semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Setelah Lima Bulan di Alor

 Pada April ini, terhitung sudah lima bulan kami di Alor. Bulan-bulan yang menyenangkan. Sebelumnya saya sempat menanyakan, apakah rasa damai ini akan habis? Ternyata tidak sama sekali. Perasaanku masih sama dengan hari-hari pertama, ketika melintasi jalan antara rumah ke kantor, jalan utama antara Kalabahi ke Kokar, saya melihat laut berwarna biru muda di bagian tepi, dan menjadi gelap di bagian tengah. Kadang-kadang, karena terpaan matahari, terlihat bayangan-bayangan batu karang dari jauh.




Praktis karena itu, kehidupan terasa begitu kontras, jika kita membandingkan misalnya, hidup di kota-kota besar, setengah kota, dan kota kecil seperti Kalabahi, beserta desa-desa yang bertaut dengannya. Saya tidak mengatakan kota seperti Makassar misalnya begitu sumpek, dengan jejeran toko dan gedung, jalanan yang berdebu, dengan diselingi drama kemacetan, sebab itu tergantung sudut pandang kita melihatnya. Setiap kota dan wilayah pasti punya keindahannya sendiri-sendiri.

Begitu halnya dengan gaya hidup, saya pelan-pelan mencoba beradaptasi. Di hari-hari yang normal saya biasanya sudah bangun sebelum pukul 06.00 wita. Tentu, biasanya yang membangunkan adalah anak-anak, terutama buah hati kami yang bungsu, Ashim W Swadeshi yang telah menginjak usia satu tahun sejak 25 Januari lalu. Ia selalu menggoyang-goyang tubuh kami, dan menjadikan tubuh kami seperti kuda, dimana ia sebagai penguasanya. Kemudian, ia akan menjelajahi ruangan rumah untuk melatih tungkai kakinya yang masih rentan. Kadang-kadang dengan Bahasa isyarat ia menunjuk sepatu, dan memegang tangan kami untuk diajak berkeliling di halaman depan rumah.

Lalu setelah itu, yang tua, Ahimsa M Lahiri akan merengek untuk diajak ke pantai, menuntaskan suatu rutinitas baru, yaitu mencari kerang hidup/siput yang menempel di tembok-tembok penahan ombak. Sesekali jika beruntung, ia menemukan beberapa ekor kelomang. Di waktu yang lain, seperti anak-anak yang lain, ia minta jajan, yang ia istilahkan ‘beli-beli’ jadilah saya menemaninya, sembari menggendong si kecil ke warung terdekat. Kemudian setelah itu mencari tempat nongkrong untuk menghabiskan jajanan sembari ngobrol.

Ahimsa, di setiap kesempatan selalu menemukan pertanyaan atau mengulangi pernyataan atau pelajaran. “Jangan diambil terlalu banyak kalomangnya, karena kasihan kalomang, nanti bisa habis”, “Bekicot jalannya pakai perut”, “Kalomang rumahnya di kerang siput”, “Boleh kah Caca main biliar? Kalau besar Caca mau main biliar”, “Kalau besar Caca baru bisa makan Lombok pedit”, “Adakah itu setan papa?” “Jangan takut sama setan, setan yang takut sama Caca”. “Tapi, kalau ada-ketemu ular, lari”.

Jika sudah menunjukkan pukul 09.00 wita, saya sudah ke kantor, yang kami sebut sebagai Working Space, karena terletak di lingkungan homestay. Di kantor, waktu terasa singkat, barangkali karena fokus pada tugas yang harus dikerjakan, membuat perencanaan kerja, melakukan evaluasi data, membaca konsep, dan diselingi dengan ngobrol-ngobrol lepas. Pada Ramadhan ini kami mendapat hiburan baru, sebuah tivi lebar, beberapa kali menjelang buka puasa, beberapa dari kami menonton serial Narcos, kisah Pablo Escobar yang dramatik dan kontroversial.

Di kantor, saya bekerja bersama anak-anak muda yang usianya sekitar 8-15 tahun di bawahku, tapi itu tidak menjadi sesuatu yang bisa menimbulkan kesenjangan-kesenjangan komunikasi. Justru karena itu, membuat saya menjadi lebih berjiwa muda. Ini tentu mendidik jiwa saya juga, untuk tidak memandang seseorang dari segi usia, tapi dari segi kebenaran-kebenaran yang diucapkan, atau dari segi kedewasaan sikap masing-masing.

Pada sore hari, saya biasanya melihat-lihat dulu keramaian pasar, dan membeli kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti ikan, tempe dan sayuran, atau singgah di toko untuk membeli popok. Saya pun kadang-kadang singgah membeli tahu isi dan pisang moleng, pisang moleng ini yang selalu ditunggu-tunggu Ahimsa jika saya pulang ke rumah. Kalau saya pulang malam hari, biasa membawa martabak atau terang bulan, ini juga kesukaan orang di rumah.

Di rumah kami, Riyami, Istri saya sudah tidak begitu kerepotan dalam aktivitas memasak. Pun jika ada kelebihan waktu, ia biasanya bereksperimen bersama Ahimsa untuk membuat kue berbahan baku pisang, atau kue-kue yang lain. Sejak Januari lalu, kami telah menggunakan kompor gas, sehingga api bisa diatur tinggi rendahnya. Pada bulan-bulan awal, kami masih menggunakan kompor minyak tanah. Meski begitu, di Alor ini mama-mama masih banyak pakai kompor minyak tanah. Di pinggir-pinggir jalan, selalu kita temukan minyak tanah yang dijejer rapi.

Alhamdulillah pada Ramadhan ini, di terotoar-terotoar, yang terlihat adalah penganan-penganan, kue-kue tradisional, serta berbagai jenis bubur, ketan hitam, kacang hijau, campuran, serta pisang ijo. Harganya murah-murah, hanya Rp. 5000 per gelasnya. Hanya saja, jika mengingat kehidupan di Makassar pada Ramadhan, di sini cukup jarang kegiatan silaturahmi/ajakan berupa buka puasa bersama. Jika di Makassar, pasti setiap hari ada saja ajakan buka puasa, dengan membuka kesempatan untuk mempererat silaturahmi dan memperluas jejaring perkawanan.

Jika akhir pekan, kami selalu menyempatkan diri untuk plesiran. Biasanya kami ke pantai, seperti Pantai Sebanjar, Café Celyn yang juga di area Pantai Kabola, juga pernah ke Pantai Batu Putih. Pantai-pantai di sini masih terbilang bersih, suasananya menarik, dan tentu kami bisa berendam dan berenang sepuasnya. Sebab, di pantai-pantai di Alor, tidak seperti tempat wisata di daerah lain, karena pengunjungnya hanya beberapa orang saja. Sehingga, rasa-rasanya pantai itu seperti milik sendiri/keluarga kecil.

Di pantai-pantai ini, Istri saya menyempatkan dirinya untuk belajar berenang, Ahimsa selalu mengumpulkan kerang, pecahan-pecahan karang, ataupun kalomang, sang adik bermain pasir, sementara saya menikmati ikan-ikan berwarna warni bermain di terumbu karang atau sekadar menikmati indahnya dasar laut berupa batu-batu besar di Pantai Batu Putih.

Misalnya di Sebanjar, dengan pantai yang menyejukkan mata, alam bawah lautnya pun masih diperoleh terumbu karang yang dalam kondisi baik, meski tidak semassif dan secantik tempat-tempat yang lebih jauh, misalnya di Pulau Kangge atau di Pulau Lapang, serta di tepi-tepi laut desa Kayang dan Desa Alumang. Di tempat-tempat itu, terumbu karang masih terjaga, itu dapat disaksikan hanya dari atas perahu, apalagi kalau kita bersnorkling di atasnya.




0 komentar:

Setelah Lima Bulan di Alor