Sehari sebelumnya, Senin, 5 Agustus 2024, kami memperoleh informasi dari Pak Kisman, Sekretaris Desa Lelang Matamaling, kalau Kepala Dusun tiga Desa Lelang Matamaling tahu banyak mengenai pengeboman ikan. Bagaimana tidak, dia adalah mantan pengebom ikan. “Jari tangan kanan yang selamat tersisa 1 (telunjuk), yang lain hancur terkena bom,” ujar Kisman. Saya mendengarnya terkesima. Rasa kantuk akibat lelah terguncang-guncang di Balalon-Bonepuso hilang. Akhirnya dapat bertemu langsung, sebelumnya hanya dengar-dengar saja.
Bersama Hero Ohoiulun dan Idham Farsa menemuinya esok hari, Selasa, 6 Agustus 2024, di rumahnya yang berseberangan jalan dengan Kantor Desa Lelang Matamaling, Kecamatan Buko Selatan, Kab. Banggai Kepulauan (Bangkep). Kami diminta duduk di ruang tamu. Saya melihat-lihat dinding, ada dua hiasan tulisan Arab Ayat Kursi, pengurus desa yang tiba-tiba datang menimpali, “makanya banyak kursi di sini”. Suasana menjadi cair.
Mulanya obrolan seputar aktivitas nelayan, ternyata di desa tersebut sudah ada aktivitas penangkapan ikan Malalugis (layang) dengan menggunakan jaring kantong yang melingkari rumpon. Aktivitas penangkapan ini melibatkan hingga 15 nelayan. Karena itu, banyak pekebun juga ikut melaut untuk menambah penghasilan.
Saya memastikan nama tuan rumah dan kepala dusun tiga itu, “Pak Arman ya?”, “Saya Jimran,” katanya. Oh, saya salah ingat, Arman justru nelayan yang meninggal karena ledakan bom dua tahun lalu. Saya ingat kata Kisman, polisi minta almarhum langsung dikubur, mengingat sebagian tubuhnya yang sudah hancur.
Lalu saya menanyakan, sejak kapan berhenti menjadi nelayan? “Itu tiga tahun lalu, ya karena bencana”. Sambil matanya melirik telapak tangan kanannya. Perahu, mesin dan alat tangkap sudah dikasih orang. Sejak itu Jimran bergantung pada penghasilannya sebagai kepala dusun. Belakangan juga Jiimran diketahui sebagai penjual ikan keliling kampung.
Kami mencoba menanyakan alasan para pengebom ini tidak berhenti atau mencari alternatif lain selain mengebom? Jimran pun menjelaskan pengalaman sendiri, tidak bicara orang lain. “Saya melakukan itu, kalau lagi musim tangkap gurita, saya tangkap gurita. Tapi kalau musim berlalu, ya hanya dengan cara itu. Tidak ada cara lain. Ada cara lain, tapi tidak bisa menutupi kebutuhan. Yang bisa menutupi hanya itu. cukup banyak kebutuhan sehari-hari, utamanya makan,” jelas Jimran.
Jimran yang sejak kecil melaut ini sempat menyebut, pengebom di Lelang Matamaling ini adalah nelayan tulen, mereka tidak punya lahan di darat yang bisa digarap. Betul-betul hanya bergantung pada laut. Mereka juga sebenarnya mau berhenti dari pengeboman ini, sebab mereka tahu itu melanggar hukum, apalagi setelah melihat orang yang seperti Jimran, yang sudah menjadi korban bom. “Tapi mereka tidak menemukan jalan keluar, seperti pekerjaan lain yang bisa menutupi kebutuhan sehari-hari,” lanjutnya.
Hero menanyakan, apa alternatif yang pas untuk menggantikan pengeboman ini kepada Jimran?
Namun tak menemukan jawab. Tampaknya pertanyaan ini sulit dijawab, sebab harus melakukan penggalian secara spesifik orang perorang mengenai potensi dan hambatan-hambatannya.
Saya pun sekadar mencontohkan nelayan yang bernama Ato di Desa Ambelang, berhenti mengebom setelah menemukan potensi pasar kepiting di Kota Salakan, di samping perairan tersebut rimbun pepohonan bakau tempat kepiting bertelur dan mencari makan.
Saya teringat teori Amartya Sen tentang kapabilitas. Katanya, ‘kemiskinan bukan soal tidak adanya uang, tapi tentang kapabilitas’. Sepertinya, nelayan pengebom ataupun sebagian yang tidak mengebom, memiliki keterbatasan mengenai cara bertahan hidup. Mereka hidup cukup dengan satu dua cara, kalau bukan mengebom, memancing, menjaring. Sementara kebutuhan hidup kian lama kian meningkat. Memang saat ini mereka masih dapat hidup dengan mengebom, tapi pada titik tertentu di masa datang, ikan semakin sulit dicari. Kalau seperti itu so bagaimana?
Kita pun hidup seperti katak dalam air yang dipanaskan pelan-pelan. Karena begitu perlahan, ikan kian kurang karena terumbu karang hancur oleh ulah kita sendiri, bukan hanya pengebom, tapi kita semua, yang tidak serius menanggapi, menganggap sepele atau merasa tidak berdaya.
Kembali ke Jimran, ia tersentuh dengan hal ini, ia pun berniat membantu mencarikan jalan keluar, khususnya kepada para nelayan yang belum berhenti. “Saya mengerti bapak datang baik-baik, ini dapat kita bicarakan dari hati ke hati,” ujarnya. Kami pamit dan berharap banyak dari pertemuan ini. Saya mendekati Jimran, boleh saya tulis kisah bapak? Jimran bilang boleh, lalu kami foto berdua.
***
Di sisi yang lain, sore harinya, kami mendatangi Bapak Aboy Sudamara, Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Gurita Desa Landonan yang terbentuk dua tahun lalu dan memperoleh pendampingan penyuluh perikanan Banggai Kepulauan. Ia baru pulang dari kebun setelah memanen ubi banggai. Aboy bilang kelompok yang telah memperoleh bantuan kapal dan mesin ini tidak melakukan pengeboman, pembiusan dan penggunaan kompressor, karena dilarang oleh pemerintah. Saya menanyakan, apakah anggota kelompok semua punya kebun, Aboy bilang, cuma satu yang tidak punya kebun atau nelayan tulen. Sepertinya kepemilikan kebun dan aset membatasi nelayan untuk melakukan destructive fishing.
Sementara di Dusun 4 Desa Landonan beberapa hari lalu, kami bertemu nelayan muda bernama Adiel. Sehari-harinya dia melakukan panah malam di perairan yang jauh dari kampung, yaitu di perairan Paisubatu. Pada saat-saat baik, nelayan ini dapat memperoleh 1 sampai 2 boks ikan karang (kakap, kerapu, ekor kuning, katamba, dll), dengan penghasilan Rp. 500.000, biasanya antara Rp. 100.000 hingga Rp. 200.000. Ketika Idham Farsa menanyakan apakah dia tidak memancing, Adiel bilang, itu bukan jurusannya. Tampaknya, lagi-lagi, ini soal cara dan soal bertahan hidup.
Perjuangan hidup pun harus ditempuh Joni, nelayan landonan, mantan pengebom yang pernah ditangkap dan dipenjara selama 6 bulan di Palu, Ibukota Sulawesi Tengah. Ia mengebom pada saat musim badai, dimana nelayan tidak dapat memancing dan mencari gurita. Sementara ia harus mencari uang untuk kebutuhan rumah tangga. Sekali mengebom ia dapat memperoleh Rp. 100.000-Rp. 500.000 (mungkin bisa jauh lebih besar dari itu). Selepas dari penjara harus bekerja keras, apalagi pada musim paceklik. Saat ini solusinya, ia diajak Bapak mertua pergi memetik cengkeh.
Sepertinya, banyak nelayan di desa-desa yang ada di Buko Selatan berkutat pada urusan bertahan hidup atau biasa disebut subsisten (catatan sementara: banyak juga yang menganggap nelayan memiliki uang banyak, namun tidak terkelola dengan baik lantaran gaya hidup konsumtif). Mentalitas masyarakat subsisten menurut almarhum James Scott, dalam bukunya, Moral Ekonomi Petani” yaitu safety First atau dahulukan selamat. Tindakannya seputar itu, cara-cara apa yang dapat ia lakukan untuk bisa berada di atas garis subsistensi, bisa dengan cara yang sehat jika ia memiliki aset yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, dan bisa juga tidak sehat jika hanya itu cara yang dia ketahui atau dia punya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Hal ini tentu dengan turut mempertimbangkan streotive masyarakat nelayan, yang punya kecendrungan karakter pemburu-pengumpul, yang mana apa yang diperoleh hari ini, juga untuk hari ini saja. Ikan masih banyak di laut untuk ditangkap besok. Berbeda dengan masyarakat agraris yang punya kecendrungan untuk manajemen hasil kebun untuk jangka panjang atau biasa kita sebut sebagai lumbung. Nelayan tulen tampaknya tak punya lumbung, kalau petani terapkan minimalisir risiko, nelayan subsisten cendrung hidup penuh risiko.
Sepertinya, pendekatan penghidupan berkelanjutan (Sustainable Livelihood) bisa dipakai, walaupun belum tentu dapat menjadi resep. Untuk masyarakat nelayan, terkendala dari segi aset sumberdaya manusia (pengetahuan/skill), aset fisik (perahu dan sarana prasarana), aset keuangan yang mana kesulitan mengumpulkan modal, aset alam yang mana terumbu karang sudah banyak hancur dan sumberdaya ikan menurun, serta aset sosial dimana masing masing orang kurang mendukung satu sama lain. Belum lagi bicara pranata sosial dan budaya yang mempengaruhi aset-aset tersebut, yang nantinya menjadi juga mempengaruhi pengambilan keputusan dan pilihan pilihan hidup para nelayan.
0 komentar:
Posting Komentar