semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Kapabilitas A la Amartya Sen

 “Poverty is not just a lack of money; it is not having the capability to realize one’s full potential as a human being” Amartya Sen.


Kutipan peraih hadiah nobel Memorial dalam ilmu ekonomi tahun 1998 dan Bharat Ratna tahun 1999 ini bukan hanya terang benderang, tapi juga memperluas dan membuka cakrawala kita dalam melihat kemiskinan, apalagi dalam konteks pendampingan masyarakat. Menurutnya, kemiskinan itu bukan sekadar kurangnya uang/materi, tapi kurangnya kemampuan untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya untuk menjadi manusia seutuhnya.

Masyarakat, seperti misalnya masyarakat pesisir masih sering dilihat sebagai objek, makanya program-program selalu seputar pemberian bantuan, yang juga belum tentu tepat sasaran. Padahal, menurut Amartya Sen, yang perlu itu memastikan adanya kebebasan untuk mengaktualkan atau mengelola potensi atau kapabilitas individu bahkan kapabilitas komunitas. Memastikan penghargaan kuat pada potensi dan keunikan individu, kalau individu maupun komunitas memiliki cara-cara tersendiri untuk bertahan hidup, memiliki pengetahuan dan budaya yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.

Amartya Sen menekankan aspek kualitas hidup (quality of life) dan teori kesejahteraan/bertolak belakang dengan teori kemiskinan, makanya pendekatan kapabilitas perlu ditempuh. Seperti apa masyarakat dalam mengelola kemampuannya untuk menjadi sesuatu, atau kemampuan untuk melakukan sesuatu/kemampuan untuk berfungsi di kehidupan sosial. Misalnya seorang nelayan, sejauh mana nelayan mengelola pengetahuan teknis yang ia miliki, nilai-nilai etika dalam melaut, kendalinya terhadap lingkungan hingga mengolah keberanian individunya untuk bertahan di tengah badai. Jika kita bandingkan misalnya diri kita dengan mereka, mereka itu memiliki kemampuan yang besar untuk beradaptasi dengan alam.

Misalnya pula petani rumput laut, seperti apa seorang petani rumput laut dalam memanfaatkan laut di sekitar rumahnya untuk dijadikan lahan budidaya, seperti apa ia mengatasi tantangan untuk selalu berada di dalam air dalam kondisi lembab dan panas terik. Seperti apa ia mengelola individunya untuk selalu disiplin dalam merawat alga/rumput laut hingga tiba di usia panennya dan ia memperoleh uang dari jerih payahnya itu. Saya kira itu merupakan keberanian-keberanian besar dalam hidup, mereka rela untuk bersakit-sakit secara fisik, diterpa angin, dibasahi air laut demi suatu hasil, berupa uang yang nantinya digunakan untuk melengkapi kebutuhan sehari-hari, serta digunakannya untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka.

Dalam pandangan Amarya Sen, setiap individu berbeda dan tak dapat digeneralisasi, adanya kondisi keluarga yang berbeda, kondisi kesehatan yang berbeda, asal usul, hingga kondisi alam yang membentuk mereka berbeda, hal ini tentu menuntun kita pada perbedaan kapabilitas. Makanya, dalam pemberdayaan penting untuk meneliti aspek-aspek itu, pun harus dilakukan secara partisipatif. Sehingga, diketahui urusan manusia bukan sekadar nilai materi/kepunyaan terhadap aset ataupun modal, tapi juga aspek-aspek yang lebih luas, misalnya kesehatan tubuh, keberfungsian tubuh yang baik dan kemampuan untuk hidup hingga usia tua dan renta. Kemampuan untuk hidup secara sosial, berkontribusi secara sosial dan adanya pengakuan sosial. Hal ini terjadi karena dalam masyarakat itu masih terdapat nilai-nilai yang diusung secara bersama, untuk saling topang menopang untuk bersama-sama bergerak maju dan tidak jatuh begitu jauh ke jurang pada saat kondisi paceklik misalnya. Belum lagi diukur kualitas hidup seseorang, jika seseorang itu memiliki pandangan dan penalaran yang baik, memiliki nilai-nilai luhur, kepercayaan dan keyakinan teguh pada adat atau pada pandangan-pandangan tentang kebenaran.

Makanya, penting sekali untuk menggali khasanah budaya atau pengetahuan/kearifan masyarakat setempat. Lewat interaksi beribu-ribu tahun, beratus ratus tahun dalam lingkungannya, selalu ada consensus atau kesepakatan bersama antar individu dalam berinteraksi atau beradaptasi dengan alam. Seperti yang dicontohkan oleh komunitas masyarakat Adat Baranusa yang berada di daerah Pantar Barat, Pulau Pantar Kab. Alor, dengan tradisi hading dan Hoba mulung atau buka tutup Kawasan perairan untuk lokasi penangkapan ikan. Juga pandangan umum masyarakat Alor terhadap lokasi-lokasi yang dianggap keramat dengan istilah Pur atau larangan masuk dan mengambil sesuatu. Juga pandangan umum mengenai nilai-nilai persaudaraan, persatuan, kebersamaan, satu asal usul, yang dipupuk melalui praktik ritual doa bersama, kumpul bersama, bersenandung dan menari bersama. Sehingga, seberat-beratnya konflik, selalu dicarikan jalan keluar yang paling aman. Meski tidak dapat dipungkiri, nilai-nilai ini kadang-kadang tidak meresap secara mendalam pada sebagian orang dan mungkin justru disepelekan karena dianggap tidak sesuai dengan kondisi saat ini.

Itulah sebabnya, menarik untuk melihat masyarakat dalam sudut pandang kapabilitas ini. Ditambah lagi suatu sudut pandang yang juga melengkapi, yang disebut penghidupan berkelanjutan. Mulanya didefenisikan oleh Chambers dan Conway dalam sebuah kertas kerja pada 1992; ‘Sebuah penghidupan yang terdiri atas kapabilitas, asset (termasuk sumber-sumber material dan sosial), dan kegiatan mencari nafkah. Sebuah penghidupan dapat disebut berkelanjutan apabila dapat mengatasi dan pulih dari tekanan dan guncangan, mempertahankan atau menguatkan kapabilitas dan asset, tanpa menyusutkan basis sumberdaya alam’.

Olehnya itu, pendampingan masyarakat sebaiknya meneliti aspek-aspek penghidupan berkelanjutan (Sustainable Livelihood) atau kemampuan manusia dalam mencari nafkah, baik dalam kondisi baik maupun kondisi sulit. Seperti apa seorang manusia dan komunitas manusia dapat bertahan-sintas pada saat terjadi guncangan/shock akibat bencana alam, pada saat krisis ekonomi, pada saat krisis politik, adanya gejolak sosial, seperti apa mereka mengelola asset-asetnya baik asset fisik, sumberdaya manusia, infrastruktur, finansial, maupun asset kultural dan simbolik yang kemudian mereka berinteraksi satu sama lain dalam penghidupan yang otomatis juga dipengaruhi oleh hukum/kebijakan, aturan-aturan, nilai-nilai masyarakat setempat, hingga tergantung betul dengan keberfungsian kelembagaan sosial dan ekonomi, yang menuntun mereka untuk menetapkan strategi-strategi tertentu dalam mengelola itu, agar mereka dapat bertahan dan melewati situasi-situasi sulit dan tetap dapat bertahan hidup atau berhasil melakukan akumulasi modal untuk memperkaya kemampuannya dalam menjalani hidup.

Misalnya dalam konteks masyarakat nelayan, apa yang mereka lakukan pada kondisi badai dan tak dapat melaut hingga berbulan-bulan? Sebagian dari mereka mungkin dapat bertahan hidup dengan mengandalkan tabungan yang masih ada, Sebagian lainnya harus menggarap kebun di bukit yang sudah lama tidak diperhatikan, Sebagian lagi mungkin beralih profesi menjadi tukang cukur, kerja dibengkel, buka warung, Sebagian mungkin merantau ke kota untuk menjadi kuli, dan Sebagian lagi tetap melaut dengan resiko besar direnggut oleh maut. Setiap orang memiliki kemampuan dalam mengelola asset, baik fisik maupun pengetahuan dan keahlian, termasuk juga jaringan dan akses-akses terhadap pasar kerja yang lain.

Tanpa pemahaman seperti ini, yakin kita akan dirundung kebingungan, karena selalu melihat pendampingan tidak berdampak baik, padahal barangkali, dengan mengajak mereka berdiskusi, dengan memahami mereka, dengan membuka akses mereka terhadap regulasi, terhadap pasar, juga membuka wawasan mereka tentang konservasi dan pentingnya menjaga laut, itu sudah sedikit membantu mereka dalam mengelola asset mereka, dalam penentuan strategi mereka dalam menjalani hidup.












0 komentar:

Kapabilitas A la Amartya Sen