1 minggu yang lalu
Kesenangan itu bernama Berbagi Cerita
Sekadar info bahwa tulisan kali ini adalah bagian awal dari proyek latihan menulis saya, yang saya anggap sudah mulai tumpul lantaran terkalahkan oleh waktu dan perhatian-perhatian lainnya. Rencananya, proses kreatif untuk menumpahkan pengetahuan atau berbagi kisah dan pengalaman ini akan berlangsung setiap hari, dengan membincangkan apa saja, mulai dari fenomena-fenomena kecil, menengah atau masuk ke tingkat berat.
Banyak hal yang bisa ditorehkan, seperti pendapat mengenai kejadian atau peristiwa yang baru saja berlangsung di sekitar kita, seperti kejadian tawuran, anarkisme mahasiswa, kajian-kajian tertentu tentang agama ataupun sosial, dan juga persoalan kecil yang menimpa kita sendiri, seperti jalan-jalan ke makam ulama, ke tempat wisata, atau semacam kegelisahan hati melihat kecanggalan realitas yang terjadi di hadapan mata. Ya, dengan begitu, kita sebagai pelaku ataupun pengamat dapat menjadi lebih aktif berperan serta dalam membantu membangun diri dan masyarakat.
Sebelum bercerita, saya harus menegaskan terlebih dahulu pemahaman saya terhadap cerita itu sendiri. Bercerita yang jika dipikir sekilas akan bermakna penggambaran realitas dalam bentuk tulisan atau tutur kata mengenai pengalaman pribadi yang kemudian diinternalisasi, sehingga membekas dalam alur-alur berpikir kita tentang penentuan baik buruknya sesuatu. Cerita dapat pula berupa kesan terhadap teks yang begitu mendalam sehingga memotivasi kita untuk berbagi cerita dengan yang lainnya. Ya, cerita dapat dimaknai berbeda, tergantung dari tingkat kemauan dan kemampuan kita mengaitkan segala pencerapan yang telah kita peroleh melalui pengalaman atau berasal dari olah pikiran kita yang berangkat dari aksioma-aksioma sederhana, yang lebih berkaitan dengan hal-hal abstrak dan nonindrawi. Cerita bisa juga berarti semacam teknik untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang secara integral terkandung dalam cerita.
Dalam hidup saya, cerita tak begitu berarti. Meski saya akui tangkapan batin terhadap nilai-nilai moral dan spiritual dapat dengan mudah dicerna dengan medium cerita. Sejak kecil pun bangunan pikiran saya sedikit terbangun oleh cerita, yang dalam hal ini dongeng-dongeng klasik. Nalar kita seperti dibolak-balik oleh kandungan cerita itu, seperti bagaimana bisa seorang gadis salju terbangun dari tidur panjangnya hanya dengan mendapat kecupan dari pangeran tampan? Bagaimana bisa seorang pangeran tampan dapat berubah menjadi sosok yang buruk rupa? Adakah permadani terbang itu? Bagaimana bisa si kancil punya akal cerdik untuk mengelabui buaya? Atau cerita terbentuknya gunung tangkuban perahu, akibat luapan asamara Sangkuriang terhadap Dayang Sumbi perempuan jelita yang ternyata ibunya sendiri. Dan tentunya begitu banyak jenis dan pola cerita yang tiba-tiba saja bersiliweran di benak ini.
Kenapa saya mengatakan bahwa cerita menjadi tidak begitu berarti? Ini butuh telaah analisa psikologi tertentu. Mungkin waktu kecil dulu, saya lebih memilih untuk menghasilkan cerita sendiri, entah dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah diungkapkan, kekaguman terhadap sesuatu atau malah ketakutan menghadapi realitas. Sehingga, asupan informasi berupa cerita hanya menjadi alat untuk menghibur diri saja, atau malah untuk mengisi kekosongan aktivitas, motivasi untuk baca pun sangat tergantung dari ketersediaan buku bacaan yang tentunya masih sangat kurang untuk mungkin lebih meningkatkan ketertarikan saya pada dunia imajinasi.
Masa kecil saya, yakni sejak bisa mengamati lingkungan hingga berumur empat tahun, diselimuti renungan diri dalam ruang kekosongan. Saya tampak begitu pasif, tak ada energi untuk mengganggu alam, atau bergerak mengobati kegelisahan pertanyaan. Saya hanya tergeletak di bangku, di atas meja, tiduran di lantai atau lebih parahnya lagi di bawah kolong meja. Saya mendapatkan kenikmatan tersendiri saat baring di atas lantai yang dingin, tubuh saya merasakan kenikmatan ketika bersentuhan dengan dinginnya lantai. Boleh dibilang waktu saya itu lebih banyak untuk bersantai (tiduran) dibanding pontang panting mengutak atik apa saja dengan landasan rasa ingin tahu.
Ya, rasa ingin tahu saya justru bukan dengan utak-atik, tapi dengan mengamati dari jauh. Saya mengamati aktivitas anak-anak Sekolah Dasar belajar di ruang kelas, saat itu saya sering diajak oleh ibu saya yang berprofesi sebagai guru SD. Saya dapat menangkap pesan dari mimik mereka, suara mereka aku rekam, dan merasakan kehangatan mereka saat menimang atau menggendong ku kesana kemari. Saya pun menangkap pesona alam, merasakan terpaan matahari pagi, memandangi dengan takjub rimbun hijau pegunungan. Ya,, mungkin saat itu, untuk hal-hal yang berkaitan dengan perasaan, saya menjadi begitu peka.
Tapi, kendalanya terletak pada daya untuk mencari tahu yang boleh dikata sedikit kurang dibanding anak-anak lainnya. Pertanyaan-pertanyaan itu menumpuk saja di kepala, tak ada upaya untuk mencari jawaban, dengan terlibat aktif. Saya menjadi bayi yang tenang, cuek, no ekspresi, sopan, tak ada agresifitas. Entah apa yang menjadi alasan kenapa saya bisa mengambil tindakan seperti itu? Mungkinkah karena otak saya yang lemah? Ataukah saya dalam kondisi tertekan? Atau bagaimana? Jujur, saya belum mendapatkan jawabannya hingga sekarang.
Tentu, ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologis saya berikutnya. Di Taman Kanak-Kanak, sifat fasif saya makin menjadi-jadi, mulanya saya kesulitan berinteraksi dengan teman-teman yang lain. Butuh waktu lama untuk bisa duduk dengan nyaman di bangku, untung saja pelajaran yang diberikan cukup mengasyikkan, seperti menyusun balok, membuat robot dari kertas, serta pelajaran tambahan lainnya, seperti mengenal hewan dan buah-buahan. Tapi, kesan yang saya peroleh dari teman dan guru pun begitu minim. Saya seperti tak merasakan apa-apa, kesan iu berlalu begitu saja. Pengetahuan baru saya dapatkan setelah saya melakukan internalisasi kembali.. Mungkinkah gejala psikologi yang sedikit mirip autis ini mempengaruhi daya tangkapku? Atau aku memang sengaja untuk tak memperhatikan tingkah guru dan lebih sibuk dengan diriku sendiri? Entahlah.
Seiring dengan bertambahnya waktu, masuklah saya ke dunia pendidikan, yang berawal dari kelas Nol atau Taman Kanak-kanak. Seingatku, saya tidak terlalu bahagia di sekolah, pelajaran bersiliweran begitu saja, dan saya pun tak meningkat, tampak begitu-begitu saja. Memang, di TK kami belajar tentang binatang, tumbuhan, atau belajar mengutak-atik mainan-mainan. Tapi, diri ku bicara bahwa ini biasa-biasa saja. Atau kata lain Datar.. atau kemungkinan besar saya lah yang belum mampu menyerap pelajaran di TK itu. Tampaknya, saya lebih suka bermain di sekitar rumah di banding di sekolah, mengolah tanah liat menjadi bola, bermain pasir dan membuat gundukan-gundukan atau belajar naik sepeda beroda dua.
Meski begitu, sejak di TK inilah pertama kali saya bersentuhan dengan buku/cerita bergambar. Cerita bergambar itu membawaku ke dunia lain, dunia dalam cerita. Saat itu saya berlangganan Majalah Bobo. Bobo pun membawaku istana negeri dongeng, serta cerita dalam negeri tentang kisah-kisah lampau pembentukan gunung, danau, atau tentang terbaliknya sebuah perahu. Saya betul-betul menikmatinya.
Saya ingat dulu, waktu saya masih di kelas empat sekolah dasar. Saat itu, kemampuan membaca saya sudah sedikit mumpuni. Kali itu tetangga saya lagi beres-beres rumah, mereka pun membuang barang-barang yang dianggap tak ada gunanya lagi. Mungkin karena masih kanak-kanak dan belum punya rasa malu untuk mengorek-ngorek dos yang telah tergeletak di tong sampah itu, saya menemukan belasan buku dongeng yang belum rusak parah. Sontak saja buku-buku itu saya angkut ke rumah saya dan melahapnya satu persatu. Mungkin karena naluri saja, sehingga saya menghabiskan banyak waktu untuk mengamati gambar dan teks buku itu, dibanding pergi melalangbuana keliling kompleks atau sekitaran rumah mencari aktivitas permainan yang lainnya. Buku-buku itu saya bersihkan satu satu dari lumpur-lumpur yang melekat, lalu dengan senang hati membacanya perlahan. Ingatan ku mengarah pada buku cerita silat. Tokoh dengan seribu jurus, yang mampu melayang di udara, berjalan di atas air, serta dapat memainkan pedang dengan begitu indah. Namun sayang, saya lupa pengarangnya. Memang saat itu saya tak pernah melihat siapa yang nulis dan kenapa ia menulis begitu. Saya langsung terjun saja ke dalam cerita, tenggelam di dalamnya.
Kalau tidak salah pada kelas 5-6 itu, di rumah langganan koran fajar. Bapak sering membacanya saban pagi. Dan saya membacanya pun saat sore hari, ketika pulang sekolah atau sebelum pergi bermain sore. saya tak pernah baca halaman utama, tapi langsung ke halaman berita luar negeri. Saat itu, ketertarikan ku terhadap berita-berita luar negeri cukup tinggi, seperti berita tentang perang Irak, gejolak di Iran dan negeri-negeri jauh. Selain itu, saya senang berita yang berbau kriminal. Mungkin karena terdapat sedikit rasa takut dalam diriku, sehingga membuat penasaran untuk mengetahui kenapa orang ini dengan begitu keji menenggalamkan pacarnya di dalam sumur, atau mengubur korbannya hingga yang tampak cuma kepalanya saja. Seram.!! Yah.. mungkin saja imajinasi terbentuk dari beragam berita itu.
Pada waktu-waktu itu pula, Ibu berlangganan majalah perempuan, yang kalau tak salah bernama Kartini atau apalah..... saya sudah lupa. Pada lembar-lembar halaman itu, saya menyenangi kisah-kisah keluarga, dan berita-berita seputar artis. Dan lebih seru dan menarik adalah berita yang anyir bau kriminalnya. Kebanyakan tentang pelecehan seksual atau pembunahan seorang gadis.
Persentuhan dengan cerita berlangsung lagi di bangku SMP, saya sangat menikmati belajar ilmu-ilmu alam, biologi adalah kesenangan saya waktu itu. Bersama dengan ilmu sejarah. Dua ilmu itu mengangkat derajatku. Ilmu-ilmu lain masih sebagai beban. Dan, yang membuatku bertahan di sekolah sebenarnya bukan karena guru dan ajarannya, tapi lebih karena teman-teman. Di sekolah ada suasana menegangkan di dalam kelas, dan ada suasana ceria di luar kelas.. suasana di luar kelas inilah yang membuatku betah. Dimana saban keluar main saya asyik masyuk ikut bermain bola di lapangan lebar, dengan berkiprah sebagai penjaga gawang. Pada moment-moment itu pula saya mendengar cerita-cerita dari kawan-kawan SMP, yang nasibnya jauh di bawah kehidupanku. Nasib orang-orang pinggiran, anak-anak petani, pedagang kaki lima. Rumah-rumah mereka pun terletak di pinggir petak sawah yang rindang, dengan jalanan menuju ke sana masih bolong-bolong, masih tergenang air jikalau hujan. Tentang teman-temanku ini, saya sudah tak banyak tahu lagi kabar mereka. Dengar-dengar ada yang sudah jadi polisi, jadi penjual pakaian di pasar tradisional ada yang pernah saya ketemui jadi Satpam di sebuah Mall di Makassar, ada juga yang baru bertemu di facebook dan sudah jadi pengusaha minyak di Papua. Maklum, keberagaman nasib kami ini lebih karena faktor eksternal. Alumni SMP yang melanjutkan ke perguruan tinggi tak banyak, dan kebanyakan dari mereka langsung kerja saat tamat SMA. Dalam fase ini, terdapat dua kategori tentang sekolah yang saling bertabrakan, pertama: sekolah adalah penjara yang menakutkan, dan, kedua: sekolah adalah surga tempat bermain...
Tapi di masa SMP inilah saya menemukan keasyikan dengan dunia ilmu pengetahuan. Dan mulai menyimak bacaan-bacaan yang berat. Bukan di ruang kelas, tapi di perpustakaan. Rasa-rasanya, seperti ada kebencian dengan ruang kelas itu, yang terkadang membuatku terkesiap kaku. Terpaku. Pada masa-masa di perpustakaan itu, saya mulai menikmati majalah Horison, majalah sastra. Menghayati kandungan cerpen-cerpen di dalamnya. Meski sangat menikmati bacaan sastra lewat majalah-majalah itu, Saat itu, tak ada niat sedikit pun untuk membuat cerpen. Hehe.. di samping majalah sastra, saya juga menyenangi buku bergambar, tentang khasanah ilmu pengetahuan, terkhusus tentang ilmu alam, tentang dunia binatang, tentang organ-organ tubuh, dunia tumbuhan, ruang angkasa, dan pertembangan teknologi.
Hemm... masa kecil yang sudah terlupa, sebagian saja yang melekat di memori. Mungkinkah ini karena kesibukan keseharian, yang menggerus kenangan-kenangan. Atau mungkin karena diri lebih memproyeksikan hari depan, dan bertahan di masa sekarang. Refeleksi masa lalu akhirnya menjadi urusan kesekian. Padahal masa lalu adalah harta karun yang tak ternilai. Bukankah pengalaman adalah pengetahuan yang berharga? Bukankah perjalanan diri adalah pelajaran yang tak tertandingi? Yah.. berkenaan dengan itu, tulisan ini sebenarnya adalah keinginan untuk merefleksi sebagian kecil perjalanan hidup yang mengantarkanku hingga ke detik ini, saat menulis cerita ini. Dengan berangkat pada pertanyaan dasar, kenapa saya mencintai cerita? Dan kenapa saya selalu ingin berbagi cerita?
Yah.. semua itu ada jalannya masing-masing, dan sepertinya sedari kecil saya menempuh koridor ini. Kemampuan menulis yang tidak seberapa ini tak lain adalah buah dari proses panjang yang sebagian telah saya bagi di atas. Bahwa kemampuan itu bukan sekadar bakat, tapi juga keinginan, konsentrasi, ulangan, dan juga berjiwa besar. kita kadang lupa, bahwa orang itu tak ujub-ujub jadi besar, semua membutuhkan latihan. Dan barangkali latihannya itu sungguh berat dan meletihkan. Dan kita tidak tahu bahwa itu dilalui dengan berpuluh-puluh kali kegagalan.
Sehingga, tak ada yang aneh dalam dunia ini, semua sudah punya rumus. Tinggal kita saja yang melakoni apakah hendak turun dan menyelaminya. Ataukah kita ogah dan tetap berpangku tangan. Kemudian ikhlas menjadi penonton di hari depan..
Sekadar sharing.. ambil yang baik-baik, buang keburukannya... terimakasih..
Siang hari, 23 April 2011
0 komentar:
Posting Komentar