Tak pernah terlintas di benak bahwa pada hari itu, Kamis, (28/2) tawuran mahasiswa Unhas kembali meletus. Peristiwa saling lempar batu yang memakan belasan korban ini sontak menghebohkan media. Dalam sehari, berita tawuran Unhas dapat tanyang di layar kaca hingga tiga kali. Media cetak lokal pun berlomba-lomba mewartakan tawuran pada halaman pertama (headline). Gempuran media pada premanisme mahasiswa ini pastilah menuai sorotan negatif masyarakat luas.
Prof Idrus yang saat itu turun langsung meredam egoisme mahasiswa mendapat pukulan telak. Upaya menghalau tawuran dalam dua tahun terakhir ternyata kurang ampuh. Seperti bom waktu, tradisi kekerasan itu akhirnya meledak, sembari mencemarkan citra Unhas yang selama ini perlahan Prof Idrus bangun.
Oknum provokator yang belum diketahui identitasnya itu sepertinya menjadi pahlawan. Ia membuka kran pelampiasan hasrat sebagian mahasiswa untuk berontak dan berekspresi. Memuaskan nafsu primitifnya untuk menghabisi lawan yang dapat dikatakan masih abstrak. Tercipta perasaan bangga jika turut andil membantu komunitasnya. Momentum itu pun dijadikan lahan untuk memupuk solidaritas kelompok dan menguji semangat juang para tamu baru.
Dalam bahasa Eric Fromm kekerasan macam ini sudah menjadi kebutuhan (need) dan mesti disalurkan. Menjadi semacam nafsu, layaknya nafsu makan. Kalau tak disalurkan akan terjadi ketakseimbangan, seperti air yang terhalangi, tentunya akan menempuh jalan lain.
Tawuran dapat terjadi karena semangat fakultas yang terlalu membuncah, dimana terdapat fakultas yang tampak agung dan menafikan yang lain. Peristiwa tawuran menjadi medan penanaman nilai superioritas kelompok dan aplikasi doktrin egoisme. Hal ini tampak dengan diliriknya motif peristiwa yang ternyata dipincut lantaran persoalan sepele. Kemudian memotivasi yang lain untuk bergabung dengan alasan solidarisme.
Bisa jadi tawuran sebagai buah kekerasan struktural yang hingga kini belum menemukan obat mujarab. Bermula dari tradisi primitif yang melahirkan kebodohan natural manusia, dimana kekerasan menjadi dalih utama untuk memperkuat mental dan solidaritas sebelum terlibat jauh di kampus. Sikap represif senior menumbuhkan perasaan takut dan tertekan yang akhirnya menumpulkan kritisme mahasiswa baru. Kran kebebasan itu ada yang baru terbuka setelah setahun aktif kuliah. Belum lagi dalam perkuliahan disuguhkan dengan berbagai kesulitan dan tekanan tugas yang bejibun. Menjadi tipe kekerasan yang tak kasat mata. Tentunya ini dapat memicu lahirnya kekerasan baru lagi sebagai ajang balas dendam dan pelampiasan diri. Seandainya perang batu tak terjadi, tetap akan menunggu antrian penularan kekerasan pada objek lain. Entah pemukulan atau hal-hal destruktif karena menjadi kepribadian yang mungkin sudah mendarah daging.
Barangkali, fenomena tawuran dapat dikaitkan dengan rumusan teori Dom Helder Camara. Camara menganggap bahwa kekerasan lahir dari kekerasan sebelumnya, semacam rantai atau spiral kekerasan. Pertama adalah adanya ketidakadilan lalu disusul pembrontakan sipil. Celakanya pembrontakan itu dihantam dengan kekerasan penguasa. Makanya kekerasan akan terus berputar-putar dalam lingkaran itu. Untuk memutus rantai itu, Camara menerapkan gerakan tanpa kekerasan. ”satu-satunya jawaban yang benar adalah keberanian untuk menghadapi ketidakadilan yang mendorong lahirnya kekerasan nomor satu...,” kata uskup sekaligus pekerja sosial ini.
Melirik Unhas, apakah ketidakadilan masih ada di Unhas? Pastilah ada. ketidakadilan yang menimpa mahasiswa akibat kekerasan struktural yang menimpanya saat masuk. Masih adanya perlakuan represif birokrat dalam menata lembaga mahasiswa. Belum terbangunnya solidaritas universitas, dimana semangat ke-Unhasan masih bersifat parsial. Iklim berakademik yang kadang kaku dan membosankan.
Untuk tak jatuh di lubang yang sama, Unhas mesti mengamati secara holistik dan sistemik. Bukan hanya dengan dalih ketegasan lantas men Drop-out beberapa mahasiswa untuk menjadi tumbal, tapi juga dibutuhkan pola pembinaan mahasiswa yag lebih intens. Rektorat, dekan, dosen, mahasiswa harus bekerja sama melahirkan iklim akademik yang membebaskan dan tanpa tekanan. Karena kekerasan akan melahirkan kekerasan baru lagi.
Perlu pula ditekankan bahwa musuh mahasiswa bukanlah mahasiswa beda fakultas, tapi yang sering kali hadir di layar kaca yaitu ketidakadilan berupa kemiskinan.
Tajuk Awal Maret, 2008
PK. Identitas Unhas
1 minggu yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar