semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Pungut Sampah

 Baru kali ini kapal-kapal nelayan cukup banyak merapat ke pinggir laut, yang tak jauh dari rumahku di Salakan. Tampak seperti tempat pelelangan ikan. Padahal, kapal nelayan yang menjual ikan hanya satu saja. Itu kapal yang kemarin-kemarin. Membawakan warga Salakan ikan teri-lureh, ikan kadompe, ikan tombo-tombo ataupun ikan malalugis dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga ikan di pasar.

 

"Ya, ini sudah seperti TPI," kata Ferdy Salamat. Kadis Perikanan yang juga lebih dulu datang, dibanding para undangan lain. Kami pun ngobrol-ngobrol sebentar, sambil mengamati nelayan-nelayan Kampung Bongganan yang sebenarnya merapat ke acara BCL (Bulan Cinta Laut). Lamat-lamat, motor kian banyak terparkir, begitu pun mobil-mobil dinas. Wah, kursi-kursi yang tadinya menganggur, mulai sibuk dengan mencong sana sini.

 
Saya pun duduk di bangku kedua dari arah samping, agar dapat memotret tamu-tamu. Sambutan di mulai, oh ya, ini ternyata adalah kampanye cinta laut, dengan memungut sampah yang ada di pinggir laut. Lalu, kami pun diminta untuk bergeser, tapi jujur saat itu bingung mau bergeser kemana. Tampaknya para nelayan yang berjumlah sekitar 30an orang itu, sudah dibriefing terlebih dahulu. Mereka pun sulit dibedakan dengan orang-orang dinas, lantaran baju mereka sama, baju 'bulan cinta laut'. Tapi, sepintas wajah mereka lebih tegas. Orang dinas tidak gini-gini amat.
 
Mereka pun berebutan mengisi bahan bakar, lalu seperti berlomba masuk ke dalam Teluk Bongganan. Sekian menit pun kami sadar, untuk cepat menyusul mereka menggunakan motor, mencari titik-titik pengumpulan sampah. Jadilah saya bersama Al Aziz ke kampung Bongganan. Saya menepikan motor, dan menuju ke belakang rumah yang berhadapan dengan JNT Express.
 
Oh tidak, sampahnya memang tak menggunung, tapi mendalam, mirip lapis-lapis kerak bumi. Jika tak banyak sampah kayu di situ, mungkin saja kita terprosok, ibarat tersedot lumpur hidup. Bayangkan kamu menggapai-gapai dan mendapatkan popok dalam plastik terbuka, lalu crot.
 
Beberapa perahu merapat membawa karung, kami pun menggunakan karung itu untuk memungut satu persatu sampah plastik. Masya Allah, berkarung-karung sampah, dan perahu bolak-balik mengambil karung, hanya membuat perbedaan tipis dengan sebelum sampah dipungut. Sepertinya, membersihkan sampah ini tak dapat sekadar BCL, tapi memang butuh Pandawara.
 
Nelayan-nelayan gercap memungut sampah, yang entah dari tahun berapa dan asalnya dari mana. Lalu dibawanya ke pinggir laut depan SMA 1 Tinangkung. Di situ ada truk sampah dan petugas yang siap memindahkannya ke truk. Karung-karung pun dihitung, kelompok mana yang paling banyak karungnya, akan menjadi juaranya. Terlihat sumringah nelayan yang memperoleh hadiah. Lumayan juga untuk belanja anak-anaknya jajan sore hari, atau beli beras untuk hidup satu minggu.
 
Seru juga hari itu, pungut-pungut sampah ternyata menggembirakan. Saya merasa seperti membersihkan kotoran sendiri. Saya membayangkan kepuasan setelah bersih-bersih kotoran sendiri. Tak jauh beda ternyata. Perasaan ini pernah saya rasakan dulu, bertahun-tahun lalu, sewaktu sering diajak tanam mangrove. Tiba-tiba merindukan masa-masa itu. 😃
 
Saya obrolkan hal ini ke Zikran, sebab sayang sekali kalau cuma Bulan Cinta Laut, tapi harus lanjut menjadi "Bongganan Cinta Laut". Orang-orang laut mengatur sampahnya sendiri dan membersihkan lingkungannya sendiri. Gimana Bung?











0 komentar:

Pungut Sampah