Berau belum lama berlalu. Kali ini, saya ingin mengenang sela-sela kehidupan selama sepuluh bulan di Berau, dari 21 Desember 2021 hingga 15 Oktober 2022. Terik menyengat di hari kedatangan saat itu, saya dijemput oleh Pak Saleh yang juga supir operasional dari YKAN. Kami pun melintasi jalan utama yang mulus dengan pemandangan rerumputan, satu dua pohon, kadang-kadang rimbun pohon di kejauhan, gundukan tanah dan tebing yang telah digerus, dan juga lubang-lubang besar bekas galian. Terlihat rumah-rumah khas Banjar dengan kaki-kakinya yang pendek dan halaman yang selalu banjir, dinding dari papan kayu dengan beranda mungil. Terdengar kicau-kicau suara burung, dan kepulan-kepulan debu yang terhambur di sisi jalanan.
Selama sepuluh bulan, dengan
perjalanan-perjalanan saya sesekali waktu, pada segala penjuru, baik ke arah
Gunung Tabur dan Batu-batu, atau ke Sambaliung dan Tabalar Muara, hingga ke
arah Tanjung Selor. Hal-hal seperti itu serasa berulang. Tanah-tanah merah,
kadang-kadang berwarna kekuningan. Bahkan, air dalam saluran terlihat berwarna
kuning. Seperti sungai Segah yang lebar, seperti ular kuning yang bongsor dan
panjang. Juga pohon-pohon tinggi yang tinggal satu dua, dan jejeran rapi pohon
sawit. Terkesan olehku sinar matahari yang melimpah, Saya kurang merasakan
suasana kegelapan kecuali malam hari tentunya, sinar matahari melimpah ruah,
bayangan terlihat tegas garis-garisnya, sayangnya perasaan hangat ini terus
ditumpahi air kopi yang juga hangat. Jadinya, pikiran dingin kadang-kadang
menjadi angan-angan yang tak tergamit.
Sepuluh hari di sana, saya pun
memutuskan untuk mengontrak rumah. Rumahku terletak di Lorong Mesjid Raya,
Jalan Cempaka 2. Rumah ini milik Pak RT yang jarang menagih ongkos kontrakan. Rumahku
ini memiliki lantai dua di bagian belakang. Hanya saja tangganya curam, ini
banyak mengkhawatirkan saya ketika sudah membawa anak-anak pada Mei 2022, sebab
Ahimsa yang saat itu masih berusia 2 tahun 5 bulan paling hobby manjat tangga.
Saya biasa tidur-tidur di lantai atas, kalau bosan, baring-baring di ruang
tamu. Rumah ini pun menjadi lebih hidup ketika di Februari saya mencoba
memelihara burung Murai Kalimantan. Ia dapat berkicau hingga lebih dari 5 nada.
Praktis kontrakan ini menjadi rumah nyanyi.
Setelah menerima gaji pertama,
saya memutuskan untuk membeli sepeda. Saat itu saya terkesan dengan sepeda
merek Exotic gaya ontel berwarna biru muda. Sayangnya, terdapat kesalahan dalam
pengambilan keputusan. Mestinya saya membeli sepeda dengan banyak gigi/gear.
Jadinya, kewalahanlah saat jalan menanjak. Saya pun harus turun dan mendorong
sepeda, karena itu, dalam beberapa perjalanan baju saya betul-betul basah.
Saya pun bersepada setiap hari
menuju café atau warung kopi. Saat di Berau, saya jarang bekerja di kantor,
jadi setiap hari saya harus menentukan warkop mana lagi yang saya tongkrongi
sepanjang hari. Di mula-mula, setiap hari saya ke Café 9/11, lebih dikarenakan
jaraknya tidak jauh dari rumah, serta café latte-nya enak. Di situ, saya
mendengar materi induksi organisasi melalui zoom meeting, di situ pula saya
melakukan pencatatan hasil pengamatan kondisi pertambakan di Pegat Batumbuk dan
Tabalar Muara. Hingga pada Oktober, catatan ini menjadi lebih berguna sebagai
referensi penyusunan analisis lebih mendalam mengenai pertambakan udang windu
secara tradisional di Berau.
Saya mendengar café-café ini baru
saja di Berau, dalam 2020-2022, jadilah saya melanglangbuana, dari 9/11 menuju
Z café yang terletak di tepi sungai, atau di IP café dan Warkop Hitam Manis
yang lebih dekat dari rumah. Saya pun cukup mengenal barista-baristanya,
meskipun jarang ngobrol. Di tempat-tempat inilah jejaring pertemanan dibangun,
lalu persahabatan lintas organisasi, yang sepertinya belum saya temukan di
Alor, karena memang di Alor belum banyak muncul lembaga-lembaga swadaya
masyarakat.
Mula-mula saya mengenal
teman-teman Perkumpulan Perisai, melalui seorang kawan yang bernama Muhajirin
Umar atau biasa disapa Iring. Iring juga kolega saya sebelumnya di Sulawesi
Selatan, salah satu motor rehabilitasi mangrove melalui Garda Mangrove. Di
situ, saya mengenal Saleh, dan lebih akrab lagi dengan Andys, serta Kang Wowon.
Pada pertemuan-pertemuan itu, saya sedikit memperoleh pelepasan ide-ide yang
lebih original, tentang pengembangan komunitas.
Lalu, beberapa bulan kemudian,
jejaring komunikasi di warung kopi ini semakin mengakrabkan diri melalui
komunitas Beyond, yang sayangnya belakangan menghadapi terjangan-terjangan.
Meski begitu, saya tetap mengenang keseruan kumpul-kumpul hampir setiap hari,
pada saat menjelang lebaran, mendiskusikan rencana-rencana, walau tak dapat
dieksekusi karena satu dan lain hal. Dan, saya pun sangat menyayangkan
komunitas ini memiliki ujung yang kurang enak, dengan masing-masing memilih
jalurnya sendiri-sendiri. Pun saya merasa perkumpulan atau pertemuan-pertemuan
ini lebih pada strategi untuk mengatasi waktu luang dan kebosanan di kota yang
agak murung ini.
Di tempat rantau ini, selalu
hadir perasaan untuk berbagi kehangatan melalui obrolan-obrolan. Di sini
sebenarnya peluang dan mungkin benteng dibentuk, hanya saja, kehadiran
blok-blok ini, menimbulkan gesekan atau kecurigaan blok-blok lain (blok yang
dibentuk oleh kesamaan kepentingan atau kesamaan motif dan gaya, atau adanya
latar belakang yang sama sewaktu masih di Makassar). Pun kita menyadari kalau
di daerah rantau, orang-orang bekerja tidak selalu berarti memberi sesuatu
kepada daerah itu, tapi mungkin berarti seberapa banyak yang bisa diambil dari
daerah itu. Anak-anak muda memberanikan diri ke sana dengan tujuan untuk
memperoleh hidup yang lebih baik, alih-alih berkongsi atau bersaing. Sehingga,
kita tak dapat memberi ekspektasi terlalu tinggi mengenai harapan sumbangsi
kepada kehidupan bersama yang lebih baik.
Di Berau, selain warung kopi,
saya juga berpetualang kuliner. Dekat dengan café 9/11 terdapat mie pangsit
enak di Warung Franklin. Saat istri dan anak-anak tiba di Berau, kami selalu ke
sana. Saya paling suka pangsit basahnya, ditambahkan cabe kecil dan bawang
merah. Selain itu, kami beberapa kali sarapan coto Makassar. Ada coto Dg.
Dullah, ada coto tepian, dan ada coto Makassar di jalan Antasari. Mula-mulanya,
saya sering naik sepeda sendiri ke Coto Antasari. Satu porsi seharga Rp.
45.000, cukup mahal sih. Pavorit kami di Dg. Dullah, di sini juga saya biasa
makan sama teman-teman. Pada malam hari, kami sering menyambangi ayam lalapan
di dekat tepian atau Bakso Eko, yang daging baksonya lembut dan khas. Terdapat
pula Sate Sudi Mampir di Jalan Pulau Panjang, di tempat ini kami selalu
kehabisan, karena telat datang. Makanya jika hendak ke sana, kami jadwalkan
sore hari. Makanan yang agak murah dan tetap enak yaitu nasi goreng Rp. 15.000
an di jalan Cempaka. Ada juga gado-gado enak seharga Rp. 15.000 jalan Murjani. Tentu,
jangan juga dilupa nongkrong sore hari di tepian, menikmati pentol kuah,
gado-gado/pecel dan beragam jus. Di tepian ini kita dapat menikmati pemandangan
sungai dengan kapal nelayan dan kapal pendorong tangker pengangkut batu bara.
Beruntung, karena ketika keluarga
datang, sebelumnya saya sudah membawa mobil ke sana, sehingga tidak kerepotan
untuk ke sana kemari. Selalu pada pagi hari, saya bersama Ahimsa naik mobil
keliling kota untuk mencari jajanan, biasanya kalau istri malas masak, kami
mencari nasi kuning. Kemudian di lain waktu, kami sarapan kue-kue tradisional
di Bakula Jajan. Ahimsa paling suka Kue Sus, Sus Buah, lemper, dan donat. Saya
suka bakwan dan tahu isi. Kalau malam hari, biasanya kami menikmati martabak
dan terang bulan, sekali-kali juga saya membeli Pizza, yang sepertinya kurang
begitu populer di lidah anak-anak.
Setelah itu, saya pun siap-siap
berangkat kerja, tapi kantor ku di Seduh Kopi. Beberapa bulan saya hampir tiap
hari nongkrong di sana. Di seduh kopi, setiap hari saya ngobrol lepas dengan
pemiliknya yang Bernama Rio. Di tempat ini, saya pun secara terus menerus
bertemu dengan teman-teman dekat, yaitu Indra, Ari Hamda, Ilham Yaqin, dan Ical.
Kadang-kadang juga teman-teman perisai, yaitu Bung Reza dan Bung Saleh, juga
Andys. Di tempat ini muncul gagasan-gagasan, yang lagi-lagi layu dalam
eksekusinya, seperti mendorong bisnis udang ke Coldstorage Udang di Tarakan dan
mendorong perbaikan kualitas benur udang dengan skema penokolan udang yang baik
di Berau. Meski begitu, cukup banyak pelajaran yang diperoleh dari
ujicoba-ujicoba itu, saya merasa itu bukan kerugian, tapi sebagai penguatan
mental untuk melakukan sesuatu yang memiliki dampak yang besar bagi masyarakat.
Di ujung-ujung waktu, saya pun
berkenalan dengan Kak Rustam Ambo Asse, Dokter Gigi sekaligus penulis buku,
sayang sekali kenalnya tak lama, sehingga tak dapat menimba ilmu lebih banyak
dari beliau. Bersama Kak Rustan, Indra, dan Reza, kami bersepakat untuk
menyusun kumpulan tulisan tentang Berau. Saat ini masih dalam proses
penyusunan. Semoga segera terbit ya. Sayang juga, karena justru diujung-ujung
berpisah dengan Berau, alumni-alumni Unhas kian terkonsolidasi, sehingga saya
kurang merasakan semangat solidaritas alumni atau IKA Unhas saat itu.
Satu hal yang menjadi pelajaran berharga
di Berau, hindarilah untuk terlalu menaruh harapan pada orang baru yang dikenal,
pun juga bagi orang lama, sebab, setiap orang memiliki tujuan masing-masing,
yang mana kita dapat bersatu karena adanya kepentingan yang sama, atau lebih
buruk lagi jika orang itu hendak memperoleh sesuatu dari kita. Di sana saya
keliru mengenali posisi-posisi ini, karena merasa semua orang adalah teman. Akhirnya saya dapat mendefinisikan, mana yang
teman, mana yang hanya mitra, mana yang dapat menjadi lawan karena perubahan
situasi, dan mana yang musuh.
Pun begitu, saya tidak akan lupa
pengalaman jalan-jalan pagi bersama istri dan anak-anak di lingkungan sekitar
rumah, ke sekolah TK yang banyak alat peraganya, ke masjid agung yang
halamannya luas, ke lapangan sepak bola dan taman cendana, serta jalan kaki di
sepanjang terotoar menuju pasar, kemudian tembus Kembali ke lingkungan rumah.
Juga kegiatan jalan-jalan bersama teman-teman dekat ke Kawasan Mangrove
Semanting, Kebun Semangka Batu-batu EcoVillage, hingga ke Kampung Adat Dayak di
Merasa Kec. Kelai, di sana kami susur sungai melihat tebing kars bersama
teman-teman WWF Indonesia, Berau.
0 komentar:
Posting Komentar