semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Moral Ekonomi Nelayan?

James C. Scott sepertinya perlu menambahkan dalam bukunya “Moral Ekonomi Petani”, kalau bukan petani tradisional saja yang memiliki etika subsistensi, tapi juga nelayan tradisional. Scott seperti nabi Marx versi lain, yang menjelaskan alam berfikir dan suasana kebatinan para petani, melalui studinya di Asia Tenggara, tepatnya di Vietnam, Burma, Jawa, Filipina mengenai pilihan-pilihan strategis masyarakat petani dalam mempertahankan kehidupan di atas level subsistensi (batas minimum hidup layak).


Menurut Scott, petani Asia Tenggara dan mungkin juga petani belahan bumi lainnya, lebih memilih hidup di bawah momongan patron, yang dilakoni oleh tuan tanah, dibandingkan masuk ke arena pasar tenaga kerja yang belum menunjukkan prospek jangka panjang untuk terus dapat makan, apalagi di desa mereka tidak memberikan cukup banyak peluang pasar kerja. Sang Patron memang mengambil jatah lebih dari para klien (petani subsisten), dengan asumsi si klien ini sudah memperoleh jatah lebih dari batas subsistensinya atau dapat hidup berkecukupan. Dalam etika ini, yang menjadi prioritas petani yaitu seberapa banyak yang tersisa untuk bertahan hidup atau dahulukan selamat (Safety first), bukan seberapa banyak yang diambil oleh sang patron.

Hal ini juga menyulitkan menuntut petani untuk melakukan kalkulasi rasional, seperti diasumsikan pada umumnya pada pada mahluk ekonomi a la Schumpeter, petani dapat melakukan pilihan-pilihan rasional dengan melakukan lompatan untuk memperoleh peluang yang lebih baik, tentu dengan beberapa resiko. Nah, menurut Scott, petani Asia Tenggara, dalam kurun waktu sebelum perang dunia ke 2 itu, juga pada masa colonial itu dan masih tampak terlihat di masa kini, lebih memilih cara hidup yang minim resiko. Bagaimana tidak, sudah terdapat pengalaman-pengalaman dalam sejarah mereka, jika keluar dari zona nyaman minim resiko itu, saat situasi rentan mereka harus menanggung beban yang berat berupa kelaparan dan bahkan dapat menuju kematian.

Lantas, apakah hanya petani saja memperlihatkan prilaku seperti itu? Bagaimana dengan nelayan tradisional? Barangkali ya. Seperti yang ditunjukkan oleh nelayan Kokar Kelurahan Adang, Kecamatan Alor Barat Laut, yang sebagian mengikatkan diri secara moral dengan patron.

Anak Buah Kapal (ABK) masing-masing bergantung pada bos atau pemilik perahu, setiap bos memiliki 8-10 ABK dengan seorang kapten yang juga disebut juragan. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, mereka hanya memperoleh pendapatan terbatas, misalnya hanya ongkos kopi dan rokok, dengan pembagian hasil setiap beberapa bulan dengan masing-masing 1 bagian. Sedangkan kapten 2 bagian, dan bos memperoleh 6 bagian (3 bagian karena memiliki kapal dan 3 bagian karena memiliki alat tangkap), serta papalele/pengumpul memperoleh 3 bagian karena menyediakan rumpon.

Jika dihitung-hitung, pendapatan para ABK ini hanya untuk bertahan hidup bagi diri dan keluarga, juga memperoleh sedikit tambahan untuk dapat berkontribusi untuk penghidupan sosial melalui aktivitas tukar menukar sosial. Meski begitu, para ABK ini masih tetap mau bertahan dengan model hidup seperti itu? Mungkinkah mirip dengan ciri masyarakat petani subsisten, yang bertahan hidup sebagai petani penggarap atau penyewa tanah dengan bergantung pada kemurahan patron pada situasi-situasi sulit, semacam asuransi kesejahteraan kepada para petani.

Saya menggali hal-hal itu untuk melihat seperti apa hubungan antar nelayan, baik ABK dan nelayan kecil nan mandiri dalam mengatasi masa-masa sulit. Apakah masih ada resiprositas desa untuk mendukung prioritas kehidupan minimum nelayan? Dari diskusi dengan nelayan Kokar, mereka masih saling bekerjasama dalam perbaikan perahu yang rusak, kerjasama dalam perbaikan rumpon yang terbelit di laut lepas, kerjasama antar nelayan dalam membangun rumah, saling bantu membantu dalam penyediaan pasokan lauk pauk sehari-hari. Nelayan masih memperoleh jatah ikan dari para bos dari hasil melaut. Mereka juga saling bantu ketika seorang nelayan sedang menyelenggarakan hajatan baik tradisi dan keagamaan. Warga yang tak memiliki pekerjaan, dapat ikut melaut pada banyak bos, dan bos memberikan ruang pada warga-warga desa dan bahkan warga di luar desa yang disebutnya nelayan gelap untuk naik ke perahu. Para bos dan pemilik kapal tidak membiarkan satu pun orang menganggur karena tak dapat melaut.

Itulah sebabnya, di masyarakat seperti ini, para nelayan kecil serta ABK tidak menunjukkan konflik serius dengan para bos. Pun terdapat mekanisme sosial (mungkin didorong oleh gossip) untuk mendorong para bos untuk senantiasa berbagi, untuk menyumbang lebih besar ke tempat ibadah, membangun mesjid, hingga mengadakan pesta-pesta besar.

Hal itu menunjukkan kalau masyarakat desa secara kumulatif berfungsi untuk menjaga warganya untuk tidak jatuh ke level bawah subsistensi.

Sementara itu, papalele atau pengumpul juga menunjukkan perannya dalam sistem etika subsistensi ini, walaupun mungkin bagi para nelayan, para pengumpul inilah yang memperoleh hasil yang lebih banyak. Tapi kenapa para nelayan membiarkan hal itu, sembari bersungut-sungut, namun tetap berlapang dada? Sebab, pengumpul ini memerankan posisi untuk mengambil resiko tinggi.

Seperti ditunjukkan dengan sumbangsinya untuk membiayai penyediaan rumpon, yang biayanya mencapai Rp. 7-8 juta. Rumpon ini tidak selalu bertahan lama di laut, banyak kejadian rumpon rusak diterjang ombak, terbawa arus, terlilit dengan rumpon lain sehingga salah satunya harus diputus. Pengumpul mengambil resiko untung-untungan itu, dengan pertimbangan, nelayan akan berutang budi dengan menjual ikan hanya kepadanya.

Resiko lainnya, yaitu ia harus mengambil ikan dan menjualnya ke pasar atau konsumen di kota maupun di pelosok-pelosok desa. Ikan hasil melaut yang melimpah ini harus terjual. Dalam praktik ini, ikan tidak selalu terjual dengan baik. Kadang-kadang mereka terpaksa menjual dengan harga miring karena kualitas ikan sudah menurun. Sebagian bahkan membawanya ke pelosok-pelosok yang jauh dengan harapan ikan terjual atau tertukar dengan kemiri dan buah pinang. Dalam menjual ikan ini tidak selamanya mulus, baru-baru ini papalele dari Kokar dilarang menjual ikan di pinggir jalan/trotoar jalan utama Alor oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kab. Alor), sebab dianggap merusak pemandangan.

Memang ada perusahaan ikan, khususnya untuk komoditas ikan tuna di Alor, hanya saja kontak perusahaan tidak langsung ke nelayan, tapi ke pengumpul ikan tuna di Kokar. Pengumpul ini memberi kemudahan-kemudahan kredit ke nelayan-nelayan ikan tuna, asalkan para nelayan menjual ikannya di pengumpul tersebut. Peran saling sumbangsih antara nelayan dan pengumpul cukup dapat dijelaskan melalui skema etika subsistensi ini. Nelayan memperoleh asuransi sosial dari pengumpul melalui sistem peminjaman/kredit tanpa bunga atau berbunga kecil ini, apalagi pada musim sulit. Di Kokar, terdapat waktu-waktu tertentu nelayan tak dapat melaut karena badai besar. Saat-saat seperti itulah pengumpul menjadi penyelamat.

Lantas, apakah etika subsistensi atau moral ekonomi nelayan ini tetap membuka ruang untuk perubahan sosial secara vertikal bagi para individu-individu maupun inovasi secara kolektif dalam bentuk perbaikan pengorganisasian atau kelembagaan nelayan?

Jawaban dari ini sangat bergantung sejauh mana individu-individu nelayan terbebas dari perangkap jatuh ke bawah level subsisten dan memperoleh kesempatan-kesempatan untuk memperbaiki diri. Hal ini menjadi mungkin dengan mendengar cerita beberapa nelayan ABK atau sekadar ikut-ikut pada awalnya, pada akhirnya telah memiliki kapal sendiri. Adapula ABK yang naik posisi menjadi kapten kapal. Melihat fenomena di Kokar, cukup banyak nelayan yang asal muasalnya dari gunung, yang memiliki latar belakang petani yang kuat, menceburkan diri dalam kehidupan nelayan. Beberapa diantara mereka berhasil naik level dari anggota hingga memiliki armada sendiri. Ada pula yang naik ke level bos. Ini barangkali juga didukung oleh adanya kepemilikan aset berupa kebun di gunung, yang menjadi dasar subsistensinya, sehingga aktivitas melaut sebagai pendukung untuk memperoleh uang lebih.

Di samping itu, mempertimbangkan (streotif) kebiasaan boros nelayan, yang dianggap sulit untuk menabung. Secara pribadi saya maklum dengan kebiasaan itu, mengingat pekerjaan nelayan yang menempuh bahaya di tengah laut, membutuhkan kompensasi-kompensasi yang setara. Tapi, belum tentu nelayan sulit menabung, mungkin banyak pula nelayan yang memiliki literasi keuangan atau kemampuan menabung yang baik. Hanya saja kurangnya uang yang dapat ditabung, atau uang selalu habis untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Saya kira masih sulit meyakinkan kepada mereka untuk menggunakan cara-cara atau inovasi baru, selogis apa pun cara kita menyampaikannya. Baginya, inovasi dan cara-cara baru bukan jawaban. Apakah cara-cara baru ini dapat menjamin keberlanjutan hidupnya dalam jangka panjang? Apakah cara-cara baru itu dapat menyelamatkan mereka pada kondisi paceklik dan terpuruk? Apakah cara-cara baru ini minim resiko dan tidak mengancam atau menjebak mereka untuk terperosok jatuh ke level bawah hidup layak? Jika jawabannya Ya, maka lanjutkan program perbaikan itu.

Begitu halnya dengan pengorganisasian sistem kelompok. Sejauh ini kelompok nelayan lebih berfungsi secara administratif sebagai wadah penyalur bantuan. Secara sekilas, memang itu yang dibutuhkan nelayan. Segala sesuatu harus ada timbal baliknya secara ekonomi. Nelayan akan tertarik jika lembaga itu dapat memberikan jaminan 'sustainable livelihood' atau menjaga mereka untuk tidak jatuh lebih miskin dan membuat mereka harus merelakan/menjual aset-aset yang sudah mereka miliki atau membuatnya harus bekerja lebih keras lagi hanya dengan menuntut margin kecil.

Sehingga, inilah yang harus kita pertimbangkan secara bijak dalam pendampingan masyarakat nelayan. Perlu melihat asal usul dari perilaku-perilaku ganjil dan pengambilan keputusan yang dianggap tidak rasional, ternyata memiliki akar yang jelas, semata-mata untuk mempertahankan diri dari jebakan atau jatuh ke bawah level minimum subsistensi. Mendampingi nelayan, dapat berarti turut berperan dalam menjaga mereka hidup di atas batas subsisten itu, batas kenormalan itu.

**

Meski begitu, kita perlu mempertimbangkan pula para nelayan bebas. Yang dengan perahu kecilnya menangkap ikan, menjual secara bebas ikannya di pasar atau langsung dari rumah ke rumah, dengan meraup untung langsung dari sana. Nelayan-nelayan seperti ini masih memungkinkan untuk lepas dari kontrol pengumpul, dan jika manajemen keuangannya baik (literasi finansial), lebih bisa menabung dan bisa melakukan perbaikan aset dan akumulasi ekonomi.












0 komentar:

Moral Ekonomi Nelayan?