mereka membeli ikan seperlunya. Terpaksa, berton-ton ikan dikubur di pantai.
Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk nelayan-nelayan kita?








0 komentar:

Potret Nelayan di Hari Nelayan