Tahun 2008 ini, lagi-lagi kebebasan pers mendapat ujian berat. Khususnya yang terjadi di Makassar pada Mei lalu yang berkelindan hingga November sekarang. Oknum-oknum tertentu sudah mulai memasang belenggu, berupaya mengaburkan hak-hak dan kemerdekaan pers dengan menabrakkan undang-undang pers no. 40 1999 dengan undang-undang hukum pidana. Tentunya ini telah merisaukan para jurnalis, karena mengancam kebebasannya bertindak dan bekerja secara profesional.
Secara gamblang, Kapolda Makassar bisa disebut sebagai dalangnya. Ia dengan terang-terangan mengintervensi wartawan dengan pernyataannya bahwa wartawan itu cendrung provokatif, jadi jika ada pelanggaran yang dilakukan wartawan jangan sungkan-sungkan melaporkannya ke kantor polisi. Tentunya ini bertolak belakang dengan ketentuan di Undang-Undang pers no. 40 yang mengenal hak jawab. Namun, lebih jauh lagi Undang-undang pers no. 40 itu dianggapnya belum lek spesialis, artinya masih bisa diperdebatkan karena masih tumpang tindih dengan hukum pidana.
Berbicara pada ranah hukum, wartawan memang belum bisa terlalu mengandalkan UU. No. 40, karena di undang-undang itu sendiri masih banyak hal yang perlu dilengkapi seperti mekanisme hak jawab dan perlindungan wartawan. Tapi persoalannya bukan pada titik itu saja, lebih bisa disebut berada pada wilayah nilai yang diperjuangkan. Karena jika UU itu tak dihormati, pastinya wartawan kedepannya akan disibukkan dengan urusan hukum setiap saat ia meliput hal-hal yang sensitif, seperti kasus korupsi atau semacamnya. Orang yang dicurigai dengan cepat dan gampangnya mengadukan wartawan ke pengadilan lantaran mencemarkan nama baik. Dengan begitu, kebebasan wartawan akan terbelenggu, mereka pun tak lagi fokus pada persoalan-persoalan yang diadvokasinya yang tentu lebih penting bagi masyarakat umum.
Hal ini secara tidak langsung akan mematikan demokrasi yang pelan-pelan dibangun di Indonesia pasca reformasi 1998. Pasalnya, demokrasi baru bisa tumbuh dengan adanya kebebasan masyarakat. Kebebasan berekspresi, bersuara, berpendapat dan berkumpul. Dan kebebasan itu baru bisa diperoleh dengan bantuan prangkat media massa, sebagai lidah, telinga dan mata publik. Dengan demikian demokrasi yang merupakan sistem politik yang bersendikan kedaultan rakyat, dimana rakyat dapat berpartisipasi dalam proses politik dapat berjalan lancar. So.. jika pers dihalang-halangi maka kesempatan masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya tadi akan terhambat.
Pers adalah pilar ke empat demokrasi, jika ketiga pilar lainnya yakni Parlemen, eksekutif, dan Yudikatif belum dapat dipercaya, pilihan tepat untuk kita jadikan pedoman adalah pers. Pers bukan sekadar mengkritik pemerintah atau sistem yang melingkupinya, tapi juga turut meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa. Jangan sampai tindakan untuk tidak menghormati UU Pers no. 40 ini adalah upaya untuk membawa kita ke iklim otoriter seperti sebelum jatuhnya rezim Suharto. Pada saat itu pers tak punya gigi untuk mengkritik, kalau taringnya tumbuh, dengan cepat dirontokkan. Beragam kasus yang telah merekam tindak kriminalisasi pers pada saat itu, macam pembredelan media yang kritis.
Sepertinya ini cocok dengan prinsip holisme historis P.K Ojong, pendiri penerbitan Harian Kompas, yang selalu melihat peristiwa kecil dalam proses sejarah yang besar. Dalam etos P.K Ojong menanam sebatang pohon di halaman rumah adalah bagian dari rencana nasional untuk penghijauan, sedangkan menebang sebatang pohon di pinggir jalan adalah awal dari hancurnya lingkungan hidup.
Dengan demikian, tentu kita menginginkan peristiwa di atas adalah awal kematian demokrasi di negeri tercinta ini...
Tajuk Awal November 2008
PK. Identitas Unhas
Idham Malik
1 minggu yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar