6 hari yang lalu
Kalumpang, Tertinggal di Antara Gunung
Melihat Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju, seperti melihat masa silam. Masa ketika penjajahan fisik belum berakhir, sementara laju budaya berada di titik nol. Kecematan yang terletak lebih dari 80 kilometer dari Ibukota Provinsi Sulawesi Barat ini hingga sekarang masih terseok-seok keluar dari kurung keterpurukan.
Bagaimana tidak, beragam keterbatasan merubungi wilayah pegunungan itu. mulai dari akses jalan, pendidikan, kesehatan, pangan, hingga pola hidupnya. Jalan poros Kalumpang boleh dikata cukup mengkhawatirkan. Perjalanan dari Kota Mamuju ke daerah itu menempuh waktu hingga empat jam lebih. Sebab, ular hitam panjang itu berlubang-lubang, dipenuhi batu-batu seukuran lutut orang dewasa. Belum lagi jika mengamati jalan yang berkelok disertai tanjakan perbukitan yang mendebarkan dada. Sesekali pula menyeberangi sungai-sungai kecil, lantaran tak adanya jembatan penghubung di atas sungai. Makanya, sangat jarang mobil mewah memberanikan diri menerjangi jalanan ini, jika tak ingin melihat mobilnya kecapekan atau aus seketika.
Tentunya, akses jalan yang tak memadai ini telah menghambat mobilitas ekonomi di wilayah yang terletak di ketinggian 500 meter dari permukaan laut itu. para petani kakao mengalami kesulitan untuk menjual hasil perkebunannya. Begitu pula dengan hasil-hasil pertanian lainnya. Sehingga perputaran ekonomi sangatlah lambat. Hal ini berakibat pada tak menanjaknya tingkat kesejahteraan masyarakat. Mereka pun tetap bertahan dengan segala keterbatasan itu.
Berdasarkan data survei MDGs 2007, diketahui persentase penduduk miskin di kecamatan Kalumpang sebesar 97,5 persen. Data itu didapatkan dengan menggunakan pendekatan Koefisien Angel atau rasio pengeluaran makanan warga terhadap total pengeluaran.
Tak hanya menyangkut ekonomi, tapi juga berkenaan dengan bidang pendidikan dan kesehatan. Banyak warga Kalumpang yang tak lanjut sekolah ke tingkat atas lantaran sekolahnya berjarak jauh dengan akses sulit. Sehingga memaksa mereka untuk terlibat terlalu dini dalam dunia kerja, bertani ataupun berkebun. Kualitas pendidikan pun jauh berbeda di banding pendidikan di daerah-daerah yang akses jalannya baik. Di desa-desa terpencilnya, banyak sekolah yang hanya memiliki satu atau dua guru, lantaran tenaga pengajar yang baru terangkat selalu saja minta pindah lokasi jika ditempatkan di Kecamatan Kalumpang. Mereka rata-rata tak tahan hidup dalam lingkungan yang terisolasi dari informasi seperti di Kalumpang. Sehingga kualitas pengajaran dan frekuensinya tentu sangat berbeda dengan sekolah dengan guru yang memadai, belum lagi jika ditinjau dari kelengkapan sarana belajar dan gedung sekolah, yang setelah diamati juga sangat memerihkan hati.
Lantaran susahnya akses jalan, kelancaran masuknya obat-obatan ke Puskesmas ataupun Pustu di Kecamatan Kalumpang seringkali tersendat. Itu pun selalu saja tidak mencukupi, sehingga hanya dapat memenuhi kebutuhan obat untuk daerah-daerah terdekat pusat kecamatan saja. Daerah yang tak terjangkau itu pun akhirnya mengalah dan mungkin tak tahu menahu mengenai keberadaan obat-obatan itu. Selain itu, kecamatan ini juga mengalami kekurangan tenaga kesehatan, khususnya untuk daerah-daerah pedesaan di hulu-hulu bukit. Sehingga, jika terdapat warga yang sakit di daerah itu, sangat jarang yang tertangani dengan serius. Belum lagi fasilitas Puskesmas pembantu (Pustu) dan puskesdes yang sangat minim jumlahnya. Kader-kader kesehatan di pedesaan pun tampak ogah-ogahan menangani setiap kasus kesakitan di wilayah penanganannya.
Dari data sektor kesehatan tertoreh angka miris, bagaimana tidak, hampir dua pertiga balita di Kalumpang meninggal dunia, sepertiga bayi pun begitu, proporsi pemberian vitamin A hanya 5,32 persen, sedangkan proporsi jangkauan imunisasi tak dapat diidentifikasi. Penanganan kehamilan pun masih banyak di tangani oleh dukun. Sebab, tenaga bidan cuma beroperasi di wilayah pusat kecamatan saja, itu pun hanya satu orang.
Hal lain yang juga patut direnungkan adalah belum masuknya aliran listrik di kecamatan tersebut. Sehingga sebagian besar warga Kalumpang jarang menikmati siaran televisi ataupun radio. Jika masuk waktu malam, mereka pun menerangi rumahnya dengan lampu minyak. Bertahan dalam remang-remang itu, yang dalam jangka waktu dekat akan segera terlelap termakan kantuk.
Ketiadaan listrik ini tentu sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat Kalumpang. Dimana waktu malam terpaksa tak digunakan secara maksimal, begitu pula ketiadaan televisi dan radio berarti terputusnya informasi antar daerah lain dengan wilayahnya. Selain itu, obat-obatan atau bahan yang mesti ditempatkan di kamar dingin terpaksa tak lancar atau malah tak tersedia, lantaran tak beroperasinya kulkas di daerah ini.
Mengulas Sekilas Sejarah Kalumpang
kaki-kaki gunung kalumpang telah dihuni oleh kaum Banggi atau biasa disebut orang hutan sebelum kedatangan orang-orang Proto Melayu pada 3600 SM. Kedatangan kaum melayu tua pun tak lepas dari sejarah pengusiran mereka dari kawasan pesisir pantai, akibat kedatangan peradaban baru yang dibawah oleh Deutero Melayu, yang tentu lebih hebat dari segi teknologi dan keterampilan.
Mulanya mereka menghuni daerah Sipakko, sekitar 1,5 kilometer dari pusat Kecamatan Kalumpang. Tapi, karena banjir besar akibat luapan sungai Karama sekitar seribu tahun yang lalu, warga pun terpencar-pencar. Banyak yang lari ke atas bukit karena trauma akan banjir yang telah meluluhlantakkan sawah dan pemukimannya. “Tapi, sejak enam generasi yang lalu, orang-orang bukit itu banyak yang kembali ke Pa’tondokang, tempat sekarang ini untuk kembali lagi menggarap sawah,” lanjut Eli, Raja tertinggi itu yang dalam masyarakat adat dikenal sebagai Tobara Pondan.
Tentang bukti peradaban neolithikum itu pertamakali ditelusuri oleh Dr. A. A. Cense pada 1933. Peneliti asal Belanda ini menemukan patung perunggu, perkakas batu dan tembikar. Pada tahun yang sama, Dr. P. V Stein Callenfels juga menemukan pecahan mata panah yang dibuat dengan sangat halus. Penelitian arkeologi diteruskan oleh Dr. H. Van Heekeren yang mendapatkan kapak batu yang telah diasah halus, tembikar berbentuk oval, biola yang dikenal berasal dari Tobago Formosa, serta mata panah dan pisau yang sama mirip dengan yang di Mansuria dan Jepang. Sementara peneliti Arkeologi Indonesia pertama yang menyelidiki sejarah manusia di Kalumpang ini adalah Prof Harry Truman Simanjuntak.
Pada 1926, Zending Belanda mulai mendirikan Sekolah Rakyat (SR) di Tamalea untuk kelas satu hingga tiga. Setahun berikutnya, 1927 didirikan lagi SR di Malolo, namun bukan di Kota Kalumpang. Tahun 1930 di Pulo Karama, lalu di Pa’bentengan berupa sekolah lanjutan untuk kelas empat hingga enam dengan sebutan Veer Volog School (VVS).
Melirik Kualitas Sumberdaya Manusia Kalumpang
Selain persoalan akses jalan, satu hal yang juga harus dilirik dengan serius pada Kecamatan yang warganya dominan menggunakan bahasa Toraja ini, yaitu akses informasi. Dapat dikata bahwa laju informasi dan perkembangan zaman di Kecamatan Kalumpang sangat lamban. Kenyataan ini diakui oleh raja atau ketua Adat Kalumpang, Eli Sipayo.
“Masyarakat dari zaman kolonial hingga sekarang belum mengalami perubahan yang berarti. Mereka masih berkutat pada persoalan kebutuhan dasar. Tak ada daya dari mereka untuk menuntaskan persoalan-persoalan mendasar itu,” kata Eli.
Eli menambahkan bahwa yang lemah pada Kecamatan Kalumpang adalah sumberdaya manusianya, dan menurutnya itu lebih penting dibanding renovasi jalan. “Yang mesti didahulukan adalah merubah pola pikir masyarakat agar dapat memanajemen hidup dengan baik, khususnya dalam hal bertani dan berkebun,” lanjutnya.
Hingga kini masyarakat hanya mengandalkan perkebunan cokelat yang tampak tak mumpuni, sawah ladang yang kadang kekurangan air, serta sesekali memancing ikan di Sungai Karama untuk memenuhi kebutuhan akan protein. Dari hari ke hari, hidup rutin seperti itu, masyarakat tampak sudah sangat bersyukur dapat makan cukup, tanpa mesti mengecap dunia pendidikan atau fasilitas hiburan lainnya. Mereka pun tak sadar, bahwa dunia di luar kecamatannya telah berkembang terlampau jauh.
“Sawah ladang yang kami terapkan sekadar untuk makan saja. sekali panen dapat menghasilkan 80 ikat, dimana dalam setahun hanya dua kali panen,” ujar Petrus, warga Kec. Kalumpang. Begitu halnya petani coklat, yang mengalami kesulitan dalam menjual hasil panennya. Lantaran akses ke pembeli susah, perekonomian mereka pun tersendat-sendat. “Mereka hanya membawa ke Ibukota Kecamatan dengan harga standar,” tambah Petrus.
Tentunya, untuk meningkatkan produksi pertanian dan perkebunan itu dibutuhkan manajemen pengelolahan lahan yang tepat. Dan untuk menjamin manajemen itu dibutuhkan perubahan paradigma berpikir tentang pola hidup, kreativitas dan inovasi. Dan itu hanya dapat ditunjang dengan meningkatkan kualitas pendidikan di daerah itu.
Partisipasi sekolah dasar, memang dari data survei itu masih terbilang tinggi, yaitu 94,08 persen. Tapi, jika berani menanjak jalan terjal menyusuri desa-desa terpencil, ternyata masih banyak sekolah yang minim tenaga pengajar, atau boleh dikata sebagian besar sekolah di pedesaan Kalumpang masih bertenaga satu, dua hingga tiga guru persekolah. Angka putus sekolah pun cukup tinggi, yakni 2,35 persen.
Setelah pendidikan, hal berikut yang harus dipertimbangkan adalah pengadaan penyuluhan berkala mengenai teknis dan manajemen pengolahan di kecamatan tersebut. “Walau pun sudah terbentuk kelompok tani, penyuluhan pertanian masih sangat jarang didapatkan oleh petani di pedesaan,” ujar Eli.
Dengan penyuluhan itu, berarti informasi telah masuk pelan-pelan. Sebab, unsur utama perubahan sebuah wilayah adalah seberapa besar informasi masuk ke daerah tersebut..
Dibuat sekitar Desember 2009
Idham Malik
0 komentar:
Posting Komentar