Sudah enam hari kami di Kecamatan Buko Selatan. Mulanya pada Senin, 29 Juli 2024, kami berangkat pagi benar dari Kota Salakan. Kami bergerak mengitari pesisir Pulau Peleng dan beberapa kali keluar masuk kampung yang berada di antara hutan. Perjalanan kami seharian itu diselingi hujan, jadinya kami beberapa kali singgah berteduh, seperti di Patukuki dan Bulagi, dan persinggahan cukup lama di tepi danau Paisupok, Desa Luk Panenteng.
Rasa lelah mengendarai motor selama tiga jam sirna bertemu danau serupa cermin tembus pandang berlayar hijau kebiruan. Sihir Paisupok seperti tak hilang, bahkan setelah hari-hari berlalu. Rasanya ingin menceburkan diri, merasakan dinginnya air, dan melihat potongan-potongan kayu besar yang menjadi latar. Kejernihan sebagai keindahan, betul-betul nyata di Paisupok. Kami pun tiba petang hari, langsung ke penginapan Bumdes Lumbi-Lumbia yang terletak di dermaga.
Selasa, 30 Juli 2024, Dari Lumbi-Lumbia kami ke Desa Sapelang. Di sana ada pertemuan dengan Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas) kawasan perairan Desa Sapelang. Desa yang diapit oleh dua teluk kecil ini memiliki sumberdaya laut yang melimpah. Ikan baronang berukuran betis orang dewasa selalu bermain di kolam laut itu. Nelayan beberapa kali menemukan bayi/juvenil ikan napoleon berkeliaran. “Hole itu menjadi tempat bertelur ikan napoleon,” kata Ahing, ketua Pokmaswas. Saat kami ngobrol dengannya Bersama anggota Pokmaswas dan aparat desa di Kantor Desa Sapelang.
“Saya bisa menunjukkan Lokasi teripang berada,” kata Abdul, anggota Pokmaswas yang duduk di sebelah Ahing. Lobster turut bermain-main di sana, belum lagi Kumpulan ikan selar yang di banggai disebutnya ikan kadompe. Jangan pula ditanya ikan karang, sebab masih terdapat terumbu karang berukuran lapangan futsal yang memagari teluk. Ahing pernah menemani turis untuk snorkeling di sana. “Dulu juga pernah tumbuh rumput laut di teluk, ramai-ramai orang pigi panen,” kata Ahing.
Begitu halnya Ketika kami diskusi dengan Pak Agung, Kepala Desa Landonan. “kumpulan ikan kue-Baubara biasa bermain-main di teluk. Itu seperti serok, saat ikan masuk akan sulit keluar. Saya Bersama Idham Farsha obrol lepas dengan nelayan Landonan pada sore hari, Rabu, 31 Juli 2024. Teluk Landonan ini kaya akan gurita. Mereka mencari gurita pada November hingga April, dengan puncak pada Februari. Pada musim lain mereka memancing cakalang di rumpon yang terdapat sekitar 2 mil dari lepas pantai atau memanah ikan pada malam hari. Biasa juga mereka mencari lobster dan teripang. Jika musim badai, Sebagian dari mereka menjadi buruh petik cengkeh.
Namun, kekayaan laut ini menghadapi satu soal besar. Pengeboman ikan masih terus meletup. Termasuk belum lama berselang, pada 24 Juli 2024, mereka memergoki pengeboman ikan yang membuat ratusan ikan kadompe terkapar di perbatasan laut Desa Sapelang dan Labangun. Pelaku pun digelandang oleh Pokmaswas bersama Babinsa (Bintara Pembina Desa) ke Polsek Bulagi untuk dimintai keterangan.
Hari itu Pokmaswas buka suara, pengeboman ini musuh lama yang sulit diberantas. Pelaku ada di hampir semua desa pesisir Buko Selatan. Mereka pun merasa kewalahan, sebab setiap pelaku ditangkap, selalu saja dapat bebas setelah beberapa hari ataupun beberapa bulan. Apalagi para predator (pengebom kelas kakap), mereka sepertinya punya pelindung. “Tapi, kita tidak memiliki bukti, jadi cuma sampai di situ saja,” kata Pokmaswas.
“Bahkan, pa’dola (penjual ikan dengan mengendarai motor) jengkel ke kami. Sebab, kalau nelayan tidak mengebom, ikan jadi kurang,” lanjut Pokmaswas. Memang, menurut informasi, ikan melimpah di pasar jika ada pengeboman. Jika ikan banyak di siang hingga sore hari, disinyalir ada pengeboman, sebab pengebom biasanya melakukannya pada pagi hari. Beberapa kali kami makan di warung dan memesan ikan, kemungkinan itu dari hasil bom ikan, karena tulangnya patah.
Kami beruntung dapat informasi detail dari Pokmaswas, ini juga menunjukkan mereka aktif bekerja jika dibandingkan misalnya pokmaswas di daerah lain, yang selalu mengeluh keterbatasan peralatan dan anggaran. Meski begitu, tentang bom ikan ini sudah seperti benang sengkarut, kita perlu urai satu persatu. Radar kecil kita pun harus tegak, sebab, seperti kasus kejahatan massif yang lain, biasanya bukanlah kejahatan satu atau dua orang dan tentu dipicu oleh banyak penyebab.
Kami mendatangi desa-desa sekitar Lumbi-Lumbia pada hari-hari berikutnya, seperti Landonan, Labangun, Tatabau, hingga Matamaling dan Bonepuso. Umumnya kepala-kepala desa setuju dengan rencana pelibatan mereka dalam Komite Pengelolaan Perikanan dan Pesisir Lestari Banggai Kepulauan, yang beberapa hari lalu SK pengurus telah disetujui oleh Bupati Bangkep. Nantinya, para kepala desa turut berkontribusi dalam mengurangi hingga menghentikan destructive fishing atau penangkapan ikan secara merusak serta bersama-sama parapihak dalam penguatan program perbaikan habitat karang, mangrove dan lamun, juga pemberdayaan masyarakat pesisir.
Seperti ujar Om Hero dari Blue Alliance Banggai MPA 11-13, “laut harus segera diselamatkan, jika kita bersama-sama komitmen menjaga laut, sumberdaya ikan akan kembali baik dalam jangka waktu lima tahun. Tapi untuk terumbu karang, mungkin lebih dari seratus tahun”. Itulah sebabnya, kita tak dapat lagi mengulur waktu. Jika dibiarkan, terumbu karang yang masih baik saat ini, yang kemungkinan hanya tersisa 20 persen, akan berkurang, dan jika rumah ikan tidak ada, maka ikan pun lenyap dari muka bumi. Pertanyaan besar pun lahir, ikan apa yang akan dimakan anak dan cucu kita nanti?
Kepala desa menyambut yang baik adanya komite ini. “Di desa Lumbi-Lumbia sudah ada beberapa orang bersedia untuk membentuk satgas tolak pengebom ikan,” ujar Muhtar, Kepala Desa Lumbi-Lumbia. Bapak Agung, Kepala Desa Landonan pun mengatakan, “komitmen kita jangan hanya sampai ditenggorokan, harus sampai di hati”. Pak Achmad, Kepala Desa Labangun, bahkan dengan serius mengatakan akan melakukan pembinaan terhadap warganya yang terduga masih mengebom ikan. “Terus terang, saya sayang Masyarakat,” kata Ahmad. Penanganan pengebom ikan ini memang tidak harus dengan penangkapan yang ujung-ujungnya nanti menjadi bulan-bulanan, dapat juga dengan pendekatan kemanusiaan dan kekeluargaan. Membangun kesadaran warga dari hati ke hati dan memberikan alternatif pola hidup sehat dan bermanfaat. Sedangkan dari Pak Jalil, Kepala Desa Kambani, bersedia berkomunikasi dengan nelayan untuk menutup sementara sebagian kawasan terumbu karang yang menjadi habitat inti seperti tempat ikan bertelur. Jalil pun berniat untuk membangun konservasi ini dengan pendekatan budaya. Melalui penguatan budaya, para nelayan akan dididik kembali tentang tradisi dan nilai dari leluhur, dan mungkin akan tergugah kesadarannya untuk peduli menjaga warisan leluhur dalam bentuk budaya dan nikmat Tuhan yaitu sumberdaya alam dan keindahan alam.
Saya Bersama Idham Farsha selalu menyempatkan waktu berjalan pagi di lingkungan Lumbi-Lumbia, Landonan dan Apal, betapa bersyukurnya saya melihat pemandangan laut di pagi hari, rumah-rumah nelayan tampak bersahaja, lingkungan perbukitan yang asri, dan penduduk yang bersahabat. Tak jauh dari tempat kami menginap terdapat mata air dekat laut. Keindahannya mendekati Paisupok. Saya membayangkan, jika para pengebom ikan dan pihak-pihak yang mengambil manfaat darinya ini duduk sebentar memandangi laut, menghayati keindahan ini, sambil terhanyut memikirkan, apa yang telah saya perbuat, begitu tega saya merusakan alam ini, bagaimana nasib anak cucu nanti? Wallahualam.
0 komentar:
Posting Komentar