semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Ada ‘Makassar’ di Festival Lego-Lego Alor

 Sore itu, Jumat, 16 Juni 2023, saya sengaja ke lapangan, tempat expo Alor berlangsung, siapa tahu ada kejutan lagi di sana. Setibanya di lokasi terlihat beberapa anak muda sedang adu tari, sepertinya lagi gladi resik. Tahu-tahu, memang tidak lama lagi mereka akan berlomba menampilkan tari lego-lego di masing-masing kecamatan. Wah, ini tak boleh lewat, saya pun sudah menempatkan diri di sudut kursi tamu. Beruntung, saya masih memperoleh satu kursi untuk pengunjung umum yang tiba-tiba saja ditinggalkan.


Penampilan tari lego-lego memperlihatkan kekhasannya masing-masing, mulai dari adat Suku Abui yang mewakili Alor Tengah Utara, kemudian dari Alor Barat Daya, Kabola, Pantar Timur dan Teluk Mutiara. Satu penampilan yang membuat saya penasaran, yaitu dari Alor Barat Laut (Abal), yang memperlihatkan campuran budaya, dalam hal ini budaya Bugis Makassar.

Bagaimana tidak, Tari Tumbuk Padi dan Tari Tampi menyatu dalam Lego-lego anak-anak muda Abal, tepatnya sanggar tari atau murid sekolah salah satu desa di Abal, yaitu Alor Kecil. Seorang gadis berbusana Baju Bodo berwarna hijau, diapit dua dayang-dayang berwarna merah duduk di kursi, ia sedang disambut oleh tari-tarian warga Alor Kecil berupa tari tumbuk padi dan tampi, dengan busana tenun alor yang melingkari badan dan kepala mereka. Habis itu, peragaan tari perang, dengan lenggak-lenggok patah-patahya, lalu diikuti dengan gerak melingkar dalam lego-lego, dimana putri bugis Makassar dan dayang-dayangnya ikut bergabung. Orang-orang bertepuk tangan. Gong berbunyi yang menunjukkan waktu habis, tapi mereka tetap bergerak dalam lego-lego, hingga lagu tuntas.

Dalam saat itu, saya ikut arus, ikut menikmati dan ada di dalamnya. Walaupun khasanah pengetahuan tentang itu sangatlah minim, tapi saya merasakan semangat persaudaraan, ikatan yang terjalin sudah demikian lama, yang saling bergantung satu sama lain, antara orang Alor dengan orang Makassar sebagai panggilan kolektif, tepatnya di Alor Kecil. Sebagai orang yang berasal dari Jazirah Sulawesi Selatan, penampilan ini memberi wawasan budaya, kalau orang Bugis Makassar diterima dengan baik di kampung ini, dan sebagai keturunan Bugis, saya merasakan kenyamanan secara budaya, setidaknya begitu.

Saya mengingat lagi perjalanan pertama dengan tujuan ke Alor Kecil adalah untuk berbelanja. Hari pasar orang Alor Kecil yaitu hari Jumat pagi. Saat itu kami membeli sotong dengan harga Rp. 30.000, kemudian membeli telur ayam kampung, lalu nanas tiga buah yang harganya Cuma Rp. 5000. Belum lagi di sana juga banyak/beragam jenis ikan pelagis maupun ikan karang, juga kain tenun, khas Ternate, Pura, Buaya juga ada di sana. Apakah ada jejak Makassar di sana?

Dari artikel Abdul Rachman Pantji tentang “Makassar Nama Kolektif: Masyarakat Migran Sulawesi Selatan di Alor Kecil, Kab. Alor” diketahui kalau profesi orang-orang Makassar di Alor Kecil rata-rata sebagai pedagang pasar, toko dan warung, juga sebagai pedagang antara atau biasa disebut papalele (baik laki-laki maupun perempuan). Papalele sendiri dalam versi bahasa Bugis Makassar adalah memindahkan barang (Mappalele). Mereka tidak berprofesi sebagai nelayan, karena saat itu, ketika mereka tiba di abad ke 17 akibat kurang tentramnya kehidupan di Sulawesi sebagai efek perjanjian Bongayya, yang mana Belanda melakukan monopoli perdagangan, sudah ada masyarakat nelayan di Alor Kecil.

Kebiasaan hari pasar saat ini adalah bentukan inisiatif di masa lalu. Dahulu belum ada pasar tetap, sehingga kapal-kapal orang Makassar yang sebenarnya campuran dari beragam etnis ini, yiatu Bugis Wajo, Bugis Bone, Makassar, Arab, Ambon, dan Cina-Makassar, dengan sebutan kolektif Makassar, berganti-ganti lokasi setiap harinya, di samping terdapat hari istirahat. Kampung-kampung yang didatangi adalah pesisir laut di pulau-pulau sekitar Alor Kecil. Dengan kapal-kapal dagangnya, mereka mengangkut kebutuhan sehari-hari seperti minyak, pakaian, beras, sisir, dan lain-lain. Akhirnya, muncullah inisiatif hari pasar pada masing-masing kampung, yang berlaku hingga saat ini.

Dalam artikel Abdul Rachman Patji, mereka tiba di Alor kecil pada 1669, dua tahun setelah perjanjian Bongayya, lebih karena motif perdagangan. Mereka bertolak dari Paotere menuju Sumbawa-Bima, kemudian ke arah timur Flores hingga tiba di Alor. Selama tahun-tahun awal, mereka tidak menetap, tapi bolak balik membawa barang dagangan, seperti bawang, beras, buah sirih, pisang, lada, buah lontar) dari Sulawesi, dan membawa hasil-hasil laut seperti teripang, sirip hiu, dan kayu cendana. Setelah belasan tahun berdagang, Sebagian kapal memilih untuk menetap di Alor Kecil, yaitu Erom Palea-Perahu Bugis Bone, Tamalatea-Perahu Makassar, Bondeng Mamai-Perahu Wajo, Bintang Betawi-Perahu Cina. Ada juga perahu yang singgah di Baranusa, Pulau Pantar. Alasan mereka menetap, karena situasi perdagangan di Makassar sudah semakin sulit, sebagai konsekuensi Perjanjian Bungayya.

Keputusan mereka untuk menetap disambut baik oleh pihak Alor Kecil. Lagoga, sebagai Ketua rombongan yang berasal dari Wajo mendatangi Salabatu (suku Baorae Alor Kecil) serta ke ‘Fetor Farnaka’ yang merupakan aparat raja, yang mengantarnya bertemu raja Bololang, raja Alor Besar/Bunga Bali. Raja Bungabali menyambut baik, dan memerintahkan anggotanya untuk memberi tanah kepada rombongan Lagoga, di sekitar Makapaning hingga Fatang Tanimenang. Sebenarnya tanah ini milik suku Baoraja, tapi suku ini mematuhi perintah raja, selain itu mereka lebih banyak tinggal di wilayah pegunungan. Akhirnya daerah pesisir Alor kecil ini juga disebut sebagai Baoraja Bawah/Baoraja Pantai/atau saat ini disebut Kampung Makassar. Pun akhirnya orang-orang Kampung Makassar ini sudah dianggap satu kelompok suku diantara 7 kelompok Suku di Alor Kecil (asal muasal masing-masing kelompok ini berbeda-beda, ada Alokae-penduduk asli, Atauru-dari Timor, Baoraja-keturunan Jawa, Geilae-dari Kabola, Lekaduli-keturunan Munaseli dan Pandai, Manglolong-Pulau Pantar).

Kehadiran orang Makassar ini menyumbang banyak pembaharuan di Alor Kecil dan sekitarnya. Mereka menghadiahkan tanaman kelapa kepada raja-raja di Alor. Pohon kelapa pun di tanam di beberapa wilayah pesisir di Alor. Mereka juga membawa bibit pohon lontar untuk di tanam, selain pisang, bawang, dan lada, dan lain-lain. Abdul Rachman Pantji juga menceritakan bagaimana orang Makassar di awal-awal melakukan inisiatif penggalian sumur, sehingga warga kerajaan Alor dapat menikmati air tawar dari tanah, tanpa harus bergantung pada air hujan. Beberapa sumur di Alor kecil diberi nama sesuai dengan pembuatnya, seperti Wei Khoa, untuk menghormati seorang Cina-Makassar yang Bernama Khoa, ada sumur Wei Goga, Wei Laudu, dan Wei Makassar untuk mengenang seorang Makassar bernama Daeng Saji.

Dari penjelasan Abdul Rachman Panjti dalam Jurnal Masyarakat & Budaya Volume 11 No. 2 tahun 2009 itu, orang Makassar di Alor Kecil sudah generasi kelima, dan banyak di antara mereka belum pernah menginjak kampungnya di Sulawesi Selatan. Untuk menjaga dan mempertahankan identitas, mereka mendirikan dan memelihara rumah adat panggung yang cukup besar. Rumah panggung dengan tiga bagian (tellu lontang) itu satu-satunya di Alor kecil dan diberi nama “Uma Adat Watang” atau rumah adat pantai.

Dan, tarian persembahan dari Alor Barat Laut pada malam itu, sebagai ekspresi penerimaan orang Alor Barat Laut-Alor Kecil kepada orang Makassar. Sebagai orang yang juga dari Sulawesi Selatan, dengan Ayah Wajo dan Ibu Bulukumba, saya pun mengucapkan TERIMAKASIH.








0 komentar:

Ada ‘Makassar’ di Festival Lego-Lego Alor