semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Pelatihan Ujicoba Kurikulum CoE (Centre of Excellence) Bersama Universitas Tribuana Kalabahi

 Senang rasanya bisa diikutkan dalam kegiatan Pelatihan Ujicoba Centre of Excellence (COE) Universitas Tribuana Kalabahi yang bermitra dengan Yayasan WWF Indonesia. Dalam tiga hari, Kamis-Jumat, 16-18 Maret 2023 Saya kembali tenggelam dalam rangkaian presentasi yang bertemakan kawasan konservasi perairan dan pengelolaan perikanan yang baik.




Selama bergaul dalam dunia konservasi perairan dalam sepuluh tahun belakangan, saya haya menggumuli praktik perikanan budidaya air/akuakultur yang baik dan sedikit tentang rehabilitasi mangrove, justru konsep-konsep kunci pengelolaan Kawasan konservasi atau Kawasan habitat kritis laut, baru betul-betul saya dapatkan dalam pertemuan ini, itu pun barangkali masih kulit-kulitnya saja.

Pada hari pertama dan kedua, peserta yang terdiri atas perwakilan parapihak pemerintahan, mitra kunci seperti pelaku wirausahawan maupun mitra perwakilan komunitas masyarakat pesisir ini disajikan secara konseptual Kawasan konservasi perairan, pengertian habitat/ekosistem pesisir, hingga pengelolaan perikanan dan pemantauan dan evaluasi kawasan konservasi. Saya mencoba mencerna materi ini sebaik mungkin.

Saya merasa materi-materi ini penting, mengingat saya bermukim di sebuah pulau yang perairannya adalah Kawasan konservasi, yang sebentar lagi menjadi sebuah “taman perairan”. Pun saya menyadari, atau sedikit berprasangka kalau masih banyak orang Alor yang kurang paham mengenai area lindung ini. Tahu sedikit lebih dalam sepertinya berguna untuk menjadi suatu bagian dalam agenda-agenda besar perlindungan laut serta penyelamatan orang-orang yang bermain di dalamnya.

Materi pertama yaitu Konsep dasar pengelolaan Kawasan Konservasi disajikan oleh Haries Sukandar, Coordinator Site Alor MPA-WWF Indonesia. Di situ saya memahami kalau kawasan konservasi perairan memiliki kata kunci, yaitu pendekatan zonasi dan perlindungan, dengan tujuan pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan. Sederhananya, dengan melindungi satu atau beberapa kawasan habitat penting, daerah perlindungan itu akan menyumbangkan sumberdaya ikan secara terus menerus, sebab kawasan habitat penting itu sebagai tempat hewan-hewan laut memijah dan diasuh, memungkinkan tak putus-putusnya rangkaian rantai makanan hewan dan tumbuhan laut. Dalam konsep “taman”, terdapat sepuluh persen kawasan yang betul-betul terlindungi dari keseluruhan kawasan konservasi, serta mendorong efisiensi pemanfaatan pada zona pemanfaatan terbatas, yang membolehkan aktivitas menangkap ikan dan berbudidaya, seperti budidaya rumput laut.

Nilai penting konservasi ini baru saya pahami setelah kunjungan ke kampung nelayan Kelurahan Adang/Kokar, Alor Barat Laut, pada 20-21 Maret 2023. Terkait dengan pembatasan operasional kapal besar dan pemberian ruang yang cukup bagi perikanan skala kecil. Alam Kokar sedikit beruntung, karena praktik perikanan tangkap di Kokar umumnya hanya menggunakan jala rumpon serta pancing tuna dan cakalang, bukan menggunakan alat tangkap Purse Seine atau pukat cincin/lampara yang mengangkut ikan dalam jumlah besar. Komunitas nelayan Kokar pernah meminta kepada otoritas perikanan untuk mencabut izin penangkapan untuk jenis Lampara yang beroperasi di perairan Kokar. Meski begitu, komunitas nelayan Kokar tetap harus waspada, sebab terdapat peningkatan yang dari tahun ke tahun jumlah kapal nelayan, selain itu, jumlah anak-anak muda untuk mengunduh nasib sebagai Anak Buah Kapal (ABK), juragan/kapten, hingga banyak pula yang mampu mengakumulasi modal hingga yang awalnya ABK sudah dapat memiliki armada sendiri. Kata seorang nelayan, jarak antar rumpon semakin rapat, pemancing semakin banyak, kian bertambah titik-titik cahaya pemancing di malam hari. Dengan begitu, ikan yang pada dasarnya melimpah di laut semakin terbagi.

Presentasi kedua dibawakan oleh Dr. Jahved Ferianto Maro tentang Ekosistem Perairan Pesisir. Saya seperti diantar kembali ke bangku kuliah, tapi kali ini dengan mata pikiran yang awas. Saat itu, saya menantang pikiran saya untuk membayangkan satu eksperimen, apakah rumput laut yang jika dilihat secara kasat mata pada beberapa lokasi pesisir di Alor, telah sama atau melampaui area habitat lamun. Apakah rumput laut ini juga bisa dikategorikan sebagai ekosistem penting, di samping mangrove, lamun dan karang? Mungkin saja, jika rumput laut itu tumbuh dengan sendirinya di alam, turut menyumbangkan unsur hara bagi laut, dan menjadi makanan yang bebas bagi ikan. Saya memantau itu terlihat sedikit di perairan, dimana rumput laut alam terdapat secara random di beberapa titik bersamaan dengan area komunitas lamun.

Sementara, rumput laut yang dominan terlihat adalah rumput laut budidaya, yang diintroduksi dari luar melalui pembibitan, diikat pada tali, dan dibiarkan selama 2-3 bulan yang nantinya akan dipanen oleh manusia. Sepertinya, rumput laut ini hanya mengambil apa yang ada dari alam, berupa nutrisi dan cahaya matahari, energinya masuk yang nantinya justru akan dikonversi ke hal-hal lain, seperti karagenan ataupun agarnya menjadi produk-produk untuk kebutuhan manusia.

Dalam praktiknya, budidaya rumput laut pada satu kawasan tidak semua berjalan mulus, seperti yang saya saksikan di Alor, seperti di Kangge, Wolu dan Merica, rumput laut gagal di panen oleh manusia, tapi dengan berhasil gilang gemilang dimakan secara tuntas oleh komunitas ikan, seperti baronang, ikan kulit pasir, ikan-ikan karang, mungkin juga dimanfaatkan oleh bulu babi, teripang dan bintang laut. Belum lagi siput-siput kecil yang bisa saja juga meminta jatah. Di situ kita melihat kegagalan manusia dalam mengatasi alam, atau boleh dikata kemenangan alam dalam mendorong keseimbangannya, karena prinsip dasar ekologi yaitu keseimbangan alam. Karena itu, manusia perlu menyadari untuk tidak sekadar memanfaatkan alam, tapi juga sebaiknya ikut menyumbangkan sesuatu ke alam, dengan memberi jatah energi ke alam. Di situlah ajaran leluhur untuk memberi makan alam menjadi sesuatu yang penting, sebab alam punya banyak cara untuk mengambil jatahnya sendiri.

Bagian menarik juga di pelatihan ini yaitu presentasi dari Mas Theo tentang Perinsip Perikanan Berkelanjutan. Apa yang dimaksud berkelanjutan? Teo menjelaskan bahwa pemenuhan kebutuhan penduduk yang tidak mengorbankan kebutuhan penduduk di masa yang akan datang. Ia mengkonfrontasikan alat tangkap modern dengan tradisional, armada penangkapan besar dan kecil. Ini tampaknya menarik, sebab, memang ini yang perlu dipikirkan matang-matang.

Saya mencoba untuk nimbrung dalam pertanyaan atau lebih pada tanggapan. Saya menyatakan bahwa di Alor lebih dominan komunitas nelayan kecil, atau saya bilangkan sebagai padat karya, dibandingkan dengan nelayan alat tangkap modern dan armada besar atau dibilangkan padat modal. Beruntung masih padat karya, tapi bagaimana jika padat karya ini pelan-pelan, merangkak, hingga akhirnya bisa mengakumulasi modal, dan akhirnya nanti menjadi padat modal pula?

Hasil pemantauan sementara di lapangan, nelayan padat karya yang beroperasi sejak 20 tahun lalu atau lebih hingga saat ini, umumnya belum menunjukkan gejala menuju ke padat modal. Kelebihan uang digunakan untuk menambah jumlah kapal, dari satu menjadi dua, membangun rumah yang lebih layak, dan menyekolahkan anak. Lompatan-lompatan sosial lebih pada yang sebelumnya menjadi pekerja kapal atau disebut Anak Buah Kapal (ABK) kemudian naik posisi menjadi pemilik kapal, baik kapal pemancing ataupun yang lebih baik yaitu kapal untuk penangkap ikan di rumpon, yang akhirnya punya anak buah juga hingga 10-12 orang, yang uniknya banyak berasal dari komunitas orang gunung yang turun ke laut. Tapi, itupun tidak semua, banyak juga yang terperangkap sebagai ABK dan juragan yang dalam hal ini sebagai pimpinan operasional/kapten hingga puluhan tahun. Nelayan justru menunjuk pengumpul yang disebut di Alor sebagai pemborok/papalele yang berhasil mengakumulasi, yang disebutnya “hanya papalele yang dapat membeli oto”. Sementara yang padat modal ini, justru nelayan luar, berupa kapal dengan alat tangkap pukat cincin yang biasanya berasal dari tanah Sulawesi.

Saya pun berfikirnya solusinya pada pendekatan pasar, sayangnya hasil pemantauan sementara di lapangan, memang untuk mendorong pendekatan ini butuh energi besar, lantaran kuatnya solidaritas papalele dalam penentuan harga ikan, serta terperangkapnya pasar ikan jenis pelagis kecil seperti layang dan tongkol hanya di seputar kota Kalabahi dan sekitarnya. Saya menanyakan ini ke salah satu tokoh nelayan rumpon di Kokar, “kenapa bisa seperti ini? Iya pun tidak mengerti kenapa sejak lama ia melaut, belum ada perbaikan secara signifikan dalam tata Kelola pasar ikan. Nelayan masih kesulitan akses untuk menjual hasil tangkapannya sendiri, misalnya di TPI (Tempat Pelelangan Ikan)? Bagaimana tidak, TPI-nya mangkrak. Sementara pengumpul yang membawa ikan pelagis kecil ke luar Alor, misalnya ke Kota Kupang, masih bisa dihitung jari. Padahal itu sangat membantu untuk menstabilkan harga ikan di sektor nelayan. Untuk nelayan pancing Tuna, agak mendingan, karena selain pasar lokal, terdapat empat perusahaan yang membeli ikan di Kab. Alor.

Hari kedua kami cukup gembira dengan banyaknya atraksi kerja kelompok untuk materi Mbak Saraswati, Mas Miko Budiharjo, dan Daniel Leatemia membuat kami bersaing antar kelompok. Hari ketiga, kami diajak ke Kabola untuk melihat praktik pembibitan mangrove Mama Martha. Kami bersemangat ikut menyanyi bersama ala Mama Martha, “Ayo kawan-kawan, kita menanam bakau, untuk melestarikan alam dan lingkungan, untuk penahanan ketika gelombang”. Selanjutnya, kami ke Pulau Sika, bertemu dengan Pak One’, sebagaian besar dari kami ikut melihat “mawar” atau dugong dan melakukan praktik pendataan komunitas lamun. Di Pulau itu saya lebih banyak mendengar suara-suara burung, cukup banyak komunitas burung di pulau tak berpenghuni ini. Juga mengucapkan doa pada makam yang saya lihat dari jauh dan kadang-kadang mendekat, makam seorang sultan dari kesultanan Menanga, Flores, kata orang ia adalah keturunan Sunan Gunung Jati. Allahumma Salli Ala Muhammad Wa Ali Muhammad.




0 komentar:

Pelatihan Ujicoba Kurikulum CoE (Centre of Excellence) Bersama Universitas Tribuana Kalabahi