Saat-saat ini, rasa-rasanya kita
sulit menghindar, keluar dari apa yang kita kenal sebagai sesuatu yang rutin.
Liyan itu selalu saja menerobos ke dalam dan mengacak-acak jiwa, membuat kita
merasa aneh sendiri pada diri kita. Kita pun mencari-cari apa yang telah kita
peroleh, apa yang kita temukan, semakin kita sibuk dan berlari, sesuatu yang
kita cari itu justru kian tak berbentuk dan mungkin kosong.
Pada tempat yang lain, kita dilumuri
permukaan rasa nikmat, dengan gelimang materi. Yang secara biologis sangat
perlu dan digunakan untuk meneruskan regenerasi sel dan membantu alat
pencernaan untuk terus menggesek. Kadang-kadang juga untuk meluap-luapkan
perasaan dengan memesan menu yang enak, berkunjung ke tempat yang sengaja
dikesan-kesankan sebagai indah.
Itulah sisi-sisi dimana kita
terkurung, sesekali lepas namun hanya untuk meregang-regangkan syaraf. Zaman
ini, barangkali banyak orang yang mengisi hidup sepenuhnya hanya untuk menjadi
bagian dari sekrup sirkuit. Orang menghadapi dunianya pada “close-up”, pada
situasi yang khusus, dimana ia bergelut lincah di dalamnya, semisal dunia
politis, dunia swasta, dunia pecinta-cinta, yang mungkin hanya mencintai uang.
Nilai-nilai kuno, yang dahulu telah dipetakan oleh leluhur, menjadi sesuatu
yang tak penting dan bisa dinegosiasi. Etika tidak lagi dilihat dengan
menggunakan jarak dan harus dipatuhi, etika dalam artian itu merangsek ke dalam
daging, ia dengan liar menggelinjat pada suatu situasi yang serba tegang, pada
persimpangan jalur-jalur politis, sosial dan manajerial. Etika pun kadang dapat
terganti, dengan nilai-nilai yang bertujuan kongkrit.
C. A Van Peursen dalam Buku
Strategi Kebudayaan mendefenisikan pola tingkah laku tersebut sebagai manusia
fungsionil. Muncul sebagai keharusan dalam menanggapi perkembangan dunia modal
dan pertumbuhan ekonomi. Manusia kemudian beradaptasi dan mengatur dirinya untuk
terlibat pada jejaring dunia ‘sekrup’. Manusia tidak lagi berpusing-pusing
menafsirkan dunia yang barangkali dianggap menghabis-habiskan waktu, tapi
langsung terjun ke dalam daya-daya kekuatan di sekitarnya.
Ciri fungsionil itu dapat diamati
melalui ekspresi kesenian manusia. Lukisan dengan gaya fungsionil itu selalu
terus terang, namun tidak begitu luhur. Lukisan menggunakan beragam warna yang
campur aduk tentang sepotong bagian alat yang tujuannya lebih pada memperkuat
daya ekspresi. Seni fungsionil juga tak segan memilih barang-barang yang telah
dibuang, seperti besi berkarat, blek-blek bekas, kayu, cat, lalu disusun
menjadi karya yang mewakili bentuk tertentu. Karya-karya tersebut menunjukkan
bahwa manusia fungsionil selalu ingin melibatkan diri dalam alam dan sejarah.
Manusia fungsionil pun memandang
pekerjaannya bukan lagi sebagai sebuah substansi, tapi lebih pada relasi, yang
akan membuatnya eksis. Dia ada dengan menjadi bagian dalam keseluruhan dan
tunduk pada keseluruhan. Celakanya, pandangan fungsionil ini tidak sekadar
membuat manusia eksis belaka, tapi justru mengajaknya ke dalam
absurditas/kekosongan. Sebab fungsi keberadaannya hanyalah menjadi bagian dari
sebuah fungsi besar suatu mesin, entah birokrasi atau teknokrasi, yaitu mencari
keuntungan. Tiba-tiba kehidupan selalu dinilai dengan materi, sementara jika
kehidupan bersandar pada materi, lama kelamaan hidup menjadi membosankan.
Manusia fungsionil mematuhi
kaidah-kaidah susunan yang dibuat-buat oleh manusia itu sendiri. Ini disebut
jebakan operasionalisme. Segala sesuatu dioperasionalkan, manusia menurut pandangan
ini tak lain adalah hasil test-test psikologi. Tuhan pun dianggap hanyalah
hasrat dan pikiran-pikiran manusia yang bersembunyi dan menyembul-nyembul.
Begitu halnya dengan pengambilan keputusan, dimana ditentukan berdasarkan
denah-alur koordinasi. Maka masa depan manusia kita serahkan dan kita rendahkan
dalam sebuah rumus dan denah. Segala sesuatu dikembalikan pada angka-angka,
nomor, hitung-hitungan. Kita pun hanya menjadi bagian kecil dari jejaring
birokrasi, teknokrasi, dan manipulasi. Kita terlempar dari kenyataan, terlempar
dari orisinalitas.
Jadi wajarlah kiranya jika kita
menyaksikan paradoks-paradoks di keseharian, dimana tetangga menjadi orang
lain, dengan pagar-pagar tinggi, manusia membentengi privasi-nya. Kita tak
saling menyapa walau hanya berdua di lift gedung, kita melihat pelayan hotel
sebagai alat yang dapat kita perintah dan mereka dengan terpaksa tersenyum
manis. Kita pun mulai merendah-rendahkan orang, melihat orang lain itu hanyalah
satu setelan alat yang bekerja, dibayar, direduksi. Kita semuanya tiba-tiba
menjadi anonim, tanpa nama.
Begitu halnya dalam kehidupan
percintaan. Operasionalisme membuat rasa cinta itu menjadi hambar, sebab cinta
telah diredusir menjadi skema teknik permainan asmara semata. Identitas dua
individu yang tiba-tiba membangun relasi operasi itu pun menjadi kehilangan
identitas.
Bagaimanakah identitas itu
ditegakkan kembali di dunia serba operasional ini. Jalan yang harus ditempuh
sangat rumit. Untuk sementara, tampaknya kita harus kembali menengok
petuah-petuah kuno, nilai-nilai yang dahulu eksis. Menghirup kembali rasa
spritualitas dengan nalar yang matang. Atau kita pun harus sering-sering membaca
essai kebudayaan, sastra serta roman. Seperti yang diungkapkan Asrul Sani dalam
essai-nya, “Membaca sebuah buku roman setidaknya
mengembalikan kita kepada rasa kemanusiaan itu sendiri”.
0 komentar:
Posting Komentar